Senin, 30 November 2015

HARI RAYA DALAM GEREJA KATOLIK

TAHUKAH ANDA, SEBENARNYA ADA BERAPA HARI RAYA WAJIB DALAM GEREJA KATOLIK?

Kita tentu tahu bahwa Hari Raya Natal dan Hari Raya Paskah adalah dua hari raya dalam agama Katolik dan Kristen. Namun tahukah anda bahwa sesungguhnya ada SEPULUH hari raya wajib dalam Gereja Katolik? 

Malam Paskah dan Hari Raya Paskah di kalender liturgi merupakan dua hari raya yang berbeda. Malam Paskah berada pada hari sendiri yang resminya bernama Sabtu Suci, sedangkan Hari Raya Paskah jatuh pada satu hari berikutnya pada hari minggu.

Hari Raya Paskah sendiri adalah puncak perayaan liturgi sepanjang tahun, dan karenanya disebut Hari Raya dari segala Hari Raya (Summa solemnitas / solemnity of solemnities), dan karenanya sangat wajib untuk diikuti. Jadi walaupun sudah mengikuti misa Malam Paskah tetap wajib mengikuti misa Hari Raya Paskah, berbeda dengan natal, kalau sudah mengikuti Malam Natal tidak wajib mengikuti natal paginya.


APA ITU HARI RAYA WAJIB?

Menurut Kanon 1247:
"Pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lain umat beriman berkewajiban untuk ambil bagian dalam Misa; selain itu, hendaknya mereka tidak melakukan pekerjaan dan urusan-urusan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Allah atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga."

Jadi, hari raya wajib memiliki bobot kewajiban selayaknya hari Minggu. Pada hari Minggu, kita WAJIB ke gereja karena pada hari tersebut kita merayakan Misteri Paskah.

SEPULUH HARI RAYA WAJIB GEREJA

Menurut Kanon 1246 § 1, sepuluh hari raya wajib Gereja yaitu:

1. HR Kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus (HR Natal) - 25 Desember

2. HR Santa Perawan Maria Bunda Allah - 1 Januari

3. HR Penampakan Tuhan (HR Epifani) - 6 Januari

4. HR Santo Yusuf - 19 Maret

5. HR Kenaikan Tuhan - 40 hari sesudah Paskah

6. HR Tubuh dan Darah Kristus - Kamis sesudah HR Tritunggal Mahakudus

7. HR Santo Petrus dan Paulus - 29 Juni

8. HR Maria Diangkat ke Surga - 15 Agustus

9. HR Semua Orang Kudus - 1 November

10. HR Maria Dikandung Tanpa Noda - 8 Desember



MENGAPA HARI RAYA PASKAH, RABU ABU, MINGGU PALMA, DAN TRI HARI SUCI TIDAK DISEBUTKAN?

HR Kebangkitan Tuhan (Paskah) dan Hari Minggu Palma memang sudah jatuh pada hari Minggu, maka otomatis hari raya tersebut wajib, sebab sudah semestinya orang Katolik menghadiri Misa Kudus pada hari Minggu.

Rabu Abu dan Tri Hari Suci, secara hukum kanonik memang BUKAN hari raya wajib. Tetapi adalah sangat baik dan sangat disarankan bahwa kita tetap menghadiri Misa Kudus pada hari-hari tersebut sebagai persiapan batin yang penting dalam menyambut HR Paskah. Hari-hari tersebut merupakan salah satu contoh kesempatan di mana kita dapat melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan, atas dasar kasih yang tulus kepada Allah, yang lebih dulu mengasihi kita.

DAPATKAH HARI RAYA WAJIB DIHAPUS ATAU DIGESER?

Menurut Kanon 1246 § 2: Konferensi para uskup—dalam hal ini adalah Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)—dengan persetujuan sebelumnya dari Takhta Apostolik, dapat menghapus beberapa dari antara hari raya wajib itu, atau memindahkannya ke hari Minggu.

Di Indonesia, KWI belum menetapkan apapun mengenai penghapusan atau penggeseran hari-hari raya wajib tersebut. Maka dari itu kita umat Katolik Indonesia tetap mengikuti apa yang berlaku di dalam hukum kanonik.

BAGAIMANA JIKA TIDAK DAPAT MENGHADIRI MISA KUDUS PADA HARI-HARI RAYA WAJIB TERSEBUT?

Aturan yang mengikat untuk hari-hari raya wajib adalah sama dengan hari Minggu, yaitu:

(Kan. 1248 § 2)

"Jika tidak ada pelayan suci atau karena alasan berat lain tidak mungkin ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, sangat dianjurkan agar kaum beriman ambil bagian dalam liturgi Sabda, jika hal itu ada di gereja paroki atau di tempat suci lain, yang dirayakan menurut ketentuan Uskup diosesan; atau hendaknya secara perorangan atau dalam keluarga atau jika mungkin beberapa keluarga bersama, meluangkan waktu untuk berdoa selama waktu yang pantas."

Artinya, harus ada alasan serius untuk tidak mengikuti Misa Kudus pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib lainnya. Bila memang demikian adanya, maka hendaknya kita tetap mengingat bahwa hari tersebut adalah hari raya, yaitu dengan mengambil bagian dalam Liturgi Sabda di gereja atau di tempat suci lain, atau mengusahakan waktu doa khusus secara pribadi atau dalam keluarga.

BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KATOLIK MENGHABISKAN HARI MINGGUNYA (SELAIN MISA)?

Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2185:

"Pada hari Minggu dan hari-hari pesta wajib lainnya, hendaknya umat beriman tidak melakukan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan yang merintangi ibadat yang harus dipersembahkan kepada Tuhan atau merintangi kegembiraan hari Tuhan atau istirahat yang dibutuhkan bagi jiwa dan raga. Kewajiban-kewajiban keluarga atau tugas-tugas sosial yang penting memaafkan secara sah perintah mengikuti istirahat pada hari Minggu. Tetapi umat beriman harus memperhatikan bahwa pemaafan yang sah tidak boleh dijadikan kebiasaan yang merugikan penghormatan kepada Allah, kehidupan keluarga, dan kesehatan."

"Kasih akan kebenaran mendorong untuk mencari waktu senggang yang kudus; kasih persaudaraan mendesak untuk menerima pekerjaan dengan sukarela." —Sto. Agustinus

KGK 2186:

Warga Kristen yang mempunyai waktu luang, harus ingat akan saudara dan saudarinya, yang mempunyai kebutuhan dan hak yang sama, namun karena alasan kemiskinan dan kekurangan tidak dapat istirahat. Di dalam tradisi kesalehan Kristen, hari Minggu biasanya dipergunakan untuk karya amal dan pengabdian rendah hati kepada orang sakit, orang cacat, dan orang lanjut usia. Orang Kristen hendaknya juga menguduskan hari Minggu dengan memperhatikan sanak-saudara dan sahabat-sahabatnya yang kurang mendapat perhatian mereka pada hari-hari lain. Hari Minggu adalah hari untuk permenungan, keheningan, pembinaan, dan meditasi yang memajukan pertumbuhan kehidupan Kristen.

KGK 2187:

Pengudusan hari Minggu dan hari-hari pesta menuntut usaha bersama. Seorang Kristen harus berhati-hati, supaya jangan tanpa alasan mewajibkan orang lain melakukan sesuatu yang dapat menghalang-halanginya untuk merayakan hari Tuhan. Juga apabila kegiatan-kegiatan (umpamanya yang bersifat olahraga dan ramah-tamah) dan kepentingan-kepentingan sosial (seperti pelayan masyarakat) menuntut, agar orang tertentu bekerja pada hari Minggu, tiap orang harus mencari waktu luang yang cukup untuk dirinya. Orang Kristen hendaknya berusaha dengan tenang dan penuh kasih, supaya menghindarkan kekacauan dan kekejaman, yang biasanya timbul dalam pergelaran-pergelaran. Kendati ada paksaan ekonomi, para penguasa harus mengusahakan bagi para warganya waktu yang diperuntukkan bagi istirahat dan ibadat. Para majikan mempunyai kewajiban yang serupa terhadap karyawannya.

KGK 2188:

Orang Kristen harus berusaha agar hari Minggu dan hari-hari pesta Gereja diakui sebagai hari libur umum, sambil memperhitungkan kebebasan beragama dan kesejahteraan umum bagi semua. Mereka harus memberi teladan publik mengenai doa, penghormatan, dan kegembiraan, dan membela adat kebiasaan mereka sebagai sumbangan yang sangat bernilai untuk kehidupan rohani dari masyarakat manusia. Seandainya perundang-undangan negara atau alasan-alasan lain mewajibkan orang bekerja pada hari Minggu, namun hari ini hendaknya tetap dirayakan sebagai hari penebusan kita, yang membuat kita mengambil bagian pada "suatu kumpulan yang meriah", pada "jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di surga" (Ibr 12:22-23).
;—Servus Veritatis—

sumber: Facebook Page Gereja Katolik, "Tahukah Anda? — Sebenarnya Ada Berapa Hari Raya Wajib dalam Gereja Katolik?", tertanggal 14 November 2014.

ADVENT 2015

Asal-mula Masa Adven
oleh: Romo William P. Saunders *


Masa Liturgi Adven menandai masa persiapan rohani umat beriman sebelum Natal. Adven dimulai pada hari Minggu terdekat sebelum Pesta St. Andreas Rasul (30 November). Masa Adven berlangsung selama empat hari Minggu dan empat minggu persiapan, meskipun minggu terakhir Adven pada umumnya terpotong dengan tibanya Hari Natal.

Masa Adven mengalami perkembangan dalam kehidupan rohani Gereja. Sejarah asal-mula Adven sulit ditentukan dengan tepat. Dalam bentuk awalnya, yang bermula dari Perancis, Masa Adven merupakan masa persiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja; jadi persiapan Adven amat mirip dengan Prapaskah dengan penekanan pada doa dan puasa yang berlangsung selama tiga minggu dan kemudian diperpanjang menjadi 40 hari. Pada tahun 380, Konsili lokal Saragossa, Spanyol menetapkan tiga minggu masa puasa sebelum Epifani. Diilhami oleh peraturan Prapaskah, Konsili lokal Macon, Perancis, pada tahun 581 menetapkan bahwa mulai tanggal 11 November (pesta St. Martinus dari Tours) hingga Hari Natal, umat beriman berpuasa pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Lama-kelamaan, praktek serupa menyebar ke Inggris. Di Roma, masa persiapan Adven belum ada hingga abad keenam, dan dipandang sebagai masa persiapan menyambut Natal dengan ikatan pantang puasa yang lebih ringan.

Gereja secara bertahap mulai lebih membakukan perayaan Adven. Buku Doa Misa Gelasian, yang menurut tradisi diterbitkan oleh Paus St. Gelasius I (wafat thn 496), adalah yang pertama menerapkan Liturgi Adven selama lima Hari Minggu. Di kemudian hari, Paus St. Gregorius I (wafat thn 604) memperkaya liturgi ini dengan menyusun doa-doa, antifon, bacaan-bacaan dan tanggapan. Sekitar abad kesembilan, Gereja menetapkan Minggu Adven Pertama sebagai awal tahun penanggalan Gereja. Dan akhirnya, Paus St. Gregorius VII (wafat thn 1095) mengurangi jumlah hari Minggu dalam Masa Adven menjadi empat.

