Jumat, 28 Agustus 2015

Pesta St Agustinus

Riwayat Santo Agustinus dari Hippo,

 28 Agustus (Putera dari Santa Monika)


Agustinus adalah Bapa Gereja purba yang terkenal. Pujangga Besar Gereja ini dilahirkan pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dengan nama Aurelius Augustinus. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptiskan di Italia. Ibunya, St.Monika, adalah seorang Katolik yang saleh, sementara ayahnya, Patrisius seorang kafir. (Kelak ibunda St.Agustinus juga dinyatakan sebagai orang kudus dan menjadi pelindung bagi para ibu rumah tangga). Agustinus sendiri memilih menganut aliran Manikeanisme, yaitu aliran yang menolak Allah dan sangat mengagungkan rasionalisme.

Semenjak kecil Agustinus sudah menampilkan kecerdasan yang tinggi. Karena itu ayahnya mencita-citakan agar ia menjadi seorang yang terkenal. Ia masuk sekolah dasar di Tagaste. Karena kecerdasannya, ia kemudian dikirim untuk belajar bahasa latin dan macam-macam tulisan latin di Madauros. Pada usia 17 tahun, ia di kirim ke Kartago untuk belajar ilmu retorika. Di Kartago, ia belajar dengan tekun hingga menjadi seorang murid yang terkenal. Namun hidupnya tidak lagi tertib oleh aturan moral. Ia menganut aliran Manikeisme, suatu sekte keagamaan dari Persia. Minatnya pada ajaran ini berakhir ketika ia menyaksikan kebodohan Faustus, seorang pengajar Manikeisme. Selanjutnya selama beberapa tahun, ia meragukan semua kebenaran agama-agama.
Pendidikan dan karier awalnya ditempuhnya dalam bidang filsafat dan retorika, seni persuasi dan bicara di depan publik. Awalnya Ia mengajar di Tagaste dan Karthago, namun ia ingin pergi ke Roma karena ia yakin bahwa di sanalah para ahli retorika yang terbaik dan paling cerdas berlatih. Karena itu pada usia 29 tahun Agustinus dan Alypius, sahabatnya, pergi ke Roma Italia. Setelah Beberapa saat tinggal di ibukota kerajaan itu; Agustinus kembali merasa kecewa dengan sekolah-sekolah di Roma, yang dikatakan sangat menyedihkan dan kurang bermutu. Sahabat-sahabatnya yang mengetahui kecerdasannya segera memperkenalkannya kepada kepala kota Roma, Simakhus, yang saat itu sedang mencari seorang dosen retorika untuk istana kerajaan di Milano.

Agustinuslah yang kemudian mendapatkan pekerjaan itu dan pindah ke Milan untuk menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Pada usia 30 tahun karier Agustinus semakin bersinar. Ia dikenal sebagai seorang Professor yang sangat disegani di Milano. Namun demikian, Agustinus merasakan ketegangan dalam kehidupan di istana kerajaan.

Suatu hari ketika ia sedang duduk di keretanya untuk menyampaikan sebuah pidato penting di hadapan kaisar, ia melihat seorang pengemis mabuk yang dilewatinya di jalan ternyata hidupnya begitu bebas dan tidak diliputi kecemasan dibandingkan dirinya. Hal ini membuat ia semakin hari merasa semakin gelisah. Sama seperti kebanyakan dari kita di jaman sekarang, ia mencari-cari sesuatu dalam berbagai aliran kepercayaan untuk mengisi kekosongan jiwanya. Tanpa kehadiran Tuhan dalam hidupnya, jiwanya itu tetap kosong. Semua buku-buku ilmu pengetahuan yang dibacanya, tapi ia tidak menemukan kebenaran dan ketentraman jiwa.

Sejak awal tak bosan-bosannya ibunya menyarankan kepada Agustinus untuk membaca Kitab Suci di mana dapat ditemukan lebih banyak kebijaksanaan dan kebenaran daripada dalam ilmu pengetahuan. Tetapi, Agustinus meremehkan nasehat ibunya. Kitab Suci dianggapnya terlalu sederhana dan tidak akan menambah pengetahuannya sedikit pun.


Pada usia 31 tahun Agustinus mulai tergerak hatinya untuk kembali kepada Tuhan berkat doa-doa ibunya serta berkat ajaran St.Ambrosius, Uskup kota Milan, seorang mantan gubernur yang saleh. Ia menyaksikan dari dekat cara hidup para biarawan yang bijaksana, ramah dan saling mengasihi. Hatinya tersentuh dan mulailah ia berpikir: “Apa yang mendasari hidup mereka? Injilkah yang mewarnai hidup mereka itu?” Kecuali itu, ia sering mendengarkan kotbah-kotbah Uskup Ambrosius dan tertarik pada semua ajarannya. Semuanya itu kembali menyadarkan dia akan nasehat-nasehat ibunya tatkala ia masih di Tagaste. Suatu hari, ia mendengar suara ajaib seorang anak: “Ambil dan bacalah!” Tanpa banyak berpikir, ia segera menjamah kitab Injil itu, membukanya dan membaca: “Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Rom 13:13-14). Namun demikian ia belum bersedia dibaptis karena belum siap untuk mengubah sikap hidupnya yang bergelimang kemewahan. Suatu hari, ia mendengar tentang dua orang yang serta-merta bertobat setelah membaca riwayat hidup St.Antonius Pertapa. Agustinus merasa malu.

“Apa ini yang kita lakukan?” teriaknya kepada Alypius. “Orang-orang yang tak terpelajar memilih surga dengan berani. Tetapi kita, dengan segala ilmu pengetahuan kita, demikian pengecut sehingga terus hidup bergelimang dosa!” Dengan hati yang sedih, Agustinus pergi ke taman dan berdoa, “Berapa lama lagi, ya Tuhan? Mengapa aku tidak mengakhiri perbuatan dosaku sekarang?” Sekonyong-konyong ia mendengar seorang anak menyanyi berulang-ulang, “Ambillah dan bacalah!” Agustinus mengambil Kitab Suci dan membukanya tepat pada ayat, “Marilah kita hidup dengan sopan seperti pada siang hari… kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:13-14). Ini dia! teriak professor Agustinus dalam hatinya. Inilah yang ku cari. Sejak saat itu, Agustinus memulai hidup baru.

Tradisi lain yang cukup populer tentang kisah pertobatan St.Agustinus adalah : Suatu hari Agustinus berjalan ditepi pantai sambil memikirkan tentang Tuhan yang dianggapnya tidak ada serta Kitab Suci yang pernah disebutnya sebagai kitab yang terlalu sederhana. Di bibir pantai ia melihat seorang anak kecil berusaha memindahkan air dari laut kedalam sebuah lubang kecil dipasir. "Apa yang sedang kau lakukan..??". Tanya Agustinus pada anak kecil itu. Ia menjawab bahwa ia sedang mengeringkan air laut dengan memindahkannya kedalam lubang kecil yang digalinya. Professor Agustinus tertawa dan menjelaskan bahwa itu tidak mungkin dilakukan. Anak kecil yang sebenarnya adalah malaikat itu menatap Agustinus lalu berkata : "Dapatkah otak manusia yang kecil itu memahami Tuhan Sang pencipta alam semesta ini....??? " Agustinus seketika tersadarkan dan sejak saat itu ia memulai hidup baru.

Ia kemudian bertobat dan bersama dengan sahabatnya Alipius, pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh Uskup St.Ambrosius.
Dalam bukunya ‘Confession’, ia menulis riwayat hidup dan pertobatannya dan dengan terus terang mengakui betapa ia sangat terbelenggu oleh kejahatan dosa dan ajaran Manikeisme. Suara hatinya terus mendorong dia agar memperbaiki cara hidupnya seperti banyak orang lain yang meneladani Santo Antonius dari Mesir.


 Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388, setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin papa.  Ia sendiri mendirikan sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus bersedia menjadi imam.
Kemudian ia ditabhiskan menjadi imam pada tahun 391, dan bertugas di Hippo sebagai pembantu uskup di kota itu. Sepeninggal uskup itu pada tahun 395, ia dipilih menjadi Uskup Hippo. Sebagai seorang uskup, Agustinus sangat menaruh perhatian besar pada umatnya terutama yang miskin dan melarat. Dialah yang mendirikan asrama dan rumah sakit pertama di Afrika Utara demi kepentingan umatnya.
 Selama 35 tahun ia menjadi pusat kehidupan keagamaan di Afrika. Rahmat Tuhan yang besar atas dirinya dimuliakannya di dalam berbagai bentuk kidung dan tulisan. Tulisan-tulisannya meliputi 113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah. Tak terbilang banyaknya orang berdosa yang bertobat karena membaca tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya itu hingga kini dianggap oleh para ahli filsafat dan teologi sebagai sumber penting dari pengetahuan rohani. Semua kebenaran iman Kristiani diuraikan secara tepat dan mendalam sehingga mampu menggerakkan hati orang.

Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung  dan dicatat karena melawan ajaran sesat Manikeanisme, yang pernah dianutnya. Ia juga merupakan pahlawan iman Gereja melawan aliran bidaah Donatis yang telah banyak meyesatkan umat beriman saat itu. Agustinus berusaha sekuat tenaga untuk membendung aliran sesat itu. Dalam sebuah debat terbuka dengan para Donatis Santo Agustinus mematahkan semua argumen mereka sehingga membuat banyak orang telah disesatkan oleh aliran itu berbalik kembali ke Gereja Katolik.

Agustinus menulis surat-surat, khotbah-khotbah serta buku-buku dan mendirikan biara di Hippo untuk mendidik biarawan-biarawan agar dapat mewartakan injil ke daerah-daerah lain, bahkan ke luar negeri. Gereja Katolik di Afrika mulai tumbuh dan berkembang pesat.
Di dinding kamarnya, terdapat kalimat berikut yang ditulis dengan huruf-huruf yang besar : “Di sini kami tidak membicarakan yang buruk tentang siapa pun.” dan “Terlambat aku mencintai-Mu, Tuhan”. Agustinus menghabiskan sisa hidupnya untuk mencintai Tuhan dan membawa orang-orang lain untuk juga mencintai-Nya.
Agustinus wafat pada tanggal 28 Agustus  430 di Hippo dalam usia 76 tahun, tatkala bangsa Vandal mengepung Hippo. Jenazah Agustinus berhasil diamankan oleh umatnya dan kini dimakamkan di basilika Santo Petrus. Kumpulan surat, khotbah serta tulisan-tulisannya adalah warisan Gereja yang amat berharga.  Di antara ratusan buku karangannya, yang paling terkenal ialah “Pengakuan-Pengakuan” dan “Kota Tuhan”.

Referensi :Wikipedia - Yesaya - NewAdvent.Org, http://www.imankatolik.or.id/


DOA YANG INDAH OLEH ST. AGUSTINUS

Aku memohon kepada-Mu, Allahku, izinkan aku mengenal dan mencintai-Mu sehingga aku berbahagia didalam Engkau. Dan meskipun aku tidak bisa melakukan ini secara lengkap dalam hidup ini, izinkan aku memperbaiki diri hari demi hari sampai aku dapat melakukannya dengan seutuhnya.
Izinkan aku mengenal-Mu lebih dan lebih dalam kehidupan ini, sehingga aku dapat mengenal-Mu secara sempurna di surga.Izinkan aku mengenal-Mu lebih dan lebih disini, sehingga aku dapat mencintai-Mu dengan sempurna disana, sehingga kegembiraanku besar disana, dan lengkap di surga bersama-Mu.O Allah yang benar, izinkan aku menerima kebahagiaan di surga,yang Engkau janjikan sehingga kebahagianku menjadi sempurna.Sementara ini,biarkan pikiranku memikirkannya,biarkan lidahku membicarakannya,biarkan hatiku merindukannya,biarkan mulutku mengatakannya,biarkan jiwaku merasa lapar setelahnya,biarkan dagingku merasa haus setelahnya,biarkan keseluruhan keberadaanku merindukannya,sampai waktunya tiba aku masuk melalui kematian ke dalam kegembiraan Tuhan-ku, yang berlanjut selamanya,  dalam dunia tanpa akhir. Amin.
https://luxveritatis7.wordpress.com/


Santo Agustinus doakanlah kami....amien

Kamis, 27 Agustus 2015

St Monika,27 Agustus

Santa Monika (332-387)


Teladan Ibu Rumah Tangga

Pernahkah kalian berdoa memohon sesuatu dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, tetapi tampaknya Tuhan belum mengabulkan doa kalian. Kemudian kalian berdoa lagi dengan sungguh-sungguh dan berdoa lagi dan berdoa lagi, tetapi tampaknya belum juga ada tanda-tanda bahwa Tuhan mengabulkan doa kalian. Jika kalian pernah mengalami hal seperti itu, janganlah berputus asa, bersandarlah tetap kepada Tuhan Allah-mu seperti yang dilakukan oleh Santa Monika. Puluhan tahun lamanya ia berdoa barulah ia melihat bahwa Tuhan menjawab doanya.  Jadi janganlah berputus asa, karena Tuhan  punya suatu rencana yang indah untukmu.

Monika, Ibu Santo Agustinus dari Hippo, adalah seorang ibu teladan. Iman dan cara hidupnya yang terpuji patut dicontoh oleh ibu-ibu Kristen terutama mereka yang anaknya tersesat oleh berbagai ajaran dan bujukan dunia yang menyesatkan. Riwayat hidup Monika terpaut erat dengan hidup anaknya Santo Agustinus yang terkenal bandel sejak masa mudanya.

Monika dilahirkan pada tahun 331 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dari keluarga Kristen yang saleh dan taat beribadat.  Leluhurnya bukan penduduk asli Afrika, tetapi perantauan dari Venezia.
Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang pemuda kafir yang bertabiat buruk dan cepat panas hatinya. Suaminya bekerja sebagai pegawai tinggi pemerintahan kota setempat. Keluarga ini dikaruniai tiga anak: Agustinus, Navigius, dan Perpetua (yang kelak menjadi pemimpin biara).

Dalam kehidupannya bersama Patrisius, Monika mengalami tekanan batin yang hebat karena ulah Patrisius dan anaknya Agustinus.  Patrisius mencemoohkan dan menertawakan usaha keras isterinya mendidik Agustinus menjadi seorang pemuda yang luhur budinya dan yang memiliki kepribadian kristiani.  Namun semuanya itu ditanggungnya dengan sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan. Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apa pun bahwa doanya dikabulkan Tuhan.  Monika juga tiada henti  juga  berdoa agar Tuhan membuka hati  suaminya, sehingga berubah tabiatnya dan mau menjadi pengikut Kristus.

Baru pada saat-saat terakhir hidupnya, Patrisius bertobat dan minta dipermandikan,  tahun 371 Patrisius meninggal.  Mendekati ajalnya ia bertobat dan minta di baptis. Bahkan ibu Patrisius pun juga dibaptis. Monika sungguh bahagia dan mengalami rahmat Tuhan pada saat-saat kritis suaminya.

Ketika itu Agustinus berusia 18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di kota Kartago. Cara hidupnya semakin menggelisahkan hati ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak yang diberi nama Deodatus. Kehidupan yang dilakoni Agustinus jauh dari yang diharapkan ibunya.
St Monika dan puteranya St Agustinus

Apa yang dilakukan Monika? Ia terus-menerus mendoakan Agustinus, bahkan setiap hari ia mendoakan Agustinus agar bisa segera bertobat. Monika begitu sedih mengingat anaknya hingga menitikkan air mata setiap berdoa kepada Tuhan.
Namun, tampaknya tidak ada tanda-tanda bahwa Tuhan mendengarkan doa Monika yang didaraskan dengan khusyuk. Ia tidak patah semangat. Bahkan, ketika segalanya terasa tanpa harapan, ia terus berdoa dengan satu harapan saja, yaitu Tuhan mendengarkan keluh kesahnya. Hingga pada suatu ketika Tuhan mendengarkan keluh kesah Monika.

Tuhan menguatkannya lewat sebuah mimpi. Dalam mimpinya, Monika melihat dirinya berada di atas sebuah mistar kayu. Kemudian, datanglah seorang pemuda dengan wajah bercahaya. Ia bertanya, ”Mengapa Ibu bersedih? Apa yang menyebabkan Ibu bersedih setiap hari?
Monika menjawab dengan jujur. Ia sedih karena tidak tahan melihat kebiasaan suami dan anaknya. Pemuda itu mengajak Monika melihat dengan saksama, maka terlihat dengan segera bahwa Agustinus bersamanya berada di atas mistar. Lalu, kata pemuda itu, ”Di mana engkau berada, di situ dia berada.” 

