Senin, 23 Februari 2015

IMAN DISERTAI PERBUATAN KASIH SEMAKIN HIDUP

(AKSI PUASA PEMBANGUNAN KAS 2015)
Permenungan dalam masa Prapaskah 2015 ini, umat Keuskupan Agung Semarang diajak untuk semakin memperdalam iman, sehingga bisa menjadi seseorang yang Cerdas, Tangguh dan Missioner seperti yang dicita-citakan selama ini. Iman kepada Kristus tidak cukup hanya dimengerti dan diungkapkan. Iman perlu diwujudkan dalam kehidupan. Apapun hal yang dilakukan dalam penggungkapan iman, namun kalau hanya terfokus pada perayaan, tidak akan banyak berarti. Iman akan semakin utuh ketika ditampakkan dalam kesaksian hidup. Di Alkitab disebutkan “Jika iman tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17).

Selama masa Prapaskah ini, kita sebagai umat beriman diharapkan semakin memperdalam pengetahuan iman kita, yang juga akan semakin memperdalam juga penghayatan dan cinta kita kepada Yesus sebagai pokok iman kita. Semakin kita mencintai Yesus, kitapun semakin rela untuk mengabdi kepadaNya dengan penuh keterlibatan hati.

Dalam hidup keseharian tidak jarang para anggota Gereja hidup membatasi diri dari realitas sekitarnya. Hidup dan bergaul hanya dengan sesama yang seiman, padahal anggota Gereja adalah bagian dari masyarakat. Gereja bukanlah sebuah realita yang terpisah dari masyarakat.Gaudium et Spes artikel 1 menyatakan bahwa “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Maka tugas Gereja dalam dunia ini tidak terlepas dari keberadaannya dalam dunia yaitu mengusahakan “kesejahteraan bersama”. Tugas pelayanan Gereja tidak hanya terarah ke dalam, tetapi terarah kepada masyarakat luas.

Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menegaskan bahwa mengevangelisasi adalah menjadikan Kerajaan Allah hadir di tengah dunia kita. Gerakan APP bukan hanya gerakan berpuasa/berpantang semata dan mengumpulkan uang namun haruslah menjadi gerakan pertobatan disertai dengan solidaritas kemanusiaan. APP diharapkan semakin membuat iman kita hidup dan terwujud secara konkret terutama bagi saudara kita yang lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Melalui APP kita diajak untuk semakin memuliakan Allah dengan menghargai manusia sebagai citra Allah agar manusia semakin sejahtera dan bermartabat. . Jadi gerakan APP bukan diakhiri dengan 'menepuk dada', melainkan justru dengan menyangkal diri dan merendahkan diri serendah-rendahnya (Lukas 9:23). Untuk itulah umat perlu diajak melakukan dan menghayati puasa sebagai tindakan menyangkal diri dan mengasihi orang lain.

Beriman harus beranikeluar dari dirinya sendiri dan komunitasnya. Iman bersifat missioner, menggerakkan oranguntuk bertindak dan terlibat dalam kehidupan. Semangat missioner Gereja ditegaskan oleh Paus Fransiskus “ Saya lebih suka Gereja yang memar,terluka dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan. Bukan Gereja yang sehat dan sibuk dengan kenyamanannya sendiri.”
PESAN PRAPASKAH 2015 PAUS FRANSISKUS
Masa Prapaskah adalah masa pembaharuan bagi seluruh Gereja, bagi masing-masing jemaat dan setiap orang percaya. Terutama itu adalah "waktu rahmat" (2 Kor 6:2). Allah tidak meminta kita apa pun yang tidak lebih dulu Ia berikan sendiri kepada kita. "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita" (1 Yoh 4:19). Ia tidak jauh dari kita. Masing-masing orang memiliki sebuah tempat dalam hati-Nya. Ia mengenal kita dengan nama, Ia memperdulikan kita dan Ia mencari-cari kita setiap kali kita berpaling daripada-Nya. Ia tertarik pada kita masing-masing; kasih-Nya tidak memungkinkan-Nya acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi pada kita. Biasanya, ketika kita sehat dan nyaman, kita lupa tentang orang lain (sesuatu yang tidak pernah dilakukan Allah Bapa): kita tidak peduli dengan masalah-masalah mereka, penderitaan-penderitaan mereka dan ketidakadilan-ketidakadilan yang mereka alami ... Hati kita menjadi dingin. Selama saya relatif sehat dan nyaman, saya tidak berpikir tentang orang-orang yang kurang mampu tersebut. Hari ini, sikap egoistis ketidakpedulian ini telah mengambil proporsi global, sampai-sampai kita bisa berbicara tentang globalisasi ketidakpedulian. Ini adalah sebuah masalah yang kita, sebagai orang-orang Kristiani, harus hadapi.

Ketika umat Allah bertobat kepada kasih-Nya, mereka menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus ditimbulkan sejarah. Salah satu tantangan yang paling mendesak yang ingin saya sampaikan dalam Pesan ini justru adalah globalisasi ketidakpedulian.