Meskipun sejarah Adven agak “kurang jelas”, makna Masa Adven tetap terfokus pada kedatangan Kristus (Adven berasal dari bahasa Latin “adventus”, artinya “datang”). Katekismus Gereja Katolik menekankan makna ganda “kedatangan” ini: “Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya yang kedua” (no. 524).

Oleh sebab itu, di satu pihak, umat beriman merefleksikan kembali dan didorong untuk merayakan kedatangan Kristus yang pertama ke dalam dunia ini. Kita merenungkan kembali misteri inkarnasi yang agung ketika Kristus merendahkan diri, mengambil rupa manusia, dan masuk dalam dimensi ruang dan waktu guna membebaskan kita dari dosa. Di lain pihak, kita  ingat dalam Syahadat bahwa Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan mati dan kita harus siap untuk bertemu dengannya.

Suatu cara yang baik dan saleh untuk membantu kita dalam masa persiapan Adven adalah dengan memasang Lingkaran Adven. Lingkaran Adven merupakan suatu lingkaran, tanpa awal dan akhir: jadi kita diajak untuk merenungkan bagaimana kehidupan kita, di sini dan sekarang ini, ikut ambil bagian dalam rencana keselamatan Allah yang kekal dan bagaimana kita berharap dapat dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan kekal di kerajaan surga. Lingkaran Adven terbuat dari tumbuh-tumbuhan segar, sebab Kristus datang guna memberi kita hidup baru melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Tiga batang lilin berwarna ungu melambangkan tobat, persiapan dan kurban; sebatang lilin berwarna merah muda melambangkan hal yang sama, tetapi dengan menekankan Minggu Adven Ketiga, Minggu Gaudate, saat kita bersukacita karena persiapan kita sekarang sudah mendekati akhir. Terang itu sendiri melambangkan Kristus, yang datang ke dalam dunia untuk menghalau kuasa gelap kejahatan dan menunjukkan kepada kita jalan kebenaran. Gerak maju penyalaan lilin setiap hari menunjukkan semakin bertambahnya kesiapan kita untuk berjumpa dengan Kristus. Setiap keluarga sebaiknya memasang satu Lingkaran Adven, menyalakannya saat santap malam bersama dan memanjatkan doa-doa khusus. Kebiasaan ini akan membantu setiap keluarga untuk memfokuskan diri pada makna Natal yang sebenarnya.

Secara keseluruhan, selama Masa Adven kita berjuang untuk menggenapi apa yang kita daraskan dalam doa pembukaan Misa Minggu Adven Pertama: “Bapa di surga… tambahkanlah kerinduan kami akan Kristus, Juruselamat kami, dan berilah kami kekuatan untuk bertumbuh dalam kasih, agar fajar kedatangan-Nya membuat kami bersukacita atas kehadiran-Nya dan menyambut terang kebenaran-Nya.



“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Minggu, 29 November 2015

Jadwal Novena ke-4 Goa Maria Tritis

Misa Novena ke-4, 06 Desember 2015, dipimpin oleh Romo Walidi MSF (rektor Skolastikat), Koor dari Johanes Bosco School Yogyakarta


Minggu, 22 November 2015

Santa Cecilia, Perawan dan Martir, Pelindung Musisi Gereja


 SANTA CAECILIA(CECILIA)


Riwayat Hidupnya 

Cecilia adalah pelindung para seniman musik dan musisi Gereja. Ia diberi gelar demikian karena konon sebelum wafat, ia sempat melagukan kidung pujian bagi Tuhan.  Nama Cecilia diambil dari perkataan dalam bahasa latin yang berarti “Bunga Lili dari Surga”.

Cecilia adalah orang kudus yang sangat terkenal dan termasuk martir yang sangat dicintai dalam tradisi Gereja Katolik. Pesta santa Cecilia telah dirayakan oleh Gereja sejak abad ke enam. Nama Cecilia juga terdapat dalam Doa Syukur Agung. Pestanya dirayakan pada 22 November.

Sejarah menunjukkan bahwa St. Cecilia adalah orang suci pertama yang diketahui memiliki fenomena ‘tubuh yang tidak rusak’ (incorruptible). tahun kelahirannya tidak diketahui tetapi ia diperkirakan meninggal pada tahun 177.

Riwayat hidupnya hanyalah diketahui bahwa Cecilia hidup pada masa awal Gereja. Ia adalah seorang gadis bangsawan Romawi. Kehidupan sebagai seorang gadis bangsawan dengan gaun-gaun indah seperti kebanyakan pada zaman itu tidak pernah ada di dalam diri Cecilia. Ia lebih memilih mengenakan sehelai baju kasar daripada mengenakan gaun-gaun indah sebagaimana layaknya seorang gadis bangsawan. Tubuhnya yang halus terbalut oleh baju kasar telah membuatnya menderita dari segala bentuk penghinaan, namun segala penderitaannya itu dipersembahkan sebagai silih bagi Sang Pengantin yang telah dipilihnya yaitu Kristus. Di masa mudanya, ia telah mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan dengan seuntai janji kesucian dan kemurnian hati yang akan diberikan kepada Kristus yang telah dipilihnya sebagai Pengantin seumur hidupnya.


Sebuah tantangan harus dihadapi oleh Cecilia yakni ketika sang ayah menikahkannya dengan seorang bangsawan  yang bernama Valerian. Valerian, sang suami yang dipilih oleh ayahnya berbeda sekali dengan dirinya sebagai seorang kristiani. Valerian adalah seorang penyembah berhala yang tidak mempercayai adanya Tuhan. 