Pada tahun 383 Agustinus pergi ke Italia dengan maksud menghindar dari ibunya.  Agustinus bersama Alypius, sahabatnya, hendak berangkat ke Roma dan Milan untuk mengajar. Monika tidak setuju karena waktu itu Roma buruk peradabannya. Di pantai menjelang keberangkatannya, Monika menawarkan hanya dua pilihan kepada Agustinus: pulang dengannya atau Monika ikut dengan Agustinus ke Italia. Dengan tipu dayanya Agustinus meninggalkan ibunya seorang diri di kapel Beato Cyprianus yang terletak di tepi pantai, sementara ia dan Alypius berlayar ke Italia.
Agustinus terus hidup dalam kubangan dosa. Monika tidak tega membiarkan anaknya hidup dalam kegelapan rohani.  Monika amat sedih, seorang diri ia menyusul Agustinus ke Italia. Penderitaan berat ditanggungnya terutama karena kapal yang ditumpanginya hampir karam karena badai.  Di Italia, ia menyertai anaknya di Roma maupun di Milano.  Di Milano, Monika berkenalan dengan Uskup Santo  Ambrosius dan bersahabat baik.  Monika meminta bantuan kepada  uskup.  Ia meminta uskup Ambrosius menasihati Agustinus.  
Agustinus mulai tertarik dengan khotbah dan ajaran-ajaran Uskup Ambrosius.  Akhirnya oleh teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus bertobat dan bertekad untuk hidup hanya bagi Allah dan sesamanya  hingga akhirnya dibaptis.


Dua bulan kemudian, yaitu bulan Juni tahun 387 Agustinus, Alypius & Monika berencana pulang kembali ke Tagaste, Afrika. Dalam perjalanan pulang mereka singgah di Ostia, di dekat muara sungai Tiber. Saat itu bagi Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Monika dan Agustinus berdua saja berdiri bersandar pada jendela rumah persinggahan mereka. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik mengenai seperti apa kiranya kehidupan para kudus di surga. Diliputi rasa bahagia yang amat sangat Monika berkata kepada Agustinus, “Anakku, bagiku tidak ada lagi yang dapat memukauku dalam kehidupan ini. Apa lagi yang dapat kuperbuat di dunia ini? Untuk apa aku di sini? Entahlah, tak ada lagi yang kuharapkan dari dunia ini. Ada satu hal saja yang tadinya masih membuat aku ingin tinggal cukup lama dalam kehidupan ini, yaitu melihat engkau menjadi Kristen Katolik sebelum aku mati. Keinginanku sudah dikabulkan secara berlimpah dalam apa yang telah diberikan Allah kepadaku: kulihat kau sudah sampai meremehkan kebahagiaan dunia ini dan menjadi hamba-Nya. Apa yang kuperbuat lagi di sini?”

Lima hari kemudian Monika jatuh sakit. Kepada kedua puteranya, Agustinus dan Navigius, Monika berpesan, “Yang kuminta kepada kalian hanyalah supaya kalian memperingati aku di altar Tuhan di mana saja kalian berada.” Hanya supaya ia diingat di altar-Mu, itulah keinginannya. Sebab ia telah melayani altar itu tanpa melewati satu hari pun. Pada hari yang kesembilan Monika wafat dalam usia 56 tahun.

Santa Monika dihormati sebagai pelindung ibu rumah tangga. Pestanya dirayakan setiap tanggal 27 Agustus.
Teladan hidup santa Monika menyatakan kepada kita bahwa doa yang tak kunjung putus, tak dapat tiada akan didengarkan Tuhan.

"Allah yang berbelas kasih, hiburlah mereka yang menderita, air mata Santa Monika menggerakkan belas kasih-Mu untuk menobatkan puteranya, Santo Agustinus, kepada iman akan Kristus.
Dengan bantuan doa mereka, bantulah kami berbalik dari dosa-dosa kami dan memperoleh pengampunan-Mu yang penuh belas kasih. Amin."


Sumber: imankatolik.or.id; Yesaya

Senin, 24 Agustus 2015

Santo Bartolomeus Rasul

Pesta Santo Bartolomeus
24 AGUSTUS
Santo Bartolomeus adalah salah seorang dari kedua belas Rasul. Bartolomeus berarti ‘Anak Tolmai’. Ada semacam keragu–raguan tentang nama rasul ini; apakah itu nama sesungguhnya dari rasul Bartolomeus, ataukah sekedar dipakai sebagai nama tambahan untuk menunjukkan bahwa dia adalah anak Tolmai. Rasul Yohanes dalam Injilnya tidak mengatakan apa–apa tentang rasul yang disebut Bartolomeus itu.


Yohanes hanya menulis tentang seseorang yang dinamakan Natanael, sahabat karib Filipus yang kemudian mengikuti Yesus (Yoh 1: 45–51). Atas dasar ini, banyak sejarahwan dan ahli Kitab Suci menyimpulkan bahwa kedua nama itu, Bartolomeus dan Natanael, menunjuk pada orang yang sama. Kemungkinan Bartolomeus pun adalah sahabat karib Yohanes.

Bartolomeus berasal dari Kana di daerah Galilea seperti kebanyakan murid Yesus yang lainnya. Ketika diajak oleh temannya, Filipus, untuk menemui Yesus dari Nazaret,  Bartolomeus awalnya bersikap skeptik. Dalam perjanjian baru, nama Bartolomeus ditemukan pada ketiga Injil Sinoptik: Matius 10:3, Markus 3:18 dan Lukas 6:14, dan didalam Kisah Para Rasul 1:13. Ia bukanlah seorang nelayan seperti empat rasul lainnya: Andreas, Yohanes, Simon dan Filipus, yang berasal dari Betsaida dan dikenal sebagai nelayan tasik Genesareth tapi ia seorang petani.


Filipus bertemu dengan Bartolomeus dan berkata kepadanya: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret."
Kata Natanael/Bartolomeus kepadanya : "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"
Kata Filipus kepadanya: "Mari dan lihatlah!" Yesus melihat Natanael datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!"
Kata Natanael kepada-Nya: "Bagaimana Engkau mengenal aku?" Jawab Yesus kepadanya: "Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara."
Kata Natanael kepada-Nya: "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" ....... (Yoh 1:45-49).
Para pakar meyakini bahwa perkataan Yesus mengenai Natanael "di bawah pohon ara" merupakan istilah yang bermakna "mempelajari Taurat. Sejak saat itu Bartolomeus mengikuti Yesus hingga Ia wafat disalib dan menjadi saksi kebangkitan-Nya.  Nama Natanael disebut kembali di akhir Injil Yohanes yang dicatat bersama-sama sejumlah murid lain di pantai Danau Galilea setelah Kebangkitan Yesus, di mana kemudian Yesus menampakkan diri kepada mereka.

Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias dan Ia menampakkan diri sebagai berikut. Di pantai itu berkumpul Simon Petrus, Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus dan dua orang murid-Nya yang lain. (Yoh 21:1-2 )
Yohanes dalam injilnya menggambarkan Bartolomeus sebagai seorang yang jujur dan tulus, bahkan oleh Yesus dia disebut ‘Orang Israel sejati’, yang kemudian menjadi murid setiawan Yesus. Pada peristiwa penampakan Yesus kepada 7 orang rasulNya di tepi danau Tiberias, Natanael juga hadir menyaksikan peristiwa itu.


Eusebius, sejarahwan Gereja dari Kaesarea (260–340), dalam bukunya ‘Historia Ecclesiastica’, menceritakan bahwa Bartolomeus menjadi pewarta Injil Kristus dibelahan dunia timur. Santo Hieronimus (340–420), pelanjut karya Eusebius, mengisahkan bahwa Pantaenus Aleksandria, ketika mewartakan Injil di India pada awal abad ketiga, menemukan bukti–bukti kuat tentang karya misioner rasul Bartolomeus.

Kepada Pantaenus, orang–orang India menunjukkan satu salinan Injil Mateus yang ditulis dalam bahasa Ibrani untuk membuktikan bahwa mereka (orang–orang India) telah diajar oleh Bartolomeus kira–kira satu setengah abad yang lalu. Hieronimus selanjutnya menjelaskan bahwa Pantaenus kemudian membawa salinan Injil Mateus itu ke Aleksandria.
Catatan–catatan Gereja lainnya tentang periode ini berbicara tentang Bartolomeus yang mewartakan Injil di Hierapolis, Asia Kecil. Di sana Bartolomeus berkarya bersama–sama dengan Filipus. Sepeninggal Filipus dan pembebasannya dari penjara, Bartolomeus mewartakan Injil di provinsi Likaonia, Asia Kecil.


