Rabu, 24 Februari 2016

KEBERSAMAAN KAMI....

LINGKUNGAN PAULUS PERUMAHAN RAKYAT WONOSARI

Berpartisipasi mengikuti lomba masak dalam rangka HUT SMA DOMINIKUS WONOSARI











 Kerja bakti di Gereja ST Petrus Kanisius Wonosari






Latihan koor





Tugas di Goa Maria Tritis







Aksi Sosial Natal / Paskah


Mengunjungi Romo Darmadi di Ungaran

Tugas Koor Di Gereja

Tugas hias altar

Misa Arwah di lingkungan Perak


Masak dan makan-makan bareng

Rosario kelompok kecil 
  
Semoga lingkungan Paulus akan tetap selalu bersama dan semakin guyub....

Selasa, 09 Februari 2016

MENGAPA UMAT KATOLIK PERLU MELAKUKAN PANTANG DAN PUASA?




“What are you going to give up this Lent?”

Di Amerika ini, ada pertanyaan umum menjelang masa Prapaska. Dalam pembicaraan sehari- hari antar teman, seseorang dapat bertanya, “What are you going to give up this Lent?” (“Kamu mau pantang apa dalam Masa Prapaska ini?”). Ya, seharusnya pertanyaan ini timbul di hati kita sebelum kita memulai masa Prapaska, jika kita ingin membuat Masa Prapaska ini suatu kesempatan kita untuk bertumbuh secara rohani. Inilah kesempatan bagi kita untuk merenungkan, hal apa yang paling kita sukai, yang dapat kita ‘korbankan’ demi menyatakan kasih kepada Tuhan, yang lebih dahulu mengasihi kita. Hal yang disukai bisa berbeda antara orang yang satu dengan yang lain, dan karena itu, yang paling dapat merasakan efeknya adalah orang yang bersangkutan. Ada keluarga teman saya yang senengnya menonton TV, kemudian mereka memutuskan untuk mengurangi nonton TV sehingga hanya 1 kali seminggu, hari Sabtu. Waktu yang tadinya dipakai untuk nonton TV dipergunakan untuk berkumpul dan berdoa bersama. Tahun lalu, di samping pantang daging, suami saya memilih pantang kopi, dan saya pantang sambal. Minggu pertama sangat berat buat suami saya, yang sudah bertahun-tahun terbiasa minum kopi minimal 3 gelas sehari. Awalnya, kepalanya pusing dan selalu mengantuk, namun toh akhirnya bisa juga. Lalu saya, dengan pantang sambal maka makan apapun rasanya kurang pas di lidah saya. Tapi hal ini mengajarkan saya supaya tidak lekas komplain. Sebab ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib.

Memang, kita dapat menemukan banyak jenis pantang, dan mungkin pula kita dapat memilih yang sedikit lebih sulit, yang melibatkan penguasaan diri. Contohnya, pantang membicarakan kekurangan orang lain, pantang membicarakan kelebihan diri sendiri, pantang mengeluh/ komplain, pantang berprasangka negatif atau pantang marah bagi orang yang lekas emosi. Selanjutnya kita diajak untuk lebih mengarahkan hati kepada Tuhan dan berusaha menyenangkan hati-Nya dengan pikiran dan perbuatan kita. Ini adalah contoh yang paling sederhana dari ucapan, “Aku mau mati terhadap diri sendiri dan hidup bagi Tuhan” (lih. Rom 6:8). Jadi pantang dan puasa bukan sekedar tidak makan daging atau tidak jajan, tetapi selebihnya tak ada yang berubah dalam hubungan kita dengan Tuhan. Kita diundang untuk melihat ke dalam diri kita, untuk melihat kebiasaan apakah yang selama ini menghalangi kita untuk lebih dekat kepada Tuhan. Mari, pada masa Prapaska ini, kita membuat suatu usaha nyata untuk mengambil ‘penghalang’ tersebut dalam hidup kita. Dan dengan demikian, kita dapat mengalami hubungan yang lebih baik dengan Tuhan.

Buat apa berpantang dan berpuasa

Setiap masa Prapaska, kita diajak oleh Gereja untuk bersama-sama berpantang dan berpuasa. Puasa dan pantang yang disyaratkan oleh Gereja Katolik sebenarnya tidak berat, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melakukannya. Namun, meskipun kita melakukannya, tahukah kita arti pantang dan puasa tersebut bagi kita umat Katolik?

Bagi kita orang Katolik, puasa dan pantang artinya adalah tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan keselamatan dunia. Jika pantang dan puasa dilakukan dengan hati tulus maka keduanya dapat menghantar kita bertumbuh dalam kekudusan. Kekudusan ini yang dapat berbicara lebih lantang dari pada khotbah yang berapi-api sekalipun, dan dengan kekudusan inilah kita mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Allah begitu mengasihi dan menghargai kita, sehingga kita diajak oleh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan ini. Caranya, dengan bertobat, berdoa dan melakukan perbuatan kasih, dan sesungguhnya inilah yang bersama-sama kita lakukan dalam kesatuan dengan Gereja pada masa Prapaska.

Jangan kita lupa bahwa masa puasa selama 40 hari ini adalah karena mengikuti teladan Yesus, yang juga berpuasa selama 40 hari 40 malam, sebelum memulai tugas karya penyelamatan-Nya (lih. Mat 4: 1-11; Luk 4:1-13). Yesus berpuasa di padang gurun dan pada saat berpuasa itu Ia digoda oleh Iblis. Yesus mengalahkan godaan tersebut dengan bersandar pada Sabda Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci. Maka, kitapun hendaknya bersandar pada Sabda Tuhan untuk mengalahkan godaan pada saat kita berpuasa. Dengan doa dan merenungkan Sabda Tuhan, kita akan semakin menghayati makna puasa dan pantang pada Masa Prapaska ini.

Puasa dan pantang tak terlepas dari doa

Jadi puasa dan pantang bagi kita tak pernah terlepas dari doa. Dalam masa Prapaska, puasa, pantang dan doa disertai juga dengan perbuatan amal kasih bersama-sama dengan anggota Gereja yang lain. Dengan demikian, pantang dan puasa bagi kita orang Katolik merupakan latihan rohani yang mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama, dan bukan untuk hal lain, seperti semata-mata ‘menyiksa badan’, diit/ supaya kurus, menghemat, dll. Janganlah kita lupa, tujuan utama puasa dan pantang adalah supaya kita dapat lebih menghayati kasih Tuhan yang kita terima dan kasih kepada Tuhan. Kita diajak untuk merenungkan sengsara Kristus demi menyelamatkan kita, dan selanjutnya kita diajak untuk menyatakan kasih kita kepada Kristus, dengan mendekatkan diri kepada-Nya dan sesama.

Dengan puasa kita mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah

Dengan mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan, maka kehendak-Nya menjadi kehendak kita. Dan karena kehendak Tuhan yang terutama adalah keselamatan dunia, maka melalui puasa dan pantang, kita diundang Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan dunia, yaitu dengan berdoa dan menyatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita pun dapat mendoakan keselamatan dunia dengan mulai mendoakan bagi keselamatan orang-orang yang terdekat dengan kita: orang tua, suami/ istri, anak-anak, saudara, teman, dan juga kepada para imam dan pemimpin Gereja. Kemudian kita dapat pula berdoa bagi para pemimpin negara, para umat beriman, ataupun mereka yang belum mengenal Kristus.

Tidak terbatas Pantang dan Puasa dan derma/amal

Dalam masa Prapaska ini, dapat pula kita melakukan sesuatu yang baik yang belum secara konsisten kita lakukan. Misal, bangun lebih pagi setiap hari untuk berdoa, misal dari yang biasanya 5 menit, usahakan jadi 10 menit; atau dari yang biasanya 10 menit, usahakan jadi 20 menit, atau yang 30 menit jadi 1 jam. Memulai hari dengan berdoa dan merenungkan Sabda Tuhan adalah sesuatu yang perlu kita usahakan setiap hari.