Ketika pesta pernikahan berlangsung dan semua orang bersuka ria serta menari dalam pesta itu, Cecilia yang cantik duduk menyendiri. Di dalam hatinya, ia melambungkan mazmur kepada Tuhan dan berdoa memohon pertolongan-Nya. Ia tidak mau mengingkari janjinya kepada Pengantin Surgawinya. 



Di saat Cecilia dan Valerian suaminya tinggal berdua, ia memberanikan diri untuk berkata kepada Valerian: “Aku mempunyai suatu rahasia yang hendak kukatakan kepadamu. Ketahuilah bahwa aku mempunyai seorang malaikat Allah yang menjagaiku. Jika kamu menyentuh aku di dalam perkawinan ini, malaikatku akan marah dan kamu akan menderita. Jika engkau memperkenankan aku memegang janjiku untuk menjadi pengantin Kristus saja maka malaikatku akan mengasihimu seperti ia mengasihiku.” 

Meskipun Valerian seorang kafir, tetapi hatinya sangatlah lembut. Mendengar perkataan istrinya itu, Valerian mengatakan: “Tunjukkanlah kepadaku malaikatmu. Jika ia datang dari Tuhan, aku akan mengabulkan permintaanmu.” Kemudian Cecilia menjawab, “Jika engkau percaya akan Allah yang satu dan benar serta menerima air pembaptisan maka engkau akan melihat malaikatku.”
 

Pada akhirnya, Valerian terkesan oleh iman kekristenan yang telah dimiliki Cecilia, isterinya. Segera Valerian pergi menemui Uskup Urban yang menerimanya dengan gembira. Setelah Valerian mengucapkan pengakuan iman Kristiani, ia pun dibaptis dan sesudahnya kembali menemui Cecilia. Di samping isterinya, Valerian dapat melihat malaikat yang menakjubkan.

Malaikat itu berbicara kepadanya: “Aku mempunyai suatu mahkota bunga untuk kalian masing-masing yang dikirim dari surga. Jika kalian tetap setia kepada Tuhan maka ia akan memberikan penghargaan dengan wangi semerbak surga abadi yang kekal.” Kemudian malaikat itu memahkotai Cecilia dengan bunga mawar dan Valerian dengan suatu rangkaian bunga bakung berbentuk lingkaran. Keharuman aroma bunga yang semerbak mengisi keseluruhan rumah mereka. 

Kejadian tersebut disaksikan juga oleh Tiburtius saudara Valerian yang pada saat itu tinggal bersama mereka. Malaikat itu menawarkan pula keselamatan kepada Tiburtius apabila ia mau meninggalkan segala bentuk pemujaan palsu yang dianutnya. Akhirnya, Tiburtius pun belajar iman Kristiani dari Cecilia. Kepada Tiburtius, Santa Cecilia mengisahkan Yesus dengan begitu indahnya sehingga tidak lama kemudian Tiburtius pun dibaptis.

Perjalanan Kemartiran 


Pada zaman itu, kekristenan masih dilarang di Roma, tetapi kedua kakak beradik ini (Valerian dan Tiburtius) banyak melakukan perbuatan amal kasih yang mencerminkan kekristenan. Akibat kepercayaan barunya kepada Kristus, kakak beradik ini ditangkap dan disiksa oleh seorang bernama Almachius yang memerintah pada saat itu. Namun, mereka tidak gentar sedikit pun ketika hukuman mati akan diberikan kepada mereka. Mereka tetap memilih iman kepercayaan barunya meskipun Almachius menawarkan akan membebaskan mereka jika mereka kembali  menyembah kepada dewa-dewa. Dengan gembira Valerian menolak dan pada akhirnya diserahkan untuk dicambuk. Bersama dengan mereka, ada seorang yang bernama Maximus yang memproklamirkan dirinya sebagai pengikut Kristus. Pada akhirnya, ketiganya dihukum pancung sekitar empat mil jauhnya dari Roma oleh Pagus Triopius.


Cecilia menyaksikan kematian ketiga orang itu. Dia menyaksikan kematian orang-orang yang dikasihinya dan kepada Tiburtius dia berkata: “Hari ini aku menyambut engkau saudaraku karena cinta Tuhan telah membuat engkau menolak berhala.”  Cecilia menguburkan mereka pada Katakombe Praetextatus. 


Setelah kejadian itu, Cecilia mengubah tempat tinggalnya menjadi tempat beribadat. Banyak orang-orang kafir yang akhirnya menjadi murid Kristus. Ketika Paus Urban berkunjung ke rumahnya, ia membaptis 400 orang yang pada mulanya adalah orang-orang kafir. Karena peristiwa ini maka Cecilia harus berhadapan dengan Almachius dan dia mengalami hal sama seperti yang dialami oleh suaminya Valerian, Tiburtius, dan Maximus. Cecilia menerima penyiksaan di dalam rumahnya sendiri: Cecilia dibakar dalam kobaran api namun api itu tidak menghanguskannya. Akhirnya, seseorang ditugaskan untuk memenggal kepalanya. Ia menebaskan pedangnya tiga kali ke leher Cecilia, Seketika itu juga Cecilia langsung rebah, tetapi ia tidak langsung meninggal. Selama tiga hari, ia tergeletak di lantai rumahnya sendiri dan tidak mampu bergerak. Ia meninggal dalam posisi mengacungkan tiga jari dengan tangannya yang satu dan satu jari di tangannya yang lain. Hal ini dapat dikatakan bahwa di saat kematiannya, Cecilia masih menyatakan imannya kepada Allah Tritunggal Mahakudus.