 Bangsa Armenia pun menyebut Bartolomeus sebagai rasul mereka. Mereka mengatakan bahwa Bartolomeus–lah orang yang pertama yang menobatkan mereka hingga mati sebagai martir Kristus di Albanopolis, tepi Laut Kaspia, pada masa pemerintahan Astyages, Raja Armenia.
Selain berkarya diantara orang–orang Armenia, Bartolomeus juga berkarya di Mesopotamia, Mosul (Kurdi, Irak), Babilonia, Kaldea, Arab dan Persia.
Eusebius dari Kaisarea menulis dalam Ecclesiastical History (5:10) bahwa setelah Kenaikan Yesus, Bartolomeus pergi sebagai misionaris ke India, di mana ia meninggalkan sebuah salinan Injil Matius. Tradisi lain mencatatnya sebagai misionaris ke Ethiopia, Mesopotamia, Parthia, dan Lycaonia.
Rasul Bartolomeus bersama rasul Yudas anak Yakobus, dikenal sebagai pembawa Kekristenan ke Armenia pada abad ke-1 M. Karenanya kedua rasul ini dianggap santo pelindung bagi Gereja Apostolik Armenia.
Dikabarkan Bartolomeus mati sebagai martir di Albanopolis di Armenia. Menurut satu riwayat, ia dipenggal kepalanya, tetapi tradisi yang lebih populer menyatakan bahwa ia dikuliti hidup-hidup dan disalib dengan kepala di bawah. Dikatakan bahwa Bartolomeus telah membawa Polymius, raja Armenia, menjadi penganut Kristen. Akibatnya, Astyages, saudara laki-laki Polymius, menyuruh Bartolomeus dihukum mati.Pada abad ke-4 jenasah Bartolomeus dipindahkan ke sebuah gereja di Roma, di sebuah pulau di tengah-tengah sungai Tiber.
Pada abad ke-13 Biara Saint Bartholomew Monastery didirikan di Armenia pada tempat kemartiran rasul Bartolomeus di provinsi Vaspurakan di Greater Armenia (sekarang bagian tenggara Turki). Gereja merayakan Pesta St. Bartolomeus pada setiap tanggal 24 Agustus.
 Santo Bartolomeus doakanlah kami
Jujur saja nih sebenarnya saya baru sadar kalo Santo Bartolomeus ini termasuk 12 rasul Yesus, tadi pagi waktu homili romo saat Misa pagi ……ternyata saya tidak hapal   ke 12 rasul Yesus…..hehehe….  Ini sekedar refresh ingatan  saja…. siapa saja ke 12 rasul Yesus itu (Matius 10 : 2-4)
Berkah Dalem


 Referensi :Wikipedia - Saint.sqpn.com , Yesaya, ekaristi.org, imankatolik.or.id

Minggu, 23 Agustus 2015

Jadwal Novena Gua Maria Tritis (GMT)

Novena Gua Maria Tritis putaran September 2015-Mei 2016
dengan tema “Sadar Budaya (Eling Kabudayan)"


***Pembukaan Novena 06 September 2015 pkl 09.30 WIB dengan tema “Tuhan Hadir dalam Seluruh Kebudayaan (Gusti Mboten Sare)” dipimpin oleh Romo CB Mulyatno, Pr. (Romo Paroki Kristus Raja Baciro) dan petugas koor “KLINTHING” OMK Kevikepan DIY



Jumat, 21 Agustus 2015

Paus Ekaristi Kudus

St. Paus Pius X

Paus dan Pengaku Iman 

Nama : Giuseppe Melchiorre Sarto
TTL: 2 Juni 1835 di Riese, Treviso (Italia)
Ditahbiskan menjadi Imam: 18 September 1858
Ditahbiskan menjadi Uskup: 16 November 1884 untuk Keuskupan Mantua (10 November 1884-15 Juni 1893)
Menjadi Patriark Venezia: 15 Juni 1893
Terpilih menjadi Paus: 4 Agustus 1903
Diinstalasi menjadi Paus: 9 Agustus 1903
Motto Kepausan: Instaurare Omnia in Christo (Membangun kembali semua di dalam Kristus)
Wafat: 21 Agustus 1914 di Vatican City
Beatifikasi: 3 Juni 1950 oleh Venerabilis Paus Pius XII
Kanonisasi: 29 Mei 1954 oleh Venerabilis Paus Piux XII

Hari ini, 21 Agustus, Gereja memperingati pesta Paus St. Pius X, seorang Pemimpin Gereja yang besar. Orang kudus ini lahir dengan nama Giuseppe (= Yosef) Melchiore Sarto adalah seorang pelajar miskin di Italia dam kelak ia menjadi  seorang Paus yang ramah, namun di balik itu, ia adalah seorang Paus yang tegas dan menolak berbagai ajaran sesat kala itu (Modernisme dan Jansenisme).   Paus Santo Pius X sebagai seorang pengganti Santo Petrus sungguh-sungguh melaksanakan perannya sebagai Batu Karang Gereja Katolik.

Giuseppe lahir di Reise, Treviso, Italia pada tanggal 2 Juni 1835 sebagai anak kedua dari sepuluh bersaudara. Dalam keluarga, ia biasa dipanggil dengan nama kesayangan "Beppi". Ayahnya seorang pegawai pos. Papa dan Mama Sarto mengajarkan cinta kasih kepada Yesus dan Gereja-Nya kepada kedelapan anak mereka melalui teladan cinta kasih dalam rumah mereka.

Melebihi segalanya, Giuseppe ingin menyerahkan hidupnya untuk membawa banyak orang ke surga. Ia rindu menjadi seorang imam. Pendidikan dasar ditempuhnya di Reise dan di Castelfranco  Italia, ia menempuh pendidikan imam di Seminari Padua, Italia hingga ditabhiskan menjadi imam. Dan untuk itu, ia dan keluarganya harus banyak berkorban agar ia dapat bersekolah di seminari. Pada tanggal 18 September 1858, ketika usianya 23 tahun, Giuseppe ditahbiskan menjadi seorang imam.  Don Sarto (Don, Italia, artinya Pater) berkarya di paroki-paroki miskin selama tujuhbelas tahun.

Karier imamatnya dimulai di Paroki Tambolo, Italia sebagai pastor kepala. Setelah 9 tahun mengabdi di Tambolo, ia dipindahkan ke Paroki Salzano. Semua orang mengasihinya. Don Sarto biasa memberikan segala yang ia miliki demi membantu mereka yang membutuhkan. Seringkali saudarinya harus menyembunyikan sebagian pakaiannya agar jangan sampai Don Sarto tidak mempunyai pakaian untuk dikenakan. Bahkan setelah Don Sarto diangkat menjadi Uskup kota Mantua dan kemudian diangkat lagi menjadi Kardinal, ia masih suka membagi-bagikan apa yang ia miliki kepada mereka yang berkekurangan. Ia tidak menyimpan apa-apa bagi dirinya sendiri.

 Umat senang sekali padanya karena kesalehannya, kefasihannya berbicara dan kegiatan-kegiatan pastoralnya. Karena kesalehan dan kemampuannya, ia diangkat sebagai imam kanonik di gereja Katedral Treviso pada tahun 1875.
Tak lama kemudian ia ditunjuk sebagai pembimbing rohani, pengajar dan rektor di Seminari Treviso.
Di Treviso karier Sarto benar-benar meningkat. Semuanya itu perlahan-lahan menghantarkannya ke atas jenjang imamat tertinggi sebagai Uskup. Oleh Paus Leo XIII, Sarto diangkat menjadi Uskup di dioses Mantua, Italia pada tahun 1884. Kondisi dioses Mantua kacau balau ketika Sarto menduduki tahkta keuskupan. Pendidikan seminari sudah ditutup lebih dari 10 tahun karena situasi politik yang tidak menentu; banyak paroki mengalami kekosongan kepemimpinan pastor; kaum buruh semakin tidak menghiraukan hidup imannya karena pengaruh sosialisme; kaum intelektual sudah termakan pengaruh liberalisme; aliran Freemansory terus giat menyebarkan ajarannya, dan dimana-mana muncul semangat antiklerikalisme.