Mengikuti Misa Harian (di samping Misa hari Minggu, tentu saja) adalah sesuatu yang dapat pula kita lakukan, jika itu memang memungkinkan dalam situasi kita. Jangan terlalu cepat mengatakan tidak mungkin, jika belum pernah mencoba. Apalagi jika kita tidak mencobanya karena malas bangun pagi. Mengikuti Misa dan menyambut Kristus dalam Ekaristi adalah bukti yang nyata bahwa kita sungguh menghargai apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita di kayu salib demi keselamatan kita. Kita dapat pula meluangkan waktu untuk doa Adorasi, di hadapan Sakramen Maha Kudus, jika memang ada kapel Adorasi di paroki/ di kota tempat kita tinggal. Atau kita dapat mulai berdoa Rosario setiap hari. Atau mulai dengan setia meluangkan waktu untuk mempelajari Kitab Suci dan Katekismus Gereja Katolik. Atau mengikuti Ibadat Jalan Salib di gereja, atau jika tidak mungkin, melakukannya bersama dengan keluarga di rumah.

Dalam relasi kita dengan sesama, juga tidak terbatas dengan ‘asal sudah nyumbang, maka sudah beres’. Dengan merenungkan sengsara Tuhan Yesus, maka kita diajak untuk lebih peka terhadap sikap kita terhadap sesama yang kurang beruntung. Misalnya, yang paling dekat adalah pembantu rumah tangga dan supir. Pernahkah kita memberi kesempatan pada mereka untuk beristirahat, misalnya memberi mereka libur? Libur di sini tidak termasuk hanya pada libur Lebaran, dst, tetapi libur/ istirahat agar mereka juga dapat berekreasi dan melepas lelah. Atau apakah kita menjalin persahabatan dengan sesama anggota Paroki yang berkekurangan?

Wah, banyak sekali sesungguhnya yang dapat kita lakukan, jika kita sungguh ingin bertumbuh di dalam iman. Namun seungguhnya, mulailah saja dengan langkah kecil dan sederhana. St. Theresia dari Liseux pernah mengatakan tipsnya, yaitu, “Lakukanlah perbuatan-perbuatan yang kecil dan sederhana, namun dengan kasih yang besar.”

Penutup

Maka untuk menjawab pertanyaan awal, “Mau pantang apa aku pada Masa Prapaska ini?”, kita perlu kembali melihat ke dalam hati kita masing-masing. Pasti jika kita mau jujur, akan selalu ada yang dapat kita lakukan. Mengurangi nonton TV, mengurangi ngemil/ jajan, mengurangi nonton bioskop, tidak main game di internet, dll hanya contoh saja, namun itu belum lengkap, jika kita tidak menggunakan waktu tersebut, untuk hal-hal lain yang lebih mendukung perbuatan kasih kita kepada Tuhan dan sesama.

Ya, dengan Rabu Abu, kita diingatkan bahwa hidup kita di dunia ini hanyalah sementara, maka mari kita mempersiapkan diri bagi kehidupan kita yang sesungguhnya di surga kelak. Kita hanya dapat masuk surga dan memandang Tuhan hanya jika kita memiliki kekudusan itu (lih. Ibr 12:14), maka sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah aku hidup kudus? Masa pertobatan adalah masa rahmat yang Tuhan berikan pada kita, untuk mengatur kembali fokus kehidupan kita. Apakah yang menjadi pusat kegiatanku sehari-hari: aku atau Tuhan? Jika kita masih banyak menemukan ‘aku’ sebagai pusatnya, mungkin sudah saatnya kita mulai mengubahnya….

Sumber: Katolisitas.org

Apakah Semua Makanan Halal?

POJOK KATEKESE



Dalam ajaran agama Islam dan beberapa Gereja Kristen, ada makanan yang diharamkan. Tapi, mengapa dalam Gereja Katolik tidak ada makanan yang diharamkan? Apakah boleh makan persembahan dari meja sembahyangan Konghucu?

Pertama, memang dalam Perjanjian Lama ada ketentuan binatang mana yang haram dan mana yang tidak haram (Im 11:1-47; bdk Ul 14:3-21). Ketentuan ini kemudian diubah Yesus seperti dinyatakan Markus, “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya,
lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal (Mrk 7:18-19). Karena itulah, tidak ada lagi makanan yang haram.