Ketidakpedulian terhadap sesama dan terhadap Allah juga mewakili sebuah godaan nyata bagi kita orang-orang Kristiani. Setiap tahun selama Masa Prapaskah kita perlu mendengarkan sekali lagi suara para nabi yang menjerit dan mengganggu hati nurani kita.

Allah tidak acuh tak acuh terhadap dunia kita; Ia begitu mengasihinya sehingga Ia memberikan Putra-Nya untuk keselamatan kita. Dalam penjelmaan, dalam kehidupan duniawi, kematian, dan kebangkitan Putra Allah, pintu gerbang antara Allah dan manusia, antara surga dan bumi, terbuka sekali lahi bagi semua orang. Gereja seperti tangan membuka gerbang ini, berkat pemberitaan sabda Allahnya, perayaan sakramen-sakramennya dan kesaksian imannya yang bekerja melalui kasih (bdk. Gal 5:6). Tetapi dunia cenderung menarik diri ke dalam dirinya sendiri dan menutup pintu yang melaluinya Allah datang ke dalam dunia dan dunia datang kepada-Nya. Oleh karena itu tangan, yang adalah Gereja, tidak pernah terkejut jika ditolak, ditindas dan dilukai.

Maka, umat Allah memerlukan pembaharuan batin ini, jangan sampai kita menjadi acuh tak acuh dan menarik diri ke dalam diri kita sendiri. Untuk pembaharuan ini selanjutnya, saya ingin mengusulkan untuk refleksi kita tiga teks biblis.

1. "Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita" (1 Kor 12:26) - Gereja

Kasih Allah menerobos bahwa penarikan fatal ke dalam diri kita sendiri itu yang merupakan ketidakpedulian. Gereja menawarkan kita kasih Allah ini dengan pengajarannya dan terutama dengan kesaksiannya. Tetapi kita hanya bisa menjadi saksi apa yang kita sendiri alami. Orang-orang Kristiani adalah mereka yang membiarkan Allah memberi mereka pakaian dengan kebaikan dan belas kasih, dengan Kristus, sehingga menjadi, seperti Kristus, hamba-hamba Allah dan orang lain. Hal ini jelas terlihat dalam liturgi Kamis Putih, dengan ritual pembasuhan kakinya. Petrus tidak mau Yesus membasuh kakinya, tetapi ia menyadari bahwa Yesus tidak ingin menjadi hanya sebuah contoh bagaimana kita harus saling mencuci kaki. Hanya mereka yang telah lebih dahulu mengizinkan Yesus membasuh kaki mereka kemudian dapat menawarkan pelayanan ini kepada orang lain. Hanya mereka yang memiliki "bagian" dengan Dia (Yoh 13:8) dan dengan demikian dapat melayani orang lain.

Masa Prapaskah adalah waktu yang menguntungkan untuk membiarkan Kristus melayani kita sehingga kita pada gilirannya dapat menjadi semakin seperti Dia. Hal ini terjadi setiap kali kita mendengarkan sabda Allah dan menerima sakramen-sakramen, terutama Ekaristi. Di sana kita menjadi apa yang kita terima: Tubuh Kristus. Di dalam tubuh ini tidak ada ruang untuk ketidakpedulian yang begitu sering tampaknya dimiliki hati kita. Sebab barangsiapa milik Kristus, milik satu tubuh, dan di dalam Dia kita tidak bisa saling acuh tak acuh. "Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita" (1 Kor 12:26).

Gereja adalah communio sanctorum bukan hanya karena orang-orang kudusnya, tetapi juga karena ia adalah sebuah persekutuan dalam hal-hal kudus: kasih Allah dinyatakan kepada kita di dalam Kristus dan semua karunia-Nya. Di antara karunia-karunia tersebut ada juga tanggapan dari orang-orang yang membiarkan diri mereka tersentuh oleh kasih ini. Dalam persekutuan para kudus ini, dalam berbagi dalam hal-hal kudus ini, tidak seorang pun yang memiliki apa-apa sendiri saja, tetapi berbagi segalanya dengan orang lain. Dan karena kita dipersatukan dalam Allah, kita bisa melakukan sesuatu bagi mereka yang jauh, mereka yang kepadanya kita sendiri tidak pernah bisa capai, karena bersama mereka dan bagi mereka, kita meminta Allah agar kita semua sudi terbuka terhadap rencana keselamatan-Nya.

2. "Di mana adikmu?" (Kej 4:9) - Paroki-paroki dan Jemaat-jemaat

Semua yang telah kita katakan tentang Gereja universal kini harus diterapkan pada kehidupan paroki-paroki dan jemaat-jemaat kita. Apakah struktur gerejawi ini memungkinkan kita mengalami menjadi bagian dari satu tubuh? Tubuh yang menerima dan berbagi apa yang Allah ingin berikan? Tubuh yang mengakui dan peduli pada anggota-anggotanya yang paling lemah, paling miskin dan paling tidak penting? Atau apakah kita berlindung dalam kasih universal yang akan merangkul seluruh dunia, sementara gagal untuk melihat Lazarus duduk di depan pintu-pintu tertutup kita (Luk 16:19-31)?