Uskup Sarto yang saleh ini dengan tenang dan berani menghadapi masalah-masalah ini. Dengan sangat berani, ia membuka kembali pendidikan Seminari dan meneguhkan imam-imamnya agar dengan tekun melayani umat di parokinya masing-masing. Uskup Sarto pun tak kenal lelah mengadakan kunjungan pastoral ke semua paroki untuk mengenal dari dekat situasi umatnya. Di mana-mana ia berkhotbah dan berjuang mengembalikan umatnya kepada penghayatan iman yang benar.

Kunjungan pastoralnya itu menggerakkan dia untuk mengadakan suatu sinode di Mantua. Sinode itu diselenggarakan pada tahun 1888 dan berhasil merumuskan sebuah pedoman kerja dioses yang baru untuk membangkitkan kembali kehidupan rohani umat seluruh dioses. Tuhan ternyata memberkati karya Uskup Sarto. Di seluruh dioses, lahirlah kembali suatu semangat baru untuk menghayati iman Kristiani. Antara Negara dan Gereja terjalin suatu hubungan yang baik; pengajaran katekismus bagi orang dewasa dan anak- anak digalakkan di seluruh dioses; perkawinan Katolik ditegakkan kembali dan anak-anak sudah bisa menerima komuni pertama sejak masa remajanya.

Melihat keberhasilan karya Uskup Sarto, Paus Leo XIII mengangkat Sarto menjadi Kardinal pada tanggal 12 Juni 1893. Tak lama kemudian Paus Leo mengangkatnya menjadi Batrik Venesia. Di Venesia, Sarto tidak menemui banyak masalah. Namun ia mengadakan beberapa pembaharuan di bidang pendidikan Seminari, musik liturgi dan metode pewartaan. Pelajaran agama yang dilarang oleh kaum Freemansorny diberikan lagi disekolah-sekolah umum. Gereja Venesia benar-benar carah dibawah kepemimpinan Batrik Sarto.

Ketika Paus Leo XIII wafat pada tahun 1903, para Kardinal memilih Kardinal Guiseppe Melchiore Sarto menjadi Paus. Mulanya ia menolak menerima jabatan mulia itu. Dengan rendah hati, ia meminta para Kardinal agar tidak memilihnya menjabat martabat Gerejawi yang luhur itu, namun karena desakan para Kardinal, Sarto pun akhirnya menerima juga jabatan itu. Ia secara resmi menduduki Tahkta Petrus oada tanggal 9 Agustus 1903.


Kardinal Sarto diangkat menjadi paus. Ia memilih nama Pius X. Tidak lama setelah dipilih menjadi pemimpin tertinggi Gereja, Paus Pius X mengumumkan program kerjanya, yaitu ‘memperbaharui semua hal dalam Kristus’. Pius X melakukan banyak hal dalam hal kebangunan-rohani Gereja, misalnya mendorong penyambutan komuni sejak usia muda dan juga komuni harian. Ia menetapkan pokok-pokok yang diperlukan dalam rangka pencapaian kesucian hidup para klerus. Ia mendorong perkembangan Ordo Ketiga. Yang paling penting: Lewat kesucian hidupnya, Paus Pius X membuat dirinya sendiri menjadi contoh bagi orang-orang untuk melakukan pembaharuan hidup rohani mereka. Leaderhip by example! Banyak lagi yang dilakukan oleh Paus ini, namun tidak dapat diceritakan di sini karena waktu dan ruang yang terbatas. 
Paus Pius X terkadang dijuluki ‘Paus Ekaristi’. Beliau tercatat pernah mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Komuni Kudus adalah jalan yang paling singkat dan paling aman untuk menuju surga. “ Memang ada jalan-jalan lain: keadaan tidak bersalah (innnocence), namun hal ini diperuntukkan bagi anak-anak kecil; pertobatan, namun hal ini menakutkan kita; memikul banyak pencobaan-pencobaan hidup, namun begitu pencobaan-pencobaan itu tiba kita menangis dan mohon dikecualikan/diselamatkan. 

Secara istimewa Paus Pius X dikenang karena kasihnya yang berkobar-kobar kepada Ekaristi Kudus. Bapa Suci mendorong semua orang untuk menyambut Yesus sesering mungkin, bahkan tiap hari! Ia juga menetapkan ketentuan yang mengijinkan anak-anak menyambut Komuni Kudus juga. Sebelumnya, anak-anak harus menunggu hingga usia 12-14 tahun untuk dapat menyambut Tuhan. Paus yakin bahwa Komuni Kudus memberi kekuatan yang diperlukan untuk melakukan segala sesuatu demi kasih kepada Yesus!

Meskipun paus, namun ia tetap romo paroki yang penuh pengertian dan cintakasih. Setiap Minggu ia berkhotbah secara sederhana menjelaskan Injil yang dibacakannya kepada hadirin di halaman Vatikan.  Kebaikan hati dan kesederhanaannya sangat menonjol. 

Paus Pius X percaya teguh dan amat mencintai iman Katolik. Ia menghendaki setiap orang Katolik mengenal dan mencintai keindahan kebenaran ajaran iman Katolik. Ia amat peduli pada tiap-tiap orang, mengenai kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmaninya. Ia mendorong para imam dan para katekis membantu orang banyak mengenal iman mereka.

Pius X juga mengerahkan banyak tenaga untuk memperbaharui liturgi, Sepanjang hidupnya ia tertarik pada musik-musik sakral dan mendorong digunakannya Lagu-lagu Gregorian di setiap paroki. Namun demikian, ia menjelaskan bahwa ia beranggapan usaha untuk menggantikan segala bentuk musik Gereja lainnya dengan Lagu Gregorian tidaklah dikehendaki. Ia mendorong digunakannya juga komposisi modern dalam liturgi, selama komposisi modern ini memenuhi standard musik liturgi Gereja. Paus Pius X juga merevisi Ibadat Harian Gereja.

Paus Pius X teramat menderita ketika pecah Perang Dunia I. Ia tahu bahwa akan ada banyak orang terbunuh. Ia mengatakan, "Aku akan dengan senang hati menyerahkan nyawaku demi menyelamatkan anak-anakku yang malang dari penderitaan yang mengerikan ini."

Paus Pius X wafat pada tanggal 20 Agustus 1914. Dalam surat wasiatnya ia menulis, "Saya dilahirkan miskin, saya hidup miskin, saya berharap mati miskin."
Semasa hidupnya, Paus Pius X beberapa kali menyembuhkan secara ajaib orang-orang yang sakit jasmani maupun rohani. Setelah kematiannya, banyak terjadi mukjizat pada kuburannya.  Proses beatifikasinya dimulai pada tahun 1923. Beatifikasinya dilakukan pada tahun 1951 dan kanonisasinya  dilakukan oleh Paus Pius XII pada tahun 1954.  Pestanya dirayakan setiap tanggal 21 Agustus.

Santo Pius X adalah seorang imam sejati, seorang pastor/gembala umat yang patut dicontoh perikehidupannya, baik oleh para klerus maupun umat kebanyakan. Baiklah kita juga selalu berdoa mohon pengantaraannya, terutama untuk kebaikan para imam kita. Santo Pius X, doakanlah kami! 



www.indocell.net/yesaya , www.ekaristi.org,  Frans Indrapradja OFS

Kamis, 20 Agustus 2015

Santo Bernardus, 20 Agustus.

Bernardus dari Claivaux (=lembah Hening) berasal dari keluarga bangsawan Perancis dan dilahirkan pada tahun 1090 di kota Dijon, Perancis. Putera dari Tescelin Sorrel dan Aleth Montbard ini digelari Pujangga Gereja dan dikenal juga sebagai Bapa Gereja Terakhir.  Ia dan keenam saudara-saudarinya memperoleh pendidikan yang baik. Hati Bernardus amat sedih ketika ibunya meninggal dunia, saat usianya baru tujuh belas tahun. Ia hampir  membiarkan dirinya larut dalam kesedihan jika saja tidak ada Humbeline, saudarinya yang periang. Humbeline membuatnya gembira dan segera saja Bernardus telah menjadi seorang yang amat populer.  Ia tampan dan cerdas, riang gembira dan humoris. Siapa saja suka berada di dekatnya.

Suatu hari, Bernardus mencengangkan teman-temannya ketika ia mengatakan bahwa ia akan bergabung dengan Ordo Cistercian yang amat keras. Mereka mengusahakan segala cara agar ia membatalkan rencananya itu. Tetapi pada akhirnya, Bernarduslah yang berhasil meyakinkan saudara-saudaranya, seorang pamannya dan keduapuluh-enam orang temannya untuk bergabung bersamanya.