Martyrologium Hieronymianum 


Permasalahan pemberian gelar martir juga dialami oleh Santa Cecilia. Pada awalnya Santa Cecilia tidaklah termasuk dalam seorang yang dapat digelarkan sebagai seorang martir. Pandangan Agustinus dan Tertullian yang ada pada saat itu mengatakan bahwa Valerian dan Tiburtius merupakan seorang martir yang sejati, sementara Santa Cecilia terlepas dari mereka. Mengapa dikatakan demikian? Ada anggapan yang mengatakan bahwa penyiksaan yang dialami Santa Cecilia tidak banyak diketahui dan tidak ada bukti yang kuat serta kemartiran Santa Cecilia terjadi dalam tempat tinggalnya sendiri. Hal ini mempersulit penggelaran Santa Cecilia.


Pada tahun 488 seorang pengungsi dari Afrika yang tidak diketahui namanya datang ke kota Roma. Ia memperdebatkan pandangan Agustinus dan Tertullian yang keliru itu. Maka Martyrologium Hieronymainum pada tahun 545, telah mengakui Santa Cecilia sebagai martir, meskipun tidak  mempunyai informasi historis yang tepat. Yang diketahui adalah Santa Cecilia merupakan seorang martir yang membela iman kekristenannya yang tidak akan tergoyahkan walaupun dengan mengorbankan nyawanya sendiri sekalipun.

Relikwi St. Cecilia 


Menurut cerita, tubuh dari St. Cecilia dikuburkan dalam Katakombe St. Callistus. Sekitar tahun 757 tubuh St. Cecilia dipindahkan dari Katakombe St. Callistus oleh Lombard ke Katakombe Praetextatus. Di Katakombe Praetextatus juga telah dikubur Valerian dan Tiburtius. Pemindahan ini dilakukan untuk menghindari pencurian tubuh dari St. Cecilia. Kira-kira tahun 817 – 824, Paus St. Paschal I memindahkan tubuh St. Cecilia beserta Valerian, Tiburtius dan Maximus dan seluruh barang peninggalannya ke gereja Trastevere Roma dan diletakkan pada sebuah altar gereja tersebut. Gereja ini terkenal dengan nama Gereja St. Cecilia, Trastevere. Di dalam gereja ini kita juga dapat melihat sebuah mosaik yang dibuat pada zaman Paus St. Paschal I dan St. Cecilia dilukiskan sebagai seorang wanita kaya.


Pada tahun 1599, ketika Kardinal Sfondrati hendak memperbaiki gereja itu, ia menemukan ke-empat relikwi itu. Ketika peti kuburan tempat dimana St. Cecilia dikubur dibuka, ia melihat bahwa tubuh St. Cecilia masih utuh. Banyak orang yang melihatnya dan mereka diberkati serta memperoleh banyak mukjizat. 


Akhirnya, Carlo Maderna melukiskan tentang kemartiran dari St. Cecilia melalui sebuah patung terbuat dari pualam indah. Patung ini  diletakkan pada altar gereja St. Cecilia di Trastevere untuk mengenang kemartiran yang telah dilakukannya. Ekspresi dari kemartiran St. Cecilia yakni: “Seorang martir yang bermandikan oleh darah miliknya sendiri yang akhirnya terbunuh oleh sebuah pedang yang takkan pernah dapat mengantikan kepercayaan yang dianutnya.” Di dalam Katakombe St. Callistus kita juga dapat melihat duplikat dari patung pualam indah Maderna ini.


St. Cecilia dalam Karya Literatur dan Seni 


Kira-kira pada abad ke-5, kehadiran St. Cecilia dalam karya seni dan literatur mulai muncul. Semuanya ini disebabkan karena banyaknya para peziarah yang berdatangan ke kuburannya untuk melihat barang-barang peninggalan dari santa ini. Hal ini dapat dibuktikan berupa banyaknya mosaik, lukisan dinding dan miniatur. 


Semakin hari St. Cecilia semakin dikenal orang melalui karya-karya seni yang dilukiskan oleh para peziarah itu. Sekitar abad ke-15, Santa ini mulai dilukiskan dalam ekspresi wajahnya yang mengumandangkan kidung mazmur pada saat pernikahannya sedang berlangsung. Tangannya dilukiskan sedang berada pada alat musik dan sedang bernyanyi sebagai pujian kepada Allah. Inilah ekspresi yang dilukiskan pada saat pernikahannya, ketika St. Cecilia mengumandangkan mazmur di dalam hatinya kepada Allah di hari pernikahannya: "cantantibus organis illa in corde suo soi domino decantabat." Ada sebuah lukisan modern yang cukup terkenal yang dilukis oleh Raphael mengenai St. Cecilia yang sekarang dapat ditemukan dalam gereja San Giovanni dekat Bologna. Lukisan ini menggambarkan, “St. Cecilia berdiri di tengah-tengah dengan jubah mewah berwarna keemas-emasan, dengan rambut panjangnya terurai. Tangannya terletak pada sebuah organ kecil, dengan ekspresi wajahnya memandang ke atas bagaikan mendengarkan suara paduan sekelompok para malaikat yang sedang bernyanyi. Dan kakinya pun mengikuti irama nyanyian para malaikat itu … Di sebelah kanan St. Cecilia berdiri St. Paulus … di sebelah kiri dihadapannya berdiri St. Magdalena … dan dibelakangnya St. Agustinus.” Oleh karena itu, St. Cecilia  dikenal dan diangkat sebagai orang kudus pelindung musik gereja dan para musisi.