Dalam rangka untuk menerima apa yang Allah berikan kepada kita dan untuk membuatnya berbuah melimpah, kita harus menekan melampaui batas-batas Gereja yang kelihatan dalam dua cara.

Pertama, dengan mempersatukan diri dalam doa bersama Gereja di surga. Doa-doa Gereja di bumi membangun sebuah persekutuan pelayanan dan kebaikan yang saling menguntungkan yang mencapai ke dalam pandangan Allah. Bersama dengan para kudus yang telah menemukan pemenuhan mereka di dalam Allah, kita menjadi bagian dari persekutuan yang di dalamnya ketidakpedulian ditaklukkan oleh kasih. Gereja di surga tidak berjaya karena ia telah berpaling pada penderitaan-penderitaan dunia dan bersukacita dalam semaraknya keterasingan. Sebaliknya, para kudus yang sudah sukacita merenungkan fakta bahwa, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, mereka telah berjaya segera sesudahnya dan atas seluruh ketidakpedulian, kekerasan hati dan kebencian. Hingga kemenangan kasih ini menembus seluruh dunia, para kudus terus menyertai kita pada jalan perziarahan kita. Santa Teresia dari Lisieux, seorang pujangga Gereja, mengungkapkan keyakinannya bahwa sukacita di surga atas kemenangan kasih yang tersalib tetap tidak sempurna selama masih ada satu orang laki-laki atau perempuan di bumi yang menderita dan berteriak kesakitan: "Aku percaya sepenuhnya bahwa aku tidak akan tinggal diam di surga, keinginanku adalah terus berkarya bagi Gereja dan bagi jiwa-jiwa" (Surat 254, 14 Juli 1897).

Kita berbagi dalam pahala dan sukacita para kudus, bahkan ketika mereka berbagi dalam pergumulan kita dan kerinduan kita akan perdamaian dan rekonsiliasi. Sukacita mereka dalam kemenangan Kristus yang bangkit memberi kita kekuatan ketika kita berusaha untuk mengatasi ketidakpedulian dan kekerasan hati kita.

Kedua, setiap jemaat Kristiani dipanggil untuk pergi keluar dari dirinya sendiri dan untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat yang lebih besar yang ia adalah bagiannya, terutama dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang jauh. Gereja bersifat misioner pada hakikatnya sesungguhnya; ia tidak tertutup pada dirinya sendiri tetapi diutus kepada setiap negara dan bangsa.

Misinya adalah untuk memberikan kesaksian yang sabar bagi Dia yang ingin menarik semua ciptaan dan setiap laki-laki dan perempuan kepada Bapa. Misinya adalah untuk membawa kepada semua orang kasih yang tidak bisa tinggal diam. Gereja mengikuti Yesus Kristus di sepanjang jalan yang mengarah kepada setiap laki-laki dan perempuan, hingga ke ujung bumi (Kis 1:8). Dalam setiap sesama kita, lalu, kita harus melihat seorang saudara atau saudari yang baginya Kristus telah wafat dan bangkit kembali. Apa yang kita sendiri telah terima, kita telah terima untuk mereka juga. Demikian pula, semua yang saudara dan saudari kita miliki adalah sebuah karunia bagi Gereja dan bagi seluruh umat manusia.

Saudara dan saudari saya yang terkasih, betapa saya ingin agar semua tempat-tempat tersebut di mana Gereja hadir, khususnya paroki-paroki kita dan jemaat-jemaat kita, bisa menjadi pulau rahmat di tengah-tengah lautan ketidakpedulian!

3. "Teguhkanlah hatimu!" (Yak 5:8) - Orang-orang Kristiani secara perorangan

Sebagai perorangan juga, kita telah tergoda oleh ketidakpedulian. Dibanjiri kabar berita dan gambar mengganggu penderitaan manusia, kita sering merasakan lengkapnya ketidakmampuan kita untuk membantu. Apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari terjebak dalam pilinan kesusahan dan ketidakberdayaan ini?

Pertama, kita bisa berdoa dalam persekutuan dengan Gereja di bumi dan di surga. Janganlah kita meremehkan kekuatan begitu banyak suara yang bersatu dalam doa! 24 jam bagi prakarsa Tuhan, yang saya harapkan akan dirayakan pada 13-14 Maret 2015 di seluruh Gereja, juga di tingkat keuskupan, yang dimaksudkan untuk menjadi sebuah tanda kebutuhan doa ini.

Kedua, kita dapat membantu dengan tindakan-tindakan amal, menjangkau baik yang dekat maupun yang jauh melalui banyak organisasi amal Gereja. Masa Prapaskah adalah waktu yang menguntungkan untuk menunjukkan keprihatinan untuk orang lain ini dengan tanda-tanda kecil dan nyata terhadap kepemilikan satu keluarga manusia.