Ketika Bernardus dan saudara-saudaranya hendak meninggalkan rumah mereka, mereka berkata kepada adik mereka, Nivard, yang sedang bermain bersama anak-anak lain: “Selamat tinggal, Nivard kecil. Sekarang semua tanah dan harta benda ini menjadi milikmu.” Tetapi anak itu menjawab: “Apa! Kalian mengambil surga dan menyisakan dunia untukku? Apakah kalian pikir itu adil?” Dan tak lama kemudian, Nivard pun bergabung dengan saudara-saudaranya di biara. St. Bernardus menjadi seorang biarawan yang baik.


Di bawah bimbingan Abbas Santo Stefanus, Bernardus mempelajari Kitab Suci dan giat menulis banyak buku. Kemahirannya dalam bahasa Latin sangat membantu dia di dalam menerangkan dengan jitu makna Sabda Allah bagi hidup manusia.
 Tiga tahun kemudian karena kepandaiannya dan kesalehan hidupnya,  ia ditugaskan mendirikan sebuah biara pertapaan baru serta menjadi abbas (=pemimpin biara) di sana.  Bersama 12 orang rekannya, Bernardus berangkat ke sebuah lembah .
Biara tersebut terletak di Lembah Cahaya. Dalam bahasa Perancis, Lembah Cahaya adalah “Clairvaux” Biara baru itu kemudian lebih dikenal dengan nama Clairvaux.

Disana ia mendirikan pertapaan yang lazim disebut Pertapaan Claivaux. Di bawah kepemimpinannya, biara ini berkembang pesat dan sangat masyur di seluruh Eropa. Ada sekitar 70 buah biara baru didirikan selama masa hidupnya. Di mana-mana di seluruh Eropa terdapat banyak biarawan asuhan Bernardus, sehingga Bernardus disebut juga sebagai pendiri kedua Ordo Sistersian setelah Santo Stefanus Harding. Bernardus menjadi abbas di Clairvaux hingga akhir hayatnya.


Bernardus sendiri dikenal luas sebagai seorang pewarta, pembawa damai dan penegak kebenara. Meskipun ia lebih suka tinggal bekerja dan berdoa dalam biaranya, kadang-kadang ia harus pergi untuk tugas-tugas khusus. Ia berkhotbah, mendamaikan para penguasa, serta memberikan nasehat kepada paus.  Ia dengan gigih membela hak Paus Innosensius II (1130-1143) melawan rongrongan Paus tandingan Anakletus pada 1130, menentang pandangan-pandangan salah dari Petrus Abelard III (1145-1153) bekas asuhannya di pertapaan Claivaux. Ketika Gereja membutuhkan sukarelawan untuk mempertahankan tanah suci, Bernardus menjelajahi Perancis dan Jerman untuk meyakinkan para bangsawan Kristen akan kewajiban mereka untuk melindungi warisan umat Kristiani di Yerusalem.
Bernardus diutus ke Jerman dan Prancis untuk berkhotbah menentang ajaran sesat Albigensia. Khotbah-khotbahnya sangat berpengaruh dan tulisan-tulisannya mengilhami mistisisme Abad Pertengahan.


Karya Bernardus yang paling mengagumkan adalah buku-buku yang ia tulis mengenai pengalaman rohani dan madah pujian dengan syairnya yang amat indah. Ia menjadi seorang yang amat berpengaruh dalam jamannya. Namun hal yang paling dirindukannya adalah tinggal dekat dengan Tuhan dalam keheningan di biara. Ia sama sekali tidak suka menjadi orang terkenal.

Bernardus mempunyai devosi yang mendalam kepada Santa Perawan Maria. Dikatakan bahwa ia sering menyapa Bunda Maria dengan sebuah “Salam Maria” ketika ia melewati patungnya.
Suatu hari, Bunda Maria membalas salamnya: “Salam, Bernardus!”. Dengan cara demikian Bunda Maria hendak menunjukkan bagaimana cinta Bernardus dan devosinya telah menyenangkan hati Bunda Maria.

St.Bernardus wafat pada tahun 1153. Pesan terakhirnya adalah " Kita bukan anak malam dan kegelapan, Hiduplah sebagai anak cahaya." Orang banyak merasa sangat sedih karena mereka kehilangan pengaruhnya yang menakjubkan. St. Bernardus dinyatakan kudus pada tahun 1174 oleh Paus Alexander III. St. Bernardus juga diberi gelar Doktor Gereja pada tahun 1830 oleh Paus Pius VIII.




Referensi :Yesaya - Saints.SQPN.com, http://www.imankatolik.or.id/

Jumat, 14 Agustus 2015

SANTO MAX KOLBE, 14 AGUSTUS

SANTO MAXIMILIANUS MARIA KOLBE, OFMConv.

[1894-1941], MARTIR


"Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tiada kasih yang lebih besar, selain daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya...Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain" [Yohanes 15:12,13,17]


Pada tanggal 14 Agustus, para anggota keluarga besar Fransiskan memperingati Santo Maximilianus Maria Kolbe, seorang imam Fransiskan Conventual yang menjadi martir Kristus si bawah kekejaman Jerman Nazi. 

Raymond (Raymundus; namanya sebelum menjadi Pater Maximilianus Maria) Kolbe dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1894 di desa Zdunska-Vola, dekat Lwow, Polandia. Pada umur sepuluh tahun, dia menceritakan kepada ibunya suatu pengalaman mistis dimana Santa Perawan Maria menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari dua mahkota. Yang berwarna putih melambangkan kemurnian. Yang berwarna merah melambangkan kemartiran. "Saya ambil dua-duanya," sang anak lelaki berkata.
Dari empat orang saudaranya, dua meninggal dunia ketika masih kecil. Abangnya, Fransiskus, menemaninya  pada waktu dia meninggalkan rumah untuk masuk biara para Fransiskan Conventual di Lwow. Karena kota itu terletak pada bagian Polandia yang pada waktu itu di bawah kekuasaan Austria, maka dua kakak-adik itu melewati perbatasan dengan bersembunyi dalam gerobak yang berisikan rumput kering/jerami. 

Pada waktu kakak-beradik itu belajar di seminari kecil, ayah dan ibu mereka memasuki kehidupan religius. Hal ini mendorong Raymond – yang pada waktu itu tidak tahu mau jadi apa dia kelak – memasuki novisiat, yaitu pada tahun 1910, ketika berumur 16 tahun. Frater Maximilianus Maria dikirim ke Roma pada musim gugur tahun 1912 untuk melanjutkan studinya di Universitas Gregoriana. Tujuh tahun lamanya dia berada di Roma.

Dia mengidap penyakit TBC pada masa mudanya, dan sejak itu tidak pernah terbebas dari penyakit. Tetapi "dia adalah seorang yang paling berbakat," demikian kata salah satu professor yang mengajarnya di Universitas Gregorian di Roma. Pada usia 21 tahun dia telah mendapat gelar doktor dalam bidang filosofi. Setahun setelah pentahbisannya sebagai imam, dia mendapatkan satu lagi gelar, yaitu dalam bidang teologi. Dia mungkin bisa memiliki karir yang cemerlang dalam hirarki Gereja.



 Pada tahun 1917, di Roma, dia mendirikan sebuah gerakan, yaitu MILITIA IMMACULATAESetelah ditahbiskan imam pada tahun 1918, Pater Maximilianus Maria Kolbe pulang ke negerinya dan untuk beberapa waktu lamanya dia berdiam dalam sanatorium di Zakopane, karena penyakit TBC kronis yang dideritanya. Pada tahun 1920, paru-parunya tinggal satu saja. Walaupun kesehatannya sangat rentan, Pater Maximilianus Maria Kolbe aktif dalam kegiatan-kegiatan kerasulan yang dimahkotai dengan keberhasilan. Imam muda ini melihat bahwa ketidakpedulian terhadap agama sebagai racun paling mematikan pada masa itu. Misinya adalah melawan racun sangat berbahaya ini lewat kesaksian hidup yang baik, doa, kerja dan penderitaan.