Karya seni lainnya yang tidak kalah menariknya adalah pahatan yang digambarkan ketika St. Cecilia berbaring dalam peti matinya dengan tangan yang mengekspresikan Allah Tritunggal yang Mahakudus. Pahatan ini dibuat ketika Kardinal Sfondrati menemukan bagaimana tubuh dari St. Cecilia ini ditemukan dalam peti matinya yang tak hancur walau sudah dikubur bertahun-tahun lamanya. (Jameson 347)

Teladan Hidupnya



Oleh seluruh Gereja, pestanya dirayakan setiap tanggal 22 November.  Walaupun tidak mempunyai bukti yang tepat, namun St. Cecilia pantas dihormati dan diakui sebagai martir karena teladan dan contoh imannya yang tidak segan-segan bersedia untuk mati dan menjadi saksi mempelai Ilahinya yakni:
Di tengah pesta pernikahannya, ia berseru kepada Tuhan di dalam hatinya, “O Tuhan biarkan hati dan tubuhku tetap murni dan aku tidak menghianati penyerahanku kepadaMu.”
Di hari-hari penyiksaan yang dialaminya, ia tetap berdoa dan berpuasa serta bergantung sepenuhnya kepada perlindungan Tuhan menjelang hari-hari kematiannya.
Membawa banyak orang penyembah berhala untuk menjadi seorang kristiani termasuk suaminya sendiri.
St. Cecilia selamanya tetap membawa Injil di dalam hatinya dengan siang malam berdoa dan bersatu dengan Tuhan. Hati dan cintanya telah dinyalakan dan dibakar oleh cinta surgawi.

Santa Caecilia doakanlah kami



diambil dari http://www.carmelia.net

Rabu, 11 November 2015

Sugeng tindak Mgr Puja

Duc in Altum


Berita mengejutkan diterima oleh umat di Keuskupan Agung Semarang tengah malam tadi. Berita duka berpulangnya Gembala kami, yang sangat dikasihi oleh seluruh umat.
Bapa Uskup Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta wafat pada  10 November 2015 pukul 23.30 Wib dalam usia menjelang 66 tahun. 

Pada saat meninggal kemarin adalah saat tepat 5 tahun setelah Mgr Puja menerima kabar lewat telepon  bahwa beliau ditunjuk sebagai Uskup Agung Semarang. (”Saya menerima penunjukan itu pada 10 November 2010, ketika kami para Uskup sedang mengadakan Sidang Tahunan KWI 2010 di Jakarta,” kata Uskup Pujasumarta). Beliau saat itu adalah Uskup Bandung sejak 2008.

Saat itu Keuskupan Agung Semarang selama hampir lebih dari satu tahun tidak memiliki uskup, setelah Mgr Ignatius Suharyo diangkat menjadi Uskup Agung Jakarta. Pada waktu yang sama, Paus juga menunjuk Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, sebagai Administrator Apostolik untuk Keuskupan Bandung,  menunggu sampai dengan terpilihnya uskup baru. Uskup Pujasumarta dilantik sebagai Uskup Agung Semarang pada 7 Januari 2011.

Pada saat masih menjadi pamong di Seminari Mertoyudan, Romo Puja suka berkebun dan memelihara burung merpati juga  ayam kate, beliau saat itu menjalani tugas imamatnya sebagai pendidik para seminaris muda di Unit Medan Madya II (kelas 2) di Seminari Mertoyudan Magelang. Beliau amat suka menanam aneka tanaman di kebun kecilnya. Bersama Romo Ketut Switra OCSO yang kini menjadi rahib trappist  di Belanda dan beberapa seminaris yang suka berkebun, beliau setiap sore mencangkul tanah di kebun tersebut. Di situ dia menanam bunga lily, tanaman kenikir, dan sejumlah bunga lain. Tidak ada pohon buah-buahan yang ‘bisa’ ditanam di lahan sempit tersebut.
Namun, di ujung taman, persis di belakang gua maria mungil di taman yang juga mungil tersebut, suatu kali alm. Mgr. Puja membawa piyik ayam-ayam kecil jenis kate. Menurut Rm Switra yang juga gemar berkebun, kate-kate itu dipelihara untuk meramaikan taman tersebut.

Pada saat itu beliau dikenal sebagai imam sangat sederhana, bertutur kata santun, dan sangat perhatian pada seminaris, dan cenderung berpenampilan “apa adanya”. Selepas berkarya di Seminari Mertoyudan, Romo Pujasumarta berkarya sejenak di Pendidikan Tahun Rohani untuk para frater praja (diosesan) di Wisma Jangli Semarang dan baru kemudian ditugaskan belajar spiritualitas di Roma hingga memperoleh gelar doktor. Di kemudian hari, Romo Puja bertugas sebagai pendidik untuk para frater mahasiswa di Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan sebagai Rektor.

Tahun-tahun panjang di Seminari Mertoyudan, Seminari Tahun Rohani Praja KAS, dan kemudian di Seminari Tinggi St. Paulus di Kentungan Yogyakarta adalah dunia pendidikan formatio yang digeluti alm. Mgr. Johannes Pujasumarta sebagai pendidik para calon imam. 


Dari tangan beliau dan para pamong lainnya, inilah sudah ribuan imam dari berbagai ordo, kongregasi, dan diosesan ‘tercetak’. Termasuk tentu saja tiga uskup yang sekarang kita kenal; Mgr. Nicolaus Adi Seputra MSC, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke, Papua, Mgr. Pius Riana Prabdi Pr, Uskup Diosis Ketapang, Kalimantan Barat, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, Uskup Diosis Bandung

Akhirnya, Romo Puja mendapat tugas istimewa dari Vatikan untuk ditahbiskan menjadi uskup di Diosis Bandung. Hanya berlangsung sampai kurang lebih tiga tahun saja, Mgr. Pujasumarta Pr ditugaskan “pulang mudik” ke Keuskupan Agung Semarang oleh Tahta Suci menjadi Uskup Agung Semarang.