Ketiga, penderitaan orang lain adalah panggilan untuk pertobatan, karena kebutuhan mereka mengingatkan saya pada ketidakpastian hidup saya sendiri dan ketergantungan saya pada Allah dan saudara dan saudariku. Jika kita dengan rendah hati memohon rahmat Allah dan menerima keterbatasan-keterbatasan kita sendiri, kita akan percaya pada kemungkinan tak terbatas yang kasih Tuhan ulurkan kepada kita. Kita juga akan dapat menahan godaan setan berpikir bahwa dengan usaha kita sendiri kita dapat menyelamatkan dunia dan diri kita sendiri.

Sebagai sebuah cara untuk mengatasi ketidakpedulian dan tuntutan-tuntutan untuk kecukupan diri, saya akan mengajak semua orang untuk menjalani Masa Prapaskah ini sebagai sebuah kesempatan untuk terlibat dalam apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebuah formasi hati (bdk. Deus Caritas Est, 31). Hati yang penuh belas kasihan bukan berarti hati yang lemah. Siapa pun yang ingin bermurah hati harus memiliki hati yang kuat dan teguh, tertutup bagi si penggoda tetapi terbuka bagi Allah. Hati yang memungkinkan dirinya ditikam oleh Roh agar supaya membawa kasih di sepanjang jalan yang mengarah kepada saudara dan saudari kita. Dan, pada akhirnya, hati yang miskin, hati yang menyadari kemiskinannya sendiri dan memberikan dirinya secara cuma-cuma bagi orang lain.

Selama Masa Prapaskah ini, maka, saudara dan saudari, marilah kita semua memohon kepada Tuhan: "Fac cor nostrum secundum cor tuum" : Jadikanlah hati kami seperti hati-Mu (Litani Hati Kudus Yesus). Dengan jalan ini kita akan menerima hati yang teguh dan penuh belas kasihan, penuh perhatian dan murah hati, hati yang tidak tertutup, acuh tak acuh atau mangsa bagi globalisasi ketidakpedulian.
Ini adalah harapan saya yang penuh doa sehingga Masa Prapaskah ini akan membuktikan secara rohani berbuah bagi setiap orang percaya dan setiap jemaat gerejani. Saya meminta Anda semua untuk mendoakan saya. Semoga Tuhan memberkati Anda dan Bunda Maria menjaga Anda.
My Fav Quote: KETIKA …….aku takut MEMBERI, aku lupa, bahwa semua yang aku miliki adalah PEMBERIAN

Kamis, 05 Februari 2015

ROMO (puisi oleh Arswendo Atmowiloto)

Ada puisi yang saya baca beberapa bulan lalu, bagus dan menggelitik sih .....menurut anda? Ini saya copas dari tulisan mas Wendo

aku mendamba Romo yang penuh kasih
- bukan yang pilih kasih
aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean
itu berarti pemberian umat
sebagai tanda cinta, tanda hormat

aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak
KAKU PADA DOGMA, TAPI LUCU KALA CANDA
yang lebih sering memegang rosario
dibandingkan bb warna hijau
aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar
dibandingkan berujar

aku mendamba Romo yang menampung air mataku
- tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang MENGAJARKAN RITUAL SEKALIGUS SPIRITUAL

duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekali
tapi aku percaya tetap terpenuhi
karena Romoku mau dan mampu selalu memberi
- inilah damba dan doaku, Romoku

eee, masih ada satu lagi
SEKALI MENGENAKAN JUBAH, JANGAN BERUBAH
jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah
bahkan sampai ada laut terbelah
kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku

aku mendamba Romo yang menatapku kalem
bersuara adem
"Berkah Dalem ..."

Sumanak = mesra, bersahabat seperti saudara sendiri (sanak)
bb = blackberry, ponsel keren

Bagi saya dan beberapa umat lain, ini mungkin juga cerminan hati kami, yang sangat ingin memiliki gembala yang mengayomi. Semoga Tuhan mengabulkannya, Amin.

Selasa, 03 Februari 2015

Wanita dianjurkan Memakai Mantilla


Minggu 25 Januari 2015 lalu, Romo Ponco dalam homilinya menyinggung pemakaian mantilla bagi wanita. Menurut Romo Ponco , beliau terinspirasi saat menghadiri pemakaman putri dari dr. FX Masnan yang saat itu mbak Uci didandani begitu cantik dengan Mantilla. Sebenarnya beberapa tahun yang lalu saya sudah membaca artikel tentang mantilla ini di blog indonesian papist dan sebenarnya tertarik untuk mengenakan, tapi tidak pede karena semua umat di Wonosari ini, saya belum pernah melihat ada yang memakainya. Dan pada misa tanggal 1 Februari 2015 ada tambahan teks misa yang menjelaskan tentang mantilla ini. Isinya diambil dari situs katolisitas.org. (silakan dibaca sendiri) .