Kedua, makan bahan persembahan dari meja sembahyang Konghucu sebaiknya tidak dilakukan, apalagi jika makan bahan persembahan ini dilakukan di dalam ibadat itu. Mengapa? Karena makan atau minum bahan
persembahan seringkali dimengerti sebagai ungkapan persekutuan dengan dia atau mereka yang menjadi tujuan persembahan itu. Memakan atau meminum bahan persembahan berarti ikut mengambil bagian dalam ungkapan iman dalam
ibadat itu.

Hal ini mirip dengan minum dari piala Kristus berarti persekutuan dengan darah Kristus. Demikian pula, makan roti persembahan berarti persekutuan dengan tubuh Kristus (bdk 1Kor 10:16-17; bdk ay 21-22). Menolak makan bahan
persembahan berarti kita tidak bersedia dipersekutukan. Dalam hal ini, bukan makanan itu yang bersifat haram, melainkan makna dari memakan bahan persembahan itu yang harus dihindari.

Ketiga, jika bahan persembahan ini dibagi-bagikan tetapi tetap jelas bahwa hal ini adalah sisa persembahan, maka sebaiknya bahan persembahan itu tidak diterima. Hal ini kita lakukan bukan karena bahan persembahan itu haram,
tetapi karena keberatan hati nurani dari dia yang mengatakan hal itu atau dari orang-orang lain yang tidak memiliki pengetahuan yang baik tetapi mengetahui bahwa kita menerima bahan persembahan itu (bdk. 1Kor 10:28-29a). Artinya, jika kita menerima bahan persembahan itu maka kita menimbulkan syak wasangka dalam hati orang lain tentang makna menerima dan memakan atau
meminum bahan persembahan itu (bdk. 1Kor 10:32-33).

Dalam hal ini kita bisa menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah pengetahuannya dan masih terikat kepada hal-hal di luar Allah, seolah kita mau dipersekutukan melalui persembahan itu. “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa kalau kita makan. Tetapi jagalah supaya kebebasanmu
ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (bdk. 1Kor 8:7-12).

Dengan keras Rasul Paulus menegaskan sikapnya, “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya
tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” (1 Kor 8:13)

Keempat, seandainya bahan persembahan itu kemudian dijual di pasar sebagai kue, buah atau apa pun pada umumnya, maka kita boleh memakan atau meminumnya. Dengan dijual secara umum, bahan persembahan itu kehilangan kuasa persekutuannya dan kaitannya dengan tempat ibadat. Bahan itu kembali menjadi bahan umum yang layaknya dijual di pasar.

Dalam kasus yang mirip, Paulus mengatakan, “Kamu boleh makan segala sesuatu yang dijual di pasar daging, tanpa mengadakan pemeriksaan karena
keberatan-keberatan hati nurani. Karena ‘bumi serta segala isinya adalah milik Tuhan.’ Kalau kamu diundang makan oleh seorang yang tidak percaya, dan undangan itu kamu terima, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu,
tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani.” (1Kor 10:25-27)

Semua pertimbangan Paulus didasarkan bukan karena makanan itu sendiri sebagai haram, melainkan didasarkan pada pertimbangan keberatan hati nurani tentang makna menerima dan memakan atau meminum bahan persembahan dari agama lain.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM-HidupKatolik.com

MASA PRAPASKAH DAN MATI RAGA

DIUTUS MENJADI GARAM DAN TERANG BAGI MASYARAKAT


Masa Prapaskah merupakan suatu tradisi dalam Gereja Katolik untuk mempersiapkan diri menyambut Hari Raya Paskah. Apakah Masa Prapaskah ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri? Jawabannya adalah tentu tidak. Namun demikian, sebagai umat Katolik kita mengimani bahwa Gereja Katolik yang dilembagakan oleh Kristus sendiri, berhak untuk menetapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk membangun iman umatnya. Gereja Katolik bagaikan ibu kita yang menyediakan segala fasilitas yang diperlukan bagi anaknya untuk menjalani hidup yang  utuh dan bahagia.