Kemudian, untuk mempromosikan MILITIA IMMACULATAE, Pater Kolbe ini meluncurkan sebuah bulletin, Ksatria dari (Maria) Yang Tak Bernoda” pada waktu dia ditugaskan di Cracow. 
Setelah dia menerima tanah di dekat Warsawa, Pater Kolbe mulai mendirikan “Kota (Maria) Tak Bernoda” atau Niepolalanow, yang kemudian berkembang menjadi komunitas religius terbesar yang pernah ada  dalam sejarah Gereja. Pada tahun 1927, dia menempatkan suatu patung Bunda Maria di tengah-tengah lapangan sekitar 40 kilometer dari Warsawa - suatu awal dari apa yang nantinya akan menjadi biara yang terbesar di dunia, Niepokalanow, yang dibangun oleh Kolbe dan para biarawan-biarawan yang membantunya dan masih ramai dihuni hingga hari ini. Pada tahun 1939, ada lebih dari 750 imam dan biarawan di Niepokalanow, dan mereka mempublikasikan lebih dari sejuta eksemplar majalah Ksatria Immakulata setiap bulannya. Tetapi tahun 1939 juga merupakan tahun dimana Hitler memulai Perang Dunia II dengan serangan yang menghancurkan ke Polandia.

Pada tahun 1938 komunitas itu beranggotakan 762 saudara, kebanyakan para bruder. Pada puncak kegiatan kerasulan mereka, tiga buah mesin cetak rotari  mereka bekerja siang dan malam, dan sirkulasi bulletin “Ksatria” yang disebutkan di atas hampir mencapai angka 1 juta eksemplar. Ada juga publikasi-publikasi lainnya, salah satunya adalah harian “JURNAL KECIL” dengan sirkulasi 230 ribu. 

Pada tahun 1930, setelah “Kota (Maria) Tak Bernoda” telah berjalan dengan lancar, bersama empat orang saudaranya Pater Maximilianus pergi ke Nagasaki, Jepang. Di lereng gunung Hikosan mereka mendirikan sebuah “Kota (Maria) Tak Bernoda” yang kedua. “Kota” itu tidak mengalami kerusakan ketika kota Nagasaki dijatuhi bom atom oleh pihak sekutu pada tahun 1945. “Kota” itu menjadi pusat Provinsi Jepang dari para Fransiskan Conventual. 

Pada tahun 1939 Pater Maximilianus Maria Kolbe kembali ke Polandia untuk menghadiri sebuah kapital provinsi, dan dia diangkat kembali menjadi superior dari “Kota (Maria) Tak Bernoda”. Pada tahun yang sama Polandia diserbu oleh Jerman Nazi, dan Pater Kolbe di tahan untuk masa kurang dari tiga bulan. Dia dan para saudara yang lain dibebaskan pada “Pesta Maria dikandung tanpa noda”, dia menyadari bahwa penangguhan itu hanya sebentar. Dia bergegas kembali ke Niepokalanow yang telah di bom dan dirampok untuk membangun suatu tempat penampungan bagi kaum pengungsi, dan pada akhirnya 2000 tempat tinggal dibangun disana. Dia bahkan sempat menerbitkan satu edisi terakhir dari majalah yang digemarinya. "Tidak seorangpun di dunia ini bisa mengubah kebenaran," demikian tulisnya pada waktu itu. "Apa yang bisa kita lakukan hanyalah mencarinya, dan menjalaninya."

Pada tanggal 17 Februari 1941, Nazi datang kembali untuk mencarinya. Kali ini, dituduh sebagai musuh dari gerakan Nazi, pastor Kolbe dikirim pertama ke penjara di Warsawa dan lalu ke Auschwitz. Dia tiba dengan menumpang suatu gerbong untuk ternak, berjejal-jejal bersama 320 orang lainnya, disambut oleh kerja paksa yang sangat melelahkan, jatah secuil makanan yang terdiri dari sepotong roti dan kuah sayur kol, dan perlakuan di luar batas kemanusiaan hari demi hari. Suatu hari, selagi memanggul beban kayu yang berat dengan susah payah, pastor Kolbe terantuk dan jatuh, dan dipukuli sampai nyaris mati oleh para pengawal. Dia dirawat di rumah sakit perkampungan tahanan oleh seorang dokter Polandia yang bernama Rudolf Diem. Ketika dia tidak dapat bekerja, dia hanya mendapat setengah jatah makanan, tetapi seringkali masih membagi sebagian jatahnya kepada para pasien lainnya. "Engkau masih muda," demikian katanya. "Engkau harus tetap hidup."

Meskipun sakit, beratnya kurang dari 45 kilogram, pastor Kolbe bisa tidur diatas ranjang di rumah sakit. "Tetapi dia bersikeras untuk tidur diatas dipan kayu yang dilapisi jerami, " Dr. Diem berkata. "Dia ingin memberikan ranjang yang lebih enak kepada mereka yang jauh lebih buruk keadaannya daripada dirinya sendiri." Menjelang akhir bulan Juli, merasa lebih baik, sang pastor ditugaskan di Blok 14. Hanya beberapa hari kemudian ada tahanan yang melarikan diri dan pastor Kolbe mengulurkan tangannya untuk menyambut mahkota kemartiran. Hanya tiga bulan kemudian, lewat serangkaian penyiksaan, Pater Maximilianus Maria Kolbe menjadi martir Kristus di tangan kaum Nazi Jerman. 


Kematian bukan sesuatu hal yang langka di Auschwitz. Tetapi bagi para pesakitan, yang tinggal berdesak-desakan di ruang-ruang yang kumuh dan jorok di Blok 14, rasa was-was menghadapi kemungkinan dipilih untuk dihukum mati, sungguh merupakan suatu siksaan psikologis. Sepanjang malam yang terus bergulir, tidak bisa disalahkan kalau seseorang berharap dalam hati supaya tahanan yang melarikan diri tersebut tertangkap kembali.
Tetapi dia tidak ditemukan. Dia tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya, menghilang dari sejarah, setelah mencetuskan apa yang tiga puluh tahun kemudian, disebutkan oleh Bapa Suci Sri Paus Paulus VI sebagai "mungkin seorang tokoh yang paling cerdas dan paling cemerlang" yang muncul dari "perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan kekejaman yang tak terperikan dari jaman kekuasaan Nazi."

Tidak seorangpun yang bisa tidur di Blok 14 pada malam itu. Setiap orang sangat tertekan jiwanya. Harga diri, rumah, kebebasan, keluarga - semua telah hilang; sekarang jiwapun juga terancam. Salah seorang mantan tahanan, mantan serdadu Polandia Francis Gajowniczek berkata, "Setidaknya jika engkau masih hidup engkau masih bisa berharap." Bagi Gajowniczek, pengharapan itu sungguh-sungguh nyata. Dia percaya bahwa istrinya dan kedua puteranya masih hidup. Jika saja dia bisa keluar dengan selamat dari tempat yang penuh sengsara ini, dia akan dapat menemukan mereka kembali, dan bersama-sama mereka akan kembali membangun hidup mereka yang berantakan karena perang.
Di ranjang yang berdekatan berbaring seorang seniman profesional, Mieczyslaw Kowcielniak, yang sama sekali sudah kehilangan harapan. "Mereka yang beruntung sudah mati, " dia teringat berpikir demikian. "Dan tentara Nazi telah merubah kami semua menjadi binatang-binatang yang akan mencuri demi secomot roti. Kecuali sang imam."

Bahkan pada waktu itu, Koscielniak menyadari bahwa sang imam sungguh berbeda dengan orang lain. Meskipun seringkali jatuh sakit, lebih lemah fisiknya dibanding dengan banyak orang lain, sang imam tampaknya selalu membagikan makanan miliknya dengan orang-orang. Jika dia masih bisa berdiri, dia akan bekerja; jika ada yang jatuh kelelahan, dia akan mengambil beban orang tersebut. Dia menerimakan sakramen pengakuan dosa secara seumbunyi-sembunyi, dan bahkan selama malam yang panjang tersebut Koscielniak teringat melihat sang pastor berlutut di samping ranjang seorang anak muda yang menangis ketakutan, sambil mengatakan bahwa "kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan."