Ada beberapa permenungan yang inspiratif. Dibawah ini ada ringkasan yang saya ambil dari beberapa blog:

Kerudung Misa adalah alat devosi yang tepat dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN. Mengatakan bahwa kerudung Misa “hanya sehelai kain belaka” sama dengan mengatakan “rosario hanya untaian manik-manik saja” atau “salib hanya dua palang kayu saja”. Terlebih lagi, kerudung Misa merupakan salah satu devosi yang sangat spesifik untuk para wanita. Berkerudung Misa biasa dijumpai dalam Misa Latin, tapi Yesus adalah Yesus yang satu dan kita seharusnya mengenakannya dalam Misa apapun, tidak hanya dalam Misa Forma Ekstraordinaria(misa Latin).”

Wanita Kristen di seluruh dunia memiliki alasan lain untuk memakai mantilla atau kerudung. Beberapa memakainya sebagai hormat kepada Allah; lainnya, untuk mematuhi permintaan Paus, atau melanjutkan tradisi keluarga. Tapi alasan yang paling penting dari semua adalah karena Tuhan kita berkata: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yohanes 14:15). Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, sang bejana kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

“Seorang wanita yang berkerudung Misa sedang menunjuk kepada Allah. Karena kita tidak berkerudung di tempat lain, kita hanya berkerudung di hadirat Sakramen Mahakudus. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah hadir.” “Ini sangat sederhana. Alasan mengapa saya berkerudung adalah demi menghormati Tuhan saya. Jika anda percaya bahwa Yesus sendirilah yang berada di atas Altar itu, maka anda akan merendah. Berkerudung sesungguhnya adalah bagian dari kerendahan hati di hadapan Tuhan.” Jadi, seorang wanita mengerudungi dirinya sehingga seluruh kemuliaan diberikan kepada Allah dan bukan kepada dirinya sendiri.

Contoh paling gampang dilihat adalah ketika Michelle Obama mengunjungi Bapa Paus Benediktus beberapa tahun yang lalu, ia menggunakan kerudung berwarna hitam yang sangat sederhana. Dua kali Ratu Elizabeth II dari Inggris bertemu Bapa Paus yang berbeda, ia masih tetap mengenakan mantillanya di bawah mahkota ke-ratu-annya. Semua first lady dari Amerika(sebagian besar mereka bukan umat Katolik) yang bertemu dengan Bapa Paus, memakai penutup kepala walaupun berbeda-beda macamnya. Para wanita penting ini masih diharuskan untuk memakai penutup kepala saat berjumpa dengan Bapa Paus. Hal ini merupakan hal yang disyaratkan Vatican kepada tamu-tamu negara wanita yang hendak berjumpa dengan Bapa Paus. Mengapa mereka harus memakai penutup kepala? Mengapa Vatican masih mengharuskan tamu-tamu negara wanita memakai penutup kepala? Sesungguhnya memang Vatican tidak pernah menarik peraturan mengenai penutup kepala wanita pada saat menghadiri misa. Jika para First Lady ini mau menghormati Bapa Paus dengan berkerudung harusnya kita sebagai umat/wanita Katolik menghormati Tuhan yang tentunya lebih besar daripada Paus.

Namun perlu juga disadari bahwa kerudung wanita tidak dapat dijadikan ukuran bahwa yang memakainya pasti lebih kudus hidupnya, ataupun lebih khusuk doanya. Dalam hal ini, adalah lebih baik untuk meneliti sikap batin masing-masing. Bagi para wanita yang ingin mengenakan kerudung saat ibadah, silakan dilakukan, itu baik. Namun bagi wanita yang tidak mengenakannya juga tidak perlu merasa bersalah, sebab hal itu tidak merupakan keharusan. Yang terlebih esensial adalah mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan yang hadir dalam perayaan-perayaan liturgis itu. Dengan penghayatan ini, para wanita (dan pria) selayaknya berpakaian yang sopan dan bersikap yang sesuai, sebagai cerminan sikap penghormatan kepada Tuhan.

Seorang Bapa Gereja, yaitu Tertullian (160), sudah menuliskan tentang kebiasaan pemakaian tudung kepala pada para wanita yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. Makna tudung ini sepertinya serupa dengan tudung para wanita yang telah menikah, yang menjaga (preserve) kecantikan mereka hanya untuk suami mereka. Demikianlah tudung ini menjadi salah satu lambang bagi para wanita ini yang memberikan hidup mereka seutuhnya untuk Tuhan, untuk melayani Dia dengan hidup doa dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasih kepada sesama. Awalnya mereka tetap hidup bersama keluarga mereka, dan baru pada akhir abad ke-3 berdirilah komunitas-komunitas biara para wanita ini demi pelayanan umat di Gereja. Kerudung religius, (veil) yang sama dengan velum dalam bahasa Latin, dalam penggunaan gerejawi (ecclesial usage), mengacu kepada kerudung yang digunakan pada para wanita religius. Umumnya berwarna putih (digunakan oleh para novis) dan hitam (pada para biarawati yang telah melakukan kaul).