Masa Prapaskah berawal dari (t)radisi mempersiapkan katekumen (calon baptis) yang hendak menerima Sakramen Baptis pada Malam Paskah. Pada zaman dahulu, penerimaan Sakramen Baptis hanya dilangsungkan pada Malam Paskah, mengingat hubungan yang erat antara sakramen ini  dengan Paskah Kristus. Orang yang menerima Sakramen Baptis, dikuburkan bersama Kristus dan bangkit kembali untuk menerima hidup baru.  Seiring berjalannya waktu, periode persiapan bagi katekumen ini berkembang menjadi suatu periode mati raga/mortifikasi (penyangkalan diri) selama 40 hari yang di dalamnya termasuk Tri Hari Suci. Perlu dijernihkan di sini bahwa "Tri Hari Suci berlangsung mulai Misa Perjamuan Tuhan sampai Ibadat Sore Minggu Paskah" (DIREKTORIUM TENTANG KESALEHAN UMAT DAN LITURGI No.140). Ibadat Sore yang dimaksud di sini adalah Ibadat Harian dari buku Brevir. Jadi, Tri Hari Suci terdiri dari Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci. Adapun Misa Malam Paskah sudah tidak termasuk ke dalam Masa Prapaskah, melainkan peralihan ke Hari Raya Paskah. Namun demikian,  umat yang menghadiri Misa Malam Paskah sudah memenuhi kewajiban menghadiri Misa Hari Raya (Minggu) Paskah, walaupun tetap dianjurkan untuk menghadiri Misa Hari Raya (Minggu) Paskah.


Pantang dan puasa di luar hari Rabu Abu dan Jumat Agung dapat kita lakukan setiap hari selama Masa Prapaskah, KECUALI pada hari Minggu (karena kita SELALU merayakan hari Minggu sebagai HARI RAYA dan pangkal segala pesta, walaupun hari-hari Minggu Prapaskah tetap bernuansa pertobatan).  Mengapa Masa Prapaskah terdiri dari periode 40 hari? Angka “40” dalam Kitab Suci muncul dalam berbagai peristiwa. Musa berada di Gunung Sinai selama 40 hari 40 malam, Elia melakukan menempuh perjalanan ke Gunung Horeb selama 40 hari 40 malam, dan Yesus sendiri berpuasa 40 hari 40 malam. Inti dari semua peristiwa itu sama. Ada suatu “perjalanan rohani” dalam periode tersebut. Hal ini tepat sejalan dengan dokumen gerejawi  LITTERÆ CIRCULARES DE FESTIS PASCHALIBUS PRÆPARANDIS ET CELEBRANDIS atau PERAYAAN PASKAH DAN PERSIAPANNYA (PPP) No. 6 dikatakan bahwa “Masa Prapaskah tahunan adalah masa rahmat, karena kita mendaki Gunung Suci Hari Raya Paskah”. Maka dari itu, Masa Prapaskah tepat sekali kita manfaatkan untuk “menjadi manusia yang lebih baik”.

Dalam sejarah Gereja, banyak umat, baik secara individu maupun kelompok, melakukan upaya-upaya mati raga secara lahiriah. Seperti mencambuki diri sendiri dengan cambuk kecil, melakukan puasa yang ekstrim, memakai pakaian dari karung goni, dan sebagainya. Semua upaya mati raga ini dilakukan sebagai bentuk pertobatan.  Saat ini, praktik-praktik mati raga semacam itu sudah tidak lazim dilakukan dalam Gereja (walaupun Gereja tidak melarang secara eksplisit, karena bagaimanapun bentuk-bentuk mati raga itu merupakan suatu devosional, sesuatu yang bersifat pribadi). Kini, mati raga kita bukan  lagi “mencari penderitaan”,  karena penderitaan selalu ada dalam kehidupan kita.  Lalu bagaimana kita menjalani mati raga dalam Masa Prapaskah ini? Berikut tips-tips yang mungkin bisa diterapkan.

1.      Pertama sekali, kita harus menyadari kehidupan rohani kita. Apakah kehidupan kita lebih baik dari tahun lalu atau malah lebih buruk? Apapun itu, kita bertekad untuk menjadi lebih baik melalui sarana Masa Prapaskah yang ditetapkan oleh Gereja.