Mgr Pujasumarta boleh dibilang uskup internet dengan sangat aktifnya beliau mengisi blog pribadinya dengan laporan karya pastoral, renungan, dan catatan perjalanan pastoralnya.
Mgr Pujasumarta ikut mempopulerkan istilah Latin yang merupakan kutipan Injil: Duc in Altum. “Bertolaklah ke tempat yang dalam”. Inilah Uskup Indonesia yang mengawali langkah baru yang tidak lazim: mengakrabi gadget dan menggunakan internet sebagai media pewartaan. Ini terbukti bahwa gadget dan internet di tangan alm. Mgr. Johannes Pujasumarta menjadi media pewartaan efektif dan efisien.



Nama lengkap   : Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta
Tempat, tgl. Lahir : Surakarta, Jawa Tengah, 27 Desember 1949
Nama orang tua : Hubertus Soekarto Pudjasumarta (alm) dan Agnes Soekarti Pudjasumarta(alm). 
Salah seorang kakaknya juga menjadi imam, yaitu Pastor Ignatius Ismartono SJ. Ia mengawali pendidikan imamatnya di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, tahun 1963. Rm Puja adalah anak ke-3 dari 9 bersaudara.

Jejak rekam karya :
25 Januari 1977 : Prefek Seminari Menengah Mertoyudan
1 Januari 1981 : Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang
12 Mei 1983 : Sementara di Wisma Sanjaya, Semarang, untuk persiapan studi ke Roma, Italia
Agustus 1983 : Studi Teologi Spiritual di Universitas St. Thomas Aquinas, Roma, Italia
(Licentiate in Spiritual Theology: 1983 – 1985); (Doctorate in Spiritual Theology: 1985 – 1987)
1 Oktober 1987 : Pastor pembantu Paroki Ganjuran
1 September 1988 : Pastor pembantu Paroki St. Maria Assumpta, Klaten
15 Agustus 1989 : Studi “Focus in Leadership” di Gonzaga University, Spokane, Amerika
12 Juli 1990 : Rektor seminari di Wisma Sanjaya, Semarang
1 Oktober 1995 : Anggota Dewan Pengurus Yayasan Driyarkara
1 November 1995 : Moderator ISKA (Ikatan Sarjana Katolik) Semarang
1 Agustus 1997 : Rektor Seminari Tinggi St. Paulus, Kentungan, Yogyakarta
1 Agustus 1998 : Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang; Ketua Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang; moderator Serikat Santa Rosa Mistika (SRM)
1 September 1998 : Moderator Rumah Sakit St. Elizabeth, Semarang
25 September 1998 : Moderator PERDHAKI wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
9 Oktober 2000 : Pejabat pastor kepala Paroki Kebondalem, Semarang (hingga 1 Agustus 2001)
2 Desember 2002 : Ketua Tim Supervisi Paroki Keuskupan Agung Semarang
10 Januari 2005 : Ketua Tim Supervisi Keuangan (Internal Auditor) Keuskupan Agung Semarang; Ketua Jaringan Persaudaraan antar kelompok Doa Keuskupan Agung Semarang
17 Mei 2008 : Ditunjuk sebagai Uskup Keuskupan Bandung oleh Bapa Paus Benediktus XVI
12 November 2010 : Ditunjuk sebagai Uskup Agung Semarang oleh Bapa Paus Benediktus XVI
7 Januari 2011 : Mgr Yohanes Pujasumarta dilantik sebagai Uskup Agung Semarang, melalui perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Kardinal Julius Darmaatmaja di Gereja Katederal Semarang, diikuti lebih dari seribu umat Katolik dari wilayah Semarang dan sekitarnya.
Upacara pelantikan yang juga dihadiri oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Leopoldo Girelli , diawali dengan perarakan rombongan Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Bandung.
10 November 2015 : Mgr  Pujasumarta wafat ... diiringi lagu NDEREK DEWI MARIA... yang dilantunkan para sahabat dan saudara, beliau menutup mata dengan tenang dan penuh kasih.



REQUIESCÀT IN PACE….. Sugeng tindak Bapa Uskup Pujasumarta, mugi katampia wonten sunaring pepadang Dalem Gusti Yesus  lan saget ngaso kanti tentrem ing pangayunan Dalem Gusti.  Semoga damai abadi bersama Bapa dan para kudus di surga…
Mgr Puja, engkau adalah inspirasi bagi kami dalam semangat pelayanan dan pewartaan sabda Allah….engkau gembala yang baik bagi umat Katolik khususnya di Keuskupan Agung Semarang, doa kami selalu menyertai engkau.

Tak lupa Mgr, kami mohon doakan kami juga yang masih berziarah didunia ini, agar kami dapat meneladani semangat pelayanan dgn sukacita dan pantang menyerah yang selalu engkau ajarkan pada kami..... Amin.

Minggu, 08 November 2015

PERSEMBAHAN JANDA MISKIN

“Memberi sampai sakit” 



“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya” (Mrk 12:43-44).

Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan
Kita terkadang bingung jika ditanya tentang persembahan. Sepersepuluh dari penghasilankah? 10% dari pendapatan bersih atau pendapatan kotor, kalau anda seorang pedagang?  Atau, berapa nominal persembahan yang menyukakan-Nya? Sebuah pelajaran penting bisa kita dapat dari kisah janda miskin yang menghaturkan persembahan. 

Umumnya manusia cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki, semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus akan harta yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa rela memberi atau membagi apa yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam mengumpulkan lebih banyak dapat menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri, semacam rasa mengandalkan kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja pada akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah sebagai sumber hidup.

Nilai suatu persembahan  bukan dilihat dari berapa besar atau berapa banyaknya uang yang kita persembahkan kepada Allah, atau  berapa banyaknya kita berikan dalam kantong kolekte dalam misa. Tetapi berapa banyaknya yang tinggal tersimpan untuk kita sendiri! Orang yang memberikan sebagian dari miliknya, mungkin terlihat jumlah nominalnya sangat besar namun jika mau jujur persembahan itu hanya sebagian kecil dari apa yang disimpannya untuk diri sendiri!