Ada banyak makna penggunaan kerudung ini, tetapi yang utamanya adalah sebagai lambang ikatan perkawinan/ persatuan mereka dengan Kristus. Pada kerudung hitam, juga memberikan makna keterpisahan mereka dari dunia. Di sana disebutkan bahwa pemakaian kerudung pada wanita-wanita religius adalah merupakan penggunaan gerejawi (ecclesial usage) yang mempunyai makna simbolis tertentu. Maka pemakaian kerudung ini memang bukan merupakan hukum mutlak dari Allah, namun berhubungan dengan kebiasaan gerejawi, yang memang mempunyai makna yang mendalam, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan oleh banyak kongregasi biarawati di seluruh dunia, meskipun ada juga sejumlah kongregasi yang tidak mensyaratkannya, seperti beberapa kongregasi di Amerika, atau di Indonesia, yaitu beberapa suster Alma, yang bergerak dalam pelayanan masyarakat miskin.

Namun bagi mereka yang tidak berkerudung pun bukan berarti pribadi yang tidak taat. Kitab Suci menjadi salah satu pegangan iman, namun prinsip-prinsip yang diberikan tidaklah disertai dengan peraturan-peraturan detail. Peraturan-peraturan detail ini ada di dalam Kitab Hukum Kanonik. Sebagai contoh, Yesus memberikan perintah bahwa tidak ada perceraian, karena apa yang telah disatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan manusia. Namun, apakah dalam kasus seseorang tertipu, memanipulasi istri, kebohongan status lajang padahal telah mempunyai beberapa istri, dll., maka perkawinannya tetap dianggap sah dan tidak terceraikan? Nah, prinsip-prinsip untuk menyelesaikan hal ini dapat dilihat di Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dengan kata lain, apa yang kita percaya diwujudkan dengan peraturan yang lebih mendetail dalam
KHK.

Hal tentang cara berpakaian memang tidak diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983. Dalam menghadiri Misa, yang terpenting adalah berpakaian yang sopan, sama seperti ketika seseorang menghadap orang yang penting. Dengan demikian, pemakaian rok mini, baju dan kaus ketat, celana pendek, sandal jepit, tidak mencerminkan kesopanan ketika menghadiri Misa Kudus. Kalau ada wanita yang menggunakan penutup kepala saat mengikuti Misa tentu harus didukung. Katekismus juga sesungguhnya mensyaratkan cara bersikap dan berpakaian yang layak untuk menerima sakramen Ekaristi, sebagaimana disebutkan di sini:

KGK 1387 Supaya mempersiapkan diri secara wajar untuk menerima Sakramen ini, umat beriman perlu memperhatikan pantang (Bdk. KHK, kan. 919) yang diwajibkan Gereja. Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita.

Secara prinsip, tidak ada dokumen yang mengatur secara persis bagaimana berpakaian sopan, karena setiap daerah atau negara mempunyai perbedaan budaya. Di Irian jaya, mungkin dengan cara pakaian mereka, kita menyebutnya tidak sopan, namun di daerah mereka, itulah cara berpakaian yang layak sebagai wujud dari sikap menghormati. Dengan demikian, parameter dari berpakaian sopan adalah pakaian yang menunjukkan sikap hormat, karena kita akan bertemu dengan Raja dari segala raja, yaitu Kristus sendiri. Jadi, kita dapat memikirkan, kalau orang tua atau murid akan menghadap kepala sekolah, menghadap pejabat, menghadap presiden, maka pakaian apa yang dikenakan? Dengan prinsip ini, maka memang tidak sepatutnya, kalau seorang perempuan memakai rok mini, pakaian terbuka, dandan yang berlebihan. Sebaliknya, tidaklah sepatutnya kalau seorang pria ke gereja hanya dengan mengenakan celana pendek dan sandal jepit – kecuali dia tidak mempunyai celana panjang yang layak dan sepatu yang layak. Di Vatikan dan gereja-gereja di Eropa cukup ‘strict‘ dengan peraturan ini.
Walaupun orang telah mengantri berjam-jam untuk masuk ke Basilika St. Petrus di Vatikan, namun kalau dia memakai rok mini dan pakaian yang terbuka, maka mereka tidak diperbolehkan masuk.

Mungkin sudah saatnya para pastor juga mulai mengingatkan tentang berpakaian yang sopan di dalam gereja. Cara yang mungkin baik adalah dengan menyediakan selendang / syal yang dipinjamkan kepada umat yang memakai pakaian kurang pantas dan setelah misa dapat mengembalikan lagi ke panitia yang bertugas. Dengan cara ini, maka lama-kelamaan umat akan semakin menyadari pentingnya untuk berpakaian yang baik, sebagai wujud penghormatan kita kepada Kristus dan agar kita juga tidak mengganggu yang lain. Kalau mau, anda juga dapat membuat usulan kepada pastor di paroki anda.