2.      Apakah dosa yang kita sering akui dalam Sakramen Tobat? (atau bahkan malah jangan-jangan kita sudah lama sekali tidak menerima Sakramen Tobat?) Dosa yang sering kita akui menunjukkan bagian mana dalam diri kita yang masih harus diperbaiki.

3.      Tidak membuat komitmen mati raga yang “wah”. Buatlah komitmen yang sederhana tapi “berdaya guna”. Gereja Katolik mewajibkan PANTANG BERIKUT PUASA HANYA PADA hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Namun demikian, adalah baik bila kita tetap melakukannya pada hari-hari lain juga selama Masa Prapaskah. PUASA berarti makan kenyang sekali sehari pada satu jam makan. Pada jam makan lain kita mengurangi porsi makan kita sambil mengingat orang-orang yang berkekurangan. PANTANG berarti tidak melakukan yang kita sukai DENGAN DILANDASI MOTIVASI ROHANI, dengan kata lain sebagai KORBAN ROHANI. Seseorang yang karena satu dan lain hal harus mengurangi konsumsi gula karena diabetes, misalnya, tidak bisa berkata “Saya pantang gula” (karena memang pada dasarnya orang itu harus mengurangi gula demi kesehatan). Orang seperti ini sebaiknya mencari bentuk pantang lain. Lain halnya apabila seseorang “kecanduan” mengonsumsi gula, maka pantang gula bisa dilakukan, demi mengurangi “kelekatan” terhadap konsumsi gula. Demikian juga mereka yang sudah terbiasa menjadi vegetarian, tidak bisa berkata "saya pantang daging" pada Masa Prapaskah, namun ia bisa melakukan pantang yang lain.

4.      Bentuk pantang tidak terikat, melainkan kita mencari sendiri bentuk-bentuk yang memupuk pertobatan batin. Berikut usulan pantang/komitmen sederhana yang dapat dilakukan sebagai bentuk mati raga :

a.      mengurangi segala bentuk “kelekatan” (atau “kecanduan”, misalnya dalam hal merokok, konsumsi makanan tertentu, main games, media sosial internet ) dan menggantinya dengan kegiatan postif seperti menghadiri Misa harian, membaca dan merenungkan Kitab Suci, berdoa rosario, dan sebagainya

b.      pantang mengawali dan mengakhiri hari tanpa doa (dengan kata lain, berkomitmen untuk berdoa setiap hari).

c.      pantang datang terlambat menghadiri Misa (dengan kata lain, berkomitmen untuk datang lebih awal untuk berdoa Rosario sebelum Misa misalnya).

d.      pantang mengeluh (ketika kesulitan datang tidak mengeluh melainkan mempersembahkan kesulitan itu “demi Yesus dan bagi keselamatan jiwa-jiwa”)

e.      pantang menghamburkan uang dengan berkomitmen menyisihkan uang jajan atau biaya transport  yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan (misalnya jika ke tempat kerja sebenarnya bisa menggunakan kendaraan umum, maka tidak perlu naik taksi), untuk diserahkan ke Gereja sebagai Aksi Puasa.

f.      pantang cemberut (berkomitmen untuk tersenyum SEKALIPUN kita disakiti).

g.     pantang menggunakan tas plastik ketika belanja (berkomitmen "think globally, act locally")

Apabila mati raga yang kita lakukan selama Masa Prapaskah kemudian terus berlanjut menjadi kebiasaan baik setelah Masa Prapaskah selesai, maka diharapkan kita menjadi manusia yang sedikit lebih baik daripada sebelumnya.


         Akhir kata, segala perbuatan baik kita sebenarnya tidak membenarkan diri kita di hadapan Allah. Bapa hanya menerima perbuatan baik kita hanya kerena Kristus. Maka, jangan lupa untuk mempersembahkan segala mati raga (baca: korban rohani) kita kepada Bapa dengan menyatukannya dalam Korban Kristus dalam Ekaristi, misalnya dengan berdoa singkat atau berkata dalam hati, “Bapa, terimalah korban rohaniku yang kupersatukan dengan Kurban Kristus di altar.”


Sumber: https://www.facebook.com/gerejakatolik