 Sewaktu para penjaga bersiap-siap untuk menggiring pergi orang-orang terhukum mati tersebut, tiba-tiba ada keributan di tengah-tengah barisan. Tahanan yang kesebelas melangkah ke depan, yaitu sang imam. "Apa maunya si babi Polandia itu?" kolonel Fritsch berteriak. Tetapi sang imam tetap melangkah ke depan, langkahnya tidak tegap, wajahnya pucat seperti mayat, tidak menghiraukan todongan laras-laras senjata yang diarahkan oleh para pengawal kepadanya. Pater Maximilianus Maria Kolbe dengan nomor pengenal 16670 maju ke depan dan menawarkan diri untuk menggantikan salah seorang yang telah ditunjuk untuk dihukum mati.  Akhirnya, dia berkata: "Semoga menyenangkan Lagerfuhrer, saya ingin menggantikan tempat salah satu dari para tahanan ini." Dia menunjuk kepada Gajowniczek. "Yang itu".

Kolonel Fritsch terbelalak menyaksikan peristiwa yang terjadi di depan matanya. "Apa engkau sudah gila?" sang komandan Nazi berteriak.
"Tidak," jawab sang pastor.
 "Tetapi saya sendirian di dunia ini. Lelaki itu punya keluarga. Harap ambil saya."
"Siapakah engkau? Apa pekerjaanmu?"
"Saya seorang imam Katolik."

Tanpa nama, tanpa ketenaran atau kemasyhuran. Suasana hening-sepi sebentar. Setelah tertegun sejenak, Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut melihat dengan gelisah. Koscielniak teringat berpikir: "Fritsch akan mengambil keduanya, sang pastor maupun Gajowniczek."
Dan apa yang dipikirkan oleh Fritsch, menatap pandang mata yang teduh dari wajah yang pucat dihadapannya? Apakah dia menyadari bahwa pada saat yang luar biasa tersebut dia menghadapi suatu kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri?
"Baiklah," dia bergumam, dan lantas membalikkan badannya.
Para laki-taki tahanan dari Blok 14 tersebut tercengang-cengang.
"Kami sungguh tidak dapat mengerti," demikian Koscielniak berkata sekarang.
 "Mengapa seseorang mau melakukan hal seperti itu? Memangnya siapa sebetulnya dia, sang imam?"
Sang komandan pun menendang keluar sersan Gojowniczek ke luar dari barisan para terhukum, kemudian memerintahkan Pater Kolbe untuk bergabung dengan sembilan orang terhukum lainnya. Di “blok kematian” mereka diharuskan melepaskan pakaian mereka dan dengan bertelanjang bulat mereka menghadapi kematian yang datang perlahan-lahan dalam kegelapan. Akan tetapi tidak terdengar teriakan-teriakan, yang terdengar adalah nyanyian para tawanan di kamp konsentrasi.

Setelah dua minggu berlalu, hanya empat orang yang masih hidup di sel bawah tanah di Blok 13, dan dari kempat orang itu, pastor Kolbe adalah yang paling terakhir meninggal. Seolah-olah dia harus menolong setiap kawan satu selnya untuk melalui derita terakhir sebelum dirinya sendiri bisa terbebaskan dari derita yang sama. Para penjaga terpaksa harus menghabisinya. Mereka datang untuk membunuhnya lewat injeksi asam karbolat pada hari ke limabelas dari kesengsaraannya, yaitu tanggal 14 Agustus, sehari menjelang hari raya Maria Diangkat Ke Surga (dirayakan setiap 15 Agustus). Dengan tersenyum dan berbisik, "Ave Maria, " sang pastor mengulurkan tangannya untuk disuntik mati.

Di blok 14, serdadu Gajowniczek pada awalnya tidak dapat mengerti atas pengorbanan pastor Kolbe. Dia terus menangis dan menolak untuk makan. Lantas Koscielniak membuatnya tersadar: "Sadarlah! Apakah sang imam akan mati dengan sia-sia?" Pada saat itu, Gajowniczek mengambil keputusan bahwa dia harus tetap hidup. Dia tidak akan menyia-nyiakan karunia yang diberikan lewat pastor Kolbe. Juga bagi Koscielniak, pengorbanan sang imam mengakhiri rasa putus-asanya. "Satu saja orang seperti itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk jalan terus." Dan setelah beberapa waktu, Koscielniak dan yang lain-lain yang selamat - mengerti bahwa mereka telah menjadi saksi dari suatu peristiwa yang menjadikan seorang Santo.

Kematian Pater Kolbe bukanlah tindakan heroisme menit terakhir. Keseluruhan hidupnya telah merupakan suatu persiapan. Kekudusannya tanpa batas. Dia memiliki hasrat penuh gairah untuk mempertobatkan seluruh dunia bagi Allah. Dan “Maria yang dikandung tanpa noda” yang sangat dicintainya adalah sumber inspirasi bagi dia dan gerakannya. 

Empat tahun sesudahnya, kisah horor tersebut berakhir, Francis Gajowniczek berhasil kembali ke tempat dimana dulu tempat tinggalnya di Warsawa dan menemukan bahwa rumahnya sudah terkena bom dan tinggal puing-puing. Kedua puteranya terbunuh akan tetapi istrinya selamat. Mereka pindah ke suatu desa kecil dan dengan perlahan membangun kembali hidup mereka yang baru.

Kemudian Gajowniczek mendengar berita yang mencengangkan: kabar tentang pastor Kolbe yang menjadi martir telah mencapai Vatikan, dan telah diusulkan agar ia dibeatifikasi, suatu langkah awal bagi kanonisasi dirinya sebagai seorang Santo Gereja Katolik. Gajowniczek dipanggil oleh Gereja untuk memberikan kesaksiannya, demikian juga mereka yang lainnya yang telah menjadi saksi atas tindakan-tindakan Kolbe yang tidak mementingkan diri sendiri maupun kisah kematiannya yang heroik. Akhirnya, 24 tahun setelah penyelidikan yang sangat teliti, keputusan yang diambil telah dikuatkan.

Demikianlah pada tanggal 17 Oktober 1971, di atas altar agung Basilika Santo Petrus di Roma, 8000 pria dan wanita yang telah menempuh perjalanan dari Polandia mengikuti perayaan beatifikasi yang khidmat. Diantara mereka adalah Francis Gajowniczek dan istrinya, dua-duanya sudah pensiun dan tua-renta, demikian juga Koscielniak. Sebuah potret dari Beato Pastor Kolbe disingkapkan, dan untuk pertama kalinya dalam memori, Sri Paus sendiri yang memimpin ritus yang agung dan kudus tersebut.
 Pater Maximilianus Maria Kolbe OFMConv. menjadi martir Kristus pada usia 47 tahun 7 bulan.

"Berjuta-juta orang telah dikorbankan oleh kesombongan dari kekuasaan dan kegilaan dari rasialisme," demikian kata-kata Bapa Suci. "Tetapi di tengah-tengah kegelapan tersebut bersinarlah tokoh Maximilian Kolbe. Di atas ruang kematian yang besar tersebut melayang-layanglah firman kehidupan-Nya yang Ilahi dan kekal: kasih yang penuh penebusan."
Demikian Pastor Kolbe tetap hidup, sebagai suatu simbol pengorbanan dan kepahlawanan yang tidak dikenal oleh dunia ini. Dia memberikan karunia kehidupan kepada seorang lain, dan bagi yang lain-lainnya, suatu hati yang mengalahkan tirani yang menindas mereka. Dan bagi segenap manusia, dari segala aliran kepercayaan, dia meninggalkan warisan atas rohnya yang tidak terpatahkan.

Rahasia heroisme Santo Maximilian Kolbe dalam kata-katanya sendiri:  Jaman modern didominasi oleh Setan dan akan lebih buruk lagi di masa mendatang. Pertentangan dengan neraka tidak bisa dimenangkan oleh manusia, bahkan yang paling pintar sekalipun. Hanya Immakulata saja yang telah mendapat janji dari Allah, kemenangan atas Setan.

Jangan takut untuk terlalu mengasihi Immakulata karena kita tidak akan pernah dapat menyamai kasih yang diberikan oleh Yesus kepada Maria, dan mengikuti jejak langkah-Nya adalah proses penyucian diri kita. Cobalah untuk melakukan segala hal sebagaimana Maria akan lakukan kalau dia adalah engkau, terutama dengan mengasihi Tuhan sebagaimana dia mengasihi-Nya.... Tetapi hal ini cuma bisa engkau pelajari "dengan berlutut" (=rendah hati).

Kasih, yang adalah "persatuan yang sempurna" tumbuh dan mencukupi dirinya sendiri hanya lewat penderitaan, pengorbanan, dan kayu salib. Tidak ada heroisme yang tidak dapat dicapai oleh seseorang dengan bantuan Immakulata.




Sumber:  Gereja Katolik Online, F.X. Indrapradja, OFS