Memberi sampai sakit” dilakukan oleh orang-orang miskin, bukan orang-orang kaya. Memang hal ini adalah kenyataan hidup yang menyedihkan yang ada pada segala zaman dalam sejarah manusia. Seandainya saja orang-orang yang kaya memiliki kemurahan-hati seperti orang-orang miskin, maka tidak akan ada seorang pun yang berkekurangan. Dengan demikian, tidak mengherankanlah apabila Yesus seringkali berbicara dengan kata-kata keras tentang bahayanya kekayaan (lihat misalnya Mrk 10:23-27).

Yesus memiliki preferensi terhadap orang-orang miskin dan Ia sendiri pun memilih menjadi orang miskin. Ini adalah sebuah tanda kemurahan-hati-Nya yang tanpa batas. Ingatlah, bahwa mayoritas dari para pengikut Kristus adalah orang-orang miskin, karena mereka lebih mau untuk mendengarkan Dia. Orang-orang kaya merasa takut bahwa mereka kehilangan kuasa dan pengaruh apabila mereka mengikuti contoh yang diberikan Yesus. Hal ini berarti bahwa mereka tidak mau menaruh kepercayaan kepada Allah. Mereka lebih suka menaruh kepercayaan pada kekuasaan dan kekayaan.

Dalam soal memberi kepada Allah, janda miskin tak perhitungan. Ia memberikan seluruh miliknya. Kemiskinan bukan alasan baginya untuk tak memberi persembahan kepada Allah! Ia percaya Allah memelihara hidupnya.Pemberian si janda miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan pemberian seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi sesuatu kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak menanti sampai ia berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia untuk memberi dimanfaatkannya dengan segera. 

Inilah persembahan yang menyukakan Tuhan!
Kemiskinan bukan alasan baginya untuk tak memberi persembahan kepada Allah! 
Kebiasaan menunda-nunda dalam memberi karena macam-macam pertimbangan dapat membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat mendesak. Setiap pemberian (termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang yang berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk anugerah berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.


Persembahan tersebut merupakan perwujudan rasa syukur dan terima kasih atas segala kasih karunia Allah yang telah diterima. Dengan persembahan persembahan tersebut kita berharap agar kita juga semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, bukan hanya sebagian saja.
Di dalam Perayaan Ekaristi juga ada persembahan atau kolekte yang dan kita berdoa dengan penuh harap "Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang kudus" (TPE).
Maka marilah kita mawas diri: sejauh mana harapan akan kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita dan seluruh umat Allah tersebut tidak hanya berhenti pada kata-kata melainkan kita iringi atau lengkapi dengan tindakan-tindakan nyata.

Dengan kata lain jika kita memberi 'pesembahan' dari kelebihan ini seperti membuang sampah, karena yang kita berikan hanya sisa atau yang berasal dari kelebihan yang kita miliki....bukan suatu pengorbanan diri.
Menurut hukum Taurat persembahan yang benar adalah 10 % (sepuluh persen) dari penghasilan, maka jika orang berpenghasian 10 juta rupiah per bulan ia diharapkan mempersembahkan 1 juta rupiah per bulan, jika ia berpenghasilan 800 ribu rupiah per bulan diharapkan mempersembahkan 80 ribu rupiah per bulan.
Sekilas atau secara nominal 1 juta lebih besar daripada 80 ribu, tetapi secara konkret (pengalaman spiritual dan sosial) 80 ribu lebih besar nilainya daripada 1 juta: penderitaan lebih besar dihayati oleh pemberi persembahan 80 ribu. 

Namun dalam Gereja Katolik tidak ada kewajiban perpuluhan.
Selama Gereja masih hidup di dunia ini, maka akan selalu dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan Gereja. Demikian  juga dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin. Gereja mengajarkan dengan tegas bahwa membantu Gereja dan membantu orang miskin bukan bersifat manasuka tetapi suatu "kewajiban" (KHK Kan 222 # 1 dan 2; bdk Kan 1260-1266).

Dalam Perjanjian Baru: Rasul Paulus mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7). Tidak ada gunanya memberi perpuluhan dengan hati bersungut-sungut. Yang diharapkan adalah kerelaan hati namun tetap pantas,yang mencerminkan ungkapan syukur kita atas kasih Tuhan yang tanpa batas.

 

Harapannya kita semua berani meneladan semangat dan cara bertindak janda tersebut: memberi dari kekurangan bukan kelebihan, entah harta/uang, waktu maupun tenaga, sehingga persembahan tersebut sungguh terasa dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari.

Persembahan yang benar antara lain berakibat pada kita ada 'sesuatu yang berkurang' (secara phisik), sebagaimana dihayati oleh janda tersebut yang mempersembahkan sesuatu dari kekurangan, bahkan seluruh nafkahnya.
Sebenarnya janda ini punya pilihan, dengan memasukan 1 saja dari dua peser yang dia punya. Tetapi dia memasukan semuanya.
Mungkin setelah itu dia mencari nafkah lagi. Dia yakin dia pasti nanti juga dapat rejeki lagi untuk makan. Bagi janda miskin ini Allah dulu yang utama. Urusan perutnya bisa dikesampingkan. Totalitasnya dalam memberi kepada Allah, itulah yang dipuji oleh Yesus.

Mari kita mengasihi Tuhan dengan mempersembahkan apa yang ada di dalam diri kita, baik uang, waktu dan talenta.


Teladan yang bisa kita ambil adalah BAGAIMANA JANDA INI DENGAN LUAR BIASA MENEMPATKAN ALLAH DI ATAS SEGALANYA, TERMASUK DIRINYA SENDIRI.