Secara sosial, kita memakai common sense, bahwa aneka profesi menuntut pakaian tertentu. Aneka peristiwa penting juga menuntut pakaian khusus. Berbagai kegiatan pun ada pakaiannya masing-masing. Pakaian untu rekreasi tentu lain dari pakaian untuk kerja kantoran dan lain pula dari pakaian berkebun dan memasak atau acara resmi kenegaraan dan ibadah. Jika kita berpakaian rapi ke tempat kerja atau jika kita diundang ke istana negara untuk bertemu bapak presiden, tentu seharusnya kita berpakaian lebih pantas untuk menghadap Tuhan dalam Misa Kudus. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri untuk bersikap hormat dan berpakaian rapi ke gereja, sebagai ungkapan sikap batin dan penghayatan iman kita akan makna Ekaristi yang akan kita sambut. Demikian juga dalam penggunaan kerudung Misa. Ada beberapa yang bisa menjadi dasar permenungan kita dalam penggunaan kerudung misa:

KITAB SUCI

Kitab Suci memberikan beberapa alasan untuk memakai kerudung. Santo Paulus mengatakan pada kita di dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus (11:1-16) bahwa kita harus menutupi kepala kita sebagai Tradisi yang Sakral diperintahkan oleh Tuhan kita sendiri dan dipercayakan kepada Paulus: “..bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan.” (1 Korintus 14:37) Kita harus selalu siap dengan kerudung pengantin kita, menunggu DIA dan pernikahan yang dijanjikanNYA (Wahyu 22: 17), mengikuti contoh dari Bunda Maria selalu berkerudung dengan benar

TATANAN HIRARKHI ILAHI

Tuhan telah membuat suatu tatanan hirarkhi, baik untuk keadaan alami ataupun religius, dimana wanita harus tunduk kepada pria. Santo Paulus menulis pada 1 Korintus: “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah. (1 Korintus 11:3)
Dan di dalam pernikahan, Tuhan memberikan suami kuasa atas istri, namun harus bertanggungjawab pula akan dia. Tidak hanya sebagai pengambil keputusan keluarga, namun ia bertanggung jawab bagi kesejahteraan material dan spritual akan istri dan anak-anaknya. Pria tidak di dalam posisi untuk memperbudak atau menginjak istri.
Sebagai sang Mempelai (Gereja) harus tunduk kepada Yesus, para wanita harus memakai kerudung sebagai tanda bahwa ia tunduk kepada pria: Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. (Efesus 5: 22-23). Pria melambangkan Yesus, sehingga pria tidak harus menutupi kepalanya.


Namun, ketaatan ini tidak menghina perempuan, karena semua orang dalam kerajaan Allah dikenakan otoritas yang lebih tinggi:
“Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11: 12).
Lebih jauh lagi, simbol dari kerudung menyatakan yang tak kelihatan, keteraturan yang dibuat oleh Tuhan, dan hal ini menjadi terlihat. Di dalam sejarah Gereja, pakaian-pakaian para imam telah memainkan peranan simbol yang sama.

KEHORMATAN WANITA

Adalah sebuah kehormatan untuk memakai kerudung. Dalam Pontifikal Roma berisi mendorong diadakannya seremonial konsekrasi akan kerudung-kerudung:
“Terimalah kerudung sakral, agar engkau diketahui telah membenci dunia, dan telah sungguh, dengan rendah hati, dan dengan segenap hati menjadi mempelai Kristus; dan kiranya IA membela engkau dari segala yang jahat, dan membawa engkau kepada kehidupan yang kekal” (Pontificale Romanum, de benedictione).


Satu permenungan seorang Katoik yang amat menyentuh:” kerudung Misa (terutama mantilla) membuat saya merasa bagaikan seorang pengantin!” Saya berpikir seperti ini: “Jika banyak wanita menunggu-nunggu hari besarnya di mana ia akan berkerudung saat menghampiri calon suaminya, mengapa kita enggan berkerudung saat menyambut Kekasih Surgawi kita? Bukankah Kurban Kalvari, yang senantiasa dihadirkan kembali di dalam Misa, adalah tanda perkawinan antara Kristus dengan Gereja-Nya,Kristus dengan saya? Jikalau demikian, tidakkah semestinya kita mengenakan bukan saja pakaian yang terbaik, melainkan juga pakaian yang spesial, yang sedikit berbeda dari hari-hari biasa? Betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup mengenakan gaun beserta kerudung pengantin mereka!”

Permenungan tersebut kemudian menjadi alasan utama saya memutuskan mengenakan kerudung Misa. Tanpa disadari, kerudung Misa meningkatkan sensitivitas saya terhadap benda-benda kudus dan atmosfer suci di dalam gereja. Saya memperhatikan bahwa setiap gerakan doa dan pujian saya lebih teratur, tenang, dan bertujuan; disposisi batin saya pun lebih terarah kepada Dia yang pantas mendapatkan seluruh perhatian saya.

Selembar kain yang tampak remeh ini rupanya sanggup menjadi semacam bentuk disiplin bagi daging saya yang lemah ini, serta sebuah pengingat bahwa saya adalah kekasih Kristus, pengantin Tuhan, dan dengan demikian saya harus bersikap selayaknya seorang pengantin, bukan pelacur. Betul bahwa hal tersebut membutuhkan pengorbanan dalam bentuk ketundukan (submission); namun apa artinya kasih tanpa pengorbanan?

Namun setelah beberapa lama berkerudung Misa, saya mulai mengevaluasi kembali pakaian dan penampilan saya. Pertama, dari segi kecocokan, saya merasa bahwa kerudung Misa sesungguhnya memang paling cocok jika disandingkan dengan gaun atau rok yang sopan, jadi saya mulai secara eksklusif mengenakan rok untuk ke gereja. Kedua, bagaimana mungkin seorang wanita yang menudungi kepalanya tidak melindungi tubuhnya juga? Demikianlah kini saya menjadi lebih modest, tidak hanya dalam berbusana, melainkan juga dalam tindak-tanduk, perkataan, dan cara berpikir.Bisa dibilang, memang, bahwa praktek berkerudung mengubah pribadi saya menjadi lebih feminin. Di masa modern ini, terutama di kehidupan perkotaan yang banyak terpengaruh budaya barat, menjadi feminin merupakan bahan cemoohan. Aneh tapi nyata, lambat laun perubahan secara fisik pun juga terjadi, yaitu perubahan isi lemari pakaian saya. Perlu dicatat bahwa sebelumnya saya agak anti dengan rok dan hal-hal yang “cewek banget”. Saya menganggap hal-hal feminin itu lemah dan kurang praktis. Padanan baju saya pun sebagian besar berupa kaus atau kemeja dan celana jins panjang maupun pendek.

Tetapi jika dipikirkan, mengapa wanita takut menjadi feminin? “Feminin” berasal dari kata “female”, perempuan, sehingga feminin berarti hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Menjadi feminin sesungguhnya mengukuhkan identitas seorang perempuan, yang sejajar dengan pria namun tetap berbeda, salah satunya berbeda dalam hal kehormatan menjadi bejana sakral pembawa kehidupan baru. Tabernakel dan piala yang berisikan Tubuh dan Darah Tuhan — Sang Kehidupan itu sendiri — juga dikerudungi, mengapa wanita tidak? Padahal, di dalam tubuh wanitalah terjadi misteri cinta yang melahirkan kehidupan! Kerudung Misa menegaskan realita ini dan mengangkatnya ke dalam makna teologis yang tinggi dan mendalam.

Tentunya, saya tidak menganggap bahwa wanita dengan kerudung Misa itu lebih suci dibanding wanita yang tidak berkerudung. Justru, karena saya belum sucilah, saya membutuhkan devosi ini untuk membantu mendisiplinkan kedagingan saya dan mengarahkan saya kepada Kehadiran Allah,kerudung Misa mendorong pertobatan saya secara fisik dan membuat saya lebih memahami konsep kesederhanaan (modesty), kemurnian (chastity), dan keindahan (beauty) menurut Iman Katolik. Kerudung Misa mungkin hanya terlihat sebagai sepotong kain yang cantik belaka, tetapi percayalah, sebagai sebuah bentuk devosi, kerudung Misa amat powerful dan dengan rahmat Allah, ia akan membantu anda lebih mudah tunduk kepada Sang Mempelai yang Tersalib.


KARENA PARA MALAIKAT


“Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.” (1 Korintus 11: 10). Tatanan hirarkhi yang tidak terlihat harus dihormati sebab para Malaikat hadir pada kumpulan liturgikal Kristen, mempersembahkan bersama kita Kurban Kudus dengan hormat bagi Tuhan. Santo Yohanes Rasul menulis:
“Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pendupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. (Wahyu 8: 3, lihat juga Matius 18: 10)
Mereka tersinggung karena kurang hormatnya orang-orang pada Misa, sama seperti mereka membenci Raja Herodes menerima penyembahan dari orang-orang Yerusalem:
“Dan seketika itu juga ia ditampar malaikat Tuhan karena ia tidak memberi hormat kepada Allah; ia mati dimakan cacing-cacing.” (Kis 12: 23)

TRADISI KUNO

Adat memakai kerudung dijaga di dalam Gereja primitif Tuhan (1 Kor.11: 16) Kita melihat ini dalam surat Paulus kepada umat di Korintus. Para wanita Korintus dilanda oleh kepekaan modern, mulai datang ke gereja tanpa kepala mereka ditutupi. Ketika St Paulus mendengar penolakan mereka, ia menulis dan mendesak mereka untuk menjaga kerudung. Menurut komentar akan Alkitab oleh Santo Jerome, ia akhirnya menetap masalah ini dengan mengatakan kerudung adalah kebiasaan masyarakat primitif Yudea, "Gereja-gereja Tuhan" (1 Tes 2-14, 2Thess.1-4), yang memiliki menerima Tradisi ini sudah sejak dari awal (2 Tes 2: 15. 3:6).

PERINTAH TUHAN


Santo Paulus mengingatkan mereka: "Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus" (Gal.1: 12), mengacu pada otoritas pelayanannya, dan kebenaran kata-katanya. Paus Linus yang menggantikan santo Petrus juga memberlakukan tradisi yang sama wanita menutupi kepala mereka di gereja (Gereja primitif, TAN.) Tuhan kita memperingatkan kita untuk mematuhi perintah-perintah-Nya: "Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga."(Matt.5: 19).