Selasa, 03 Februari 2015

Wanita dianjurkan Memakai Mantilla


Minggu 25 Januari 2015 lalu, Romo Ponco dalam homilinya menyinggung pemakaian mantilla bagi wanita. Menurut Romo Ponco , beliau terinspirasi saat menghadiri pemakaman putri dari dr. FX Masnan yang saat itu mbak Uci didandani begitu cantik dengan Mantilla. Sebenarnya beberapa tahun yang lalu saya sudah membaca artikel tentang mantilla ini di blog indonesian papist dan sebenarnya tertarik untuk mengenakan, tapi tidak pede karena semua umat di Wonosari ini, saya belum pernah melihat ada yang memakainya. Dan pada misa tanggal 1 Februari 2015 ada tambahan teks misa yang menjelaskan tentang mantilla ini. Isinya diambil dari situs katolisitas.org. (silakan dibaca sendiri) .

Ada beberapa permenungan yang inspiratif. Dibawah ini ada ringkasan yang saya ambil dari beberapa blog:

Kerudung Misa adalah alat devosi yang tepat dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN. Mengatakan bahwa kerudung Misa “hanya sehelai kain belaka” sama dengan mengatakan “rosario hanya untaian manik-manik saja” atau “salib hanya dua palang kayu saja”. Terlebih lagi, kerudung Misa merupakan salah satu devosi yang sangat spesifik untuk para wanita. Berkerudung Misa biasa dijumpai dalam Misa Latin, tapi Yesus adalah Yesus yang satu dan kita seharusnya mengenakannya dalam Misa apapun, tidak hanya dalam Misa Forma Ekstraordinaria(misa Latin).”

Wanita Kristen di seluruh dunia memiliki alasan lain untuk memakai mantilla atau kerudung. Beberapa memakainya sebagai hormat kepada Allah; lainnya, untuk mematuhi permintaan Paus, atau melanjutkan tradisi keluarga. Tapi alasan yang paling penting dari semua adalah karena Tuhan kita berkata: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yohanes 14:15). Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, sang bejana kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

“Seorang wanita yang berkerudung Misa sedang menunjuk kepada Allah. Karena kita tidak berkerudung di tempat lain, kita hanya berkerudung di hadirat Sakramen Mahakudus. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah hadir.” “Ini sangat sederhana. Alasan mengapa saya berkerudung adalah demi menghormati Tuhan saya. Jika anda percaya bahwa Yesus sendirilah yang berada di atas Altar itu, maka anda akan merendah. Berkerudung sesungguhnya adalah bagian dari kerendahan hati di hadapan Tuhan.” Jadi, seorang wanita mengerudungi dirinya sehingga seluruh kemuliaan diberikan kepada Allah dan bukan kepada dirinya sendiri.

Contoh paling gampang dilihat adalah ketika Michelle Obama mengunjungi Bapa Paus Benediktus beberapa tahun yang lalu, ia menggunakan kerudung berwarna hitam yang sangat sederhana. Dua kali Ratu Elizabeth II dari Inggris bertemu Bapa Paus yang berbeda, ia masih tetap mengenakan mantillanya di bawah mahkota ke-ratu-annya. Semua first lady dari Amerika(sebagian besar mereka bukan umat Katolik) yang bertemu dengan Bapa Paus, memakai penutup kepala walaupun berbeda-beda macamnya. Para wanita penting ini masih diharuskan untuk memakai penutup kepala saat berjumpa dengan Bapa Paus. Hal ini merupakan hal yang disyaratkan Vatican kepada tamu-tamu negara wanita yang hendak berjumpa dengan Bapa Paus. Mengapa mereka harus memakai penutup kepala? Mengapa Vatican masih mengharuskan tamu-tamu negara wanita memakai penutup kepala? Sesungguhnya memang Vatican tidak pernah menarik peraturan mengenai penutup kepala wanita pada saat menghadiri misa. Jika para First Lady ini mau menghormati Bapa Paus dengan berkerudung harusnya kita sebagai umat/wanita Katolik menghormati Tuhan yang tentunya lebih besar daripada Paus.

Namun perlu juga disadari bahwa kerudung wanita tidak dapat dijadikan ukuran bahwa yang memakainya pasti lebih kudus hidupnya, ataupun lebih khusuk doanya. Dalam hal ini, adalah lebih baik untuk meneliti sikap batin masing-masing. Bagi para wanita yang ingin mengenakan kerudung saat ibadah, silakan dilakukan, itu baik. Namun bagi wanita yang tidak mengenakannya juga tidak perlu merasa bersalah, sebab hal itu tidak merupakan keharusan. Yang terlebih esensial adalah mengarahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan yang hadir dalam perayaan-perayaan liturgis itu. Dengan penghayatan ini, para wanita (dan pria) selayaknya berpakaian yang sopan dan bersikap yang sesuai, sebagai cerminan sikap penghormatan kepada Tuhan.

Seorang Bapa Gereja, yaitu Tertullian (160), sudah menuliskan tentang kebiasaan pemakaian tudung kepala pada para wanita yang tidak menikah demi Kerajaan Allah. Makna tudung ini sepertinya serupa dengan tudung para wanita yang telah menikah, yang menjaga (preserve) kecantikan mereka hanya untuk suami mereka. Demikianlah tudung ini menjadi salah satu lambang bagi para wanita ini yang memberikan hidup mereka seutuhnya untuk Tuhan, untuk melayani Dia dengan hidup doa dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kasih kepada sesama. Awalnya mereka tetap hidup bersama keluarga mereka, dan baru pada akhir abad ke-3 berdirilah komunitas-komunitas biara para wanita ini demi pelayanan umat di Gereja. Kerudung religius, (veil) yang sama dengan velum dalam bahasa Latin, dalam penggunaan gerejawi (ecclesial usage), mengacu kepada kerudung yang digunakan pada para wanita religius. Umumnya berwarna putih (digunakan oleh para novis) dan hitam (pada para biarawati yang telah melakukan kaul).

Ada banyak makna penggunaan kerudung ini, tetapi yang utamanya adalah sebagai lambang ikatan perkawinan/ persatuan mereka dengan Kristus. Pada kerudung hitam, juga memberikan makna keterpisahan mereka dari dunia. Di sana disebutkan bahwa pemakaian kerudung pada wanita-wanita religius adalah merupakan penggunaan gerejawi (ecclesial usage) yang mempunyai makna simbolis tertentu. Maka pemakaian kerudung ini memang bukan merupakan hukum mutlak dari Allah, namun berhubungan dengan kebiasaan gerejawi, yang memang mempunyai makna yang mendalam, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan oleh banyak kongregasi biarawati di seluruh dunia, meskipun ada juga sejumlah kongregasi yang tidak mensyaratkannya, seperti beberapa kongregasi di Amerika, atau di Indonesia, yaitu beberapa suster Alma, yang bergerak dalam pelayanan masyarakat miskin.

Namun bagi mereka yang tidak berkerudung pun bukan berarti pribadi yang tidak taat. Kitab Suci menjadi salah satu pegangan iman, namun prinsip-prinsip yang diberikan tidaklah disertai dengan peraturan-peraturan detail. Peraturan-peraturan detail ini ada di dalam Kitab Hukum Kanonik. Sebagai contoh, Yesus memberikan perintah bahwa tidak ada perceraian, karena apa yang telah disatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan manusia. Namun, apakah dalam kasus seseorang tertipu, memanipulasi istri, kebohongan status lajang padahal telah mempunyai beberapa istri, dll., maka perkawinannya tetap dianggap sah dan tidak terceraikan? Nah, prinsip-prinsip untuk menyelesaikan hal ini dapat dilihat di Kitab Hukum Kanonik (KHK). Dengan kata lain, apa yang kita percaya diwujudkan dengan peraturan yang lebih mendetail dalam
KHK.

Hal tentang cara berpakaian memang tidak diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik 1983. Dalam menghadiri Misa, yang terpenting adalah berpakaian yang sopan, sama seperti ketika seseorang menghadap orang yang penting. Dengan demikian, pemakaian rok mini, baju dan kaus ketat, celana pendek, sandal jepit, tidak mencerminkan kesopanan ketika menghadiri Misa Kudus. Kalau ada wanita yang menggunakan penutup kepala saat mengikuti Misa tentu harus didukung. Katekismus juga sesungguhnya mensyaratkan cara bersikap dan berpakaian yang layak untuk menerima sakramen Ekaristi, sebagaimana disebutkan di sini:

KGK 1387 Supaya mempersiapkan diri secara wajar untuk menerima Sakramen ini, umat beriman perlu memperhatikan pantang (Bdk. KHK, kan. 919) yang diwajibkan Gereja. Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita.

Secara prinsip, tidak ada dokumen yang mengatur secara persis bagaimana berpakaian sopan, karena setiap daerah atau negara mempunyai perbedaan budaya. Di Irian jaya, mungkin dengan cara pakaian mereka, kita menyebutnya tidak sopan, namun di daerah mereka, itulah cara berpakaian yang layak sebagai wujud dari sikap menghormati. Dengan demikian, parameter dari berpakaian sopan adalah pakaian yang menunjukkan sikap hormat, karena kita akan bertemu dengan Raja dari segala raja, yaitu Kristus sendiri. Jadi, kita dapat memikirkan, kalau orang tua atau murid akan menghadap kepala sekolah, menghadap pejabat, menghadap presiden, maka pakaian apa yang dikenakan? Dengan prinsip ini, maka memang tidak sepatutnya, kalau seorang perempuan memakai rok mini, pakaian terbuka, dandan yang berlebihan. Sebaliknya, tidaklah sepatutnya kalau seorang pria ke gereja hanya dengan mengenakan celana pendek dan sandal jepit – kecuali dia tidak mempunyai celana panjang yang layak dan sepatu yang layak. Di Vatikan dan gereja-gereja di Eropa cukup ‘strict‘ dengan peraturan ini.
Walaupun orang telah mengantri berjam-jam untuk masuk ke Basilika St. Petrus di Vatikan, namun kalau dia memakai rok mini dan pakaian yang terbuka, maka mereka tidak diperbolehkan masuk.

Mungkin sudah saatnya para pastor juga mulai mengingatkan tentang berpakaian yang sopan di dalam gereja. Cara yang mungkin baik adalah dengan menyediakan selendang / syal yang dipinjamkan kepada umat yang memakai pakaian kurang pantas dan setelah misa dapat mengembalikan lagi ke panitia yang bertugas. Dengan cara ini, maka lama-kelamaan umat akan semakin menyadari pentingnya untuk berpakaian yang baik, sebagai wujud penghormatan kita kepada Kristus dan agar kita juga tidak mengganggu yang lain. Kalau mau, anda juga dapat membuat usulan kepada pastor di paroki anda.

Secara sosial, kita memakai common sense, bahwa aneka profesi menuntut pakaian tertentu. Aneka peristiwa penting juga menuntut pakaian khusus. Berbagai kegiatan pun ada pakaiannya masing-masing. Pakaian untu rekreasi tentu lain dari pakaian untuk kerja kantoran dan lain pula dari pakaian berkebun dan memasak atau acara resmi kenegaraan dan ibadah. Jika kita berpakaian rapi ke tempat kerja atau jika kita diundang ke istana negara untuk bertemu bapak presiden, tentu seharusnya kita berpakaian lebih pantas untuk menghadap Tuhan dalam Misa Kudus. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri untuk bersikap hormat dan berpakaian rapi ke gereja, sebagai ungkapan sikap batin dan penghayatan iman kita akan makna Ekaristi yang akan kita sambut. Demikian juga dalam penggunaan kerudung Misa. Ada beberapa yang bisa menjadi dasar permenungan kita dalam penggunaan kerudung misa:

KITAB SUCI

Kitab Suci memberikan beberapa alasan untuk memakai kerudung. Santo Paulus mengatakan pada kita di dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus (11:1-16) bahwa kita harus menutupi kepala kita sebagai Tradisi yang Sakral diperintahkan oleh Tuhan kita sendiri dan dipercayakan kepada Paulus: “..bahwa apa yang kukatakan kepadamu adalah perintah Tuhan.” (1 Korintus 14:37) Kita harus selalu siap dengan kerudung pengantin kita, menunggu DIA dan pernikahan yang dijanjikanNYA (Wahyu 22: 17), mengikuti contoh dari Bunda Maria selalu berkerudung dengan benar

TATANAN HIRARKHI ILAHI

Tuhan telah membuat suatu tatanan hirarkhi, baik untuk keadaan alami ataupun religius, dimana wanita harus tunduk kepada pria. Santo Paulus menulis pada 1 Korintus: “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah. (1 Korintus 11:3)
Dan di dalam pernikahan, Tuhan memberikan suami kuasa atas istri, namun harus bertanggungjawab pula akan dia. Tidak hanya sebagai pengambil keputusan keluarga, namun ia bertanggung jawab bagi kesejahteraan material dan spritual akan istri dan anak-anaknya. Pria tidak di dalam posisi untuk memperbudak atau menginjak istri.
Sebagai sang Mempelai (Gereja) harus tunduk kepada Yesus, para wanita harus memakai kerudung sebagai tanda bahwa ia tunduk kepada pria: Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. (Efesus 5: 22-23). Pria melambangkan Yesus, sehingga pria tidak harus menutupi kepalanya.


Namun, ketaatan ini tidak menghina perempuan, karena semua orang dalam kerajaan Allah dikenakan otoritas yang lebih tinggi:
“Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11: 12).
Lebih jauh lagi, simbol dari kerudung menyatakan yang tak kelihatan, keteraturan yang dibuat oleh Tuhan, dan hal ini menjadi terlihat. Di dalam sejarah Gereja, pakaian-pakaian para imam telah memainkan peranan simbol yang sama.

KEHORMATAN WANITA

Adalah sebuah kehormatan untuk memakai kerudung. Dalam Pontifikal Roma berisi mendorong diadakannya seremonial konsekrasi akan kerudung-kerudung:
“Terimalah kerudung sakral, agar engkau diketahui telah membenci dunia, dan telah sungguh, dengan rendah hati, dan dengan segenap hati menjadi mempelai Kristus; dan kiranya IA membela engkau dari segala yang jahat, dan membawa engkau kepada kehidupan yang kekal” (Pontificale Romanum, de benedictione).


Satu permenungan seorang Katoik yang amat menyentuh:” kerudung Misa (terutama mantilla) membuat saya merasa bagaikan seorang pengantin!” Saya berpikir seperti ini: “Jika banyak wanita menunggu-nunggu hari besarnya di mana ia akan berkerudung saat menghampiri calon suaminya, mengapa kita enggan berkerudung saat menyambut Kekasih Surgawi kita? Bukankah Kurban Kalvari, yang senantiasa dihadirkan kembali di dalam Misa, adalah tanda perkawinan antara Kristus dengan Gereja-Nya,Kristus dengan saya? Jikalau demikian, tidakkah semestinya kita mengenakan bukan saja pakaian yang terbaik, melainkan juga pakaian yang spesial, yang sedikit berbeda dari hari-hari biasa? Betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup mengenakan gaun beserta kerudung pengantin mereka!”

Permenungan tersebut kemudian menjadi alasan utama saya memutuskan mengenakan kerudung Misa. Tanpa disadari, kerudung Misa meningkatkan sensitivitas saya terhadap benda-benda kudus dan atmosfer suci di dalam gereja. Saya memperhatikan bahwa setiap gerakan doa dan pujian saya lebih teratur, tenang, dan bertujuan; disposisi batin saya pun lebih terarah kepada Dia yang pantas mendapatkan seluruh perhatian saya.

Selembar kain yang tampak remeh ini rupanya sanggup menjadi semacam bentuk disiplin bagi daging saya yang lemah ini, serta sebuah pengingat bahwa saya adalah kekasih Kristus, pengantin Tuhan, dan dengan demikian saya harus bersikap selayaknya seorang pengantin, bukan pelacur. Betul bahwa hal tersebut membutuhkan pengorbanan dalam bentuk ketundukan (submission); namun apa artinya kasih tanpa pengorbanan?

Namun setelah beberapa lama berkerudung Misa, saya mulai mengevaluasi kembali pakaian dan penampilan saya. Pertama, dari segi kecocokan, saya merasa bahwa kerudung Misa sesungguhnya memang paling cocok jika disandingkan dengan gaun atau rok yang sopan, jadi saya mulai secara eksklusif mengenakan rok untuk ke gereja. Kedua, bagaimana mungkin seorang wanita yang menudungi kepalanya tidak melindungi tubuhnya juga? Demikianlah kini saya menjadi lebih modest, tidak hanya dalam berbusana, melainkan juga dalam tindak-tanduk, perkataan, dan cara berpikir.Bisa dibilang, memang, bahwa praktek berkerudung mengubah pribadi saya menjadi lebih feminin. Di masa modern ini, terutama di kehidupan perkotaan yang banyak terpengaruh budaya barat, menjadi feminin merupakan bahan cemoohan. Aneh tapi nyata, lambat laun perubahan secara fisik pun juga terjadi, yaitu perubahan isi lemari pakaian saya. Perlu dicatat bahwa sebelumnya saya agak anti dengan rok dan hal-hal yang “cewek banget”. Saya menganggap hal-hal feminin itu lemah dan kurang praktis. Padanan baju saya pun sebagian besar berupa kaus atau kemeja dan celana jins panjang maupun pendek.

Tetapi jika dipikirkan, mengapa wanita takut menjadi feminin? “Feminin” berasal dari kata “female”, perempuan, sehingga feminin berarti hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Menjadi feminin sesungguhnya mengukuhkan identitas seorang perempuan, yang sejajar dengan pria namun tetap berbeda, salah satunya berbeda dalam hal kehormatan menjadi bejana sakral pembawa kehidupan baru. Tabernakel dan piala yang berisikan Tubuh dan Darah Tuhan — Sang Kehidupan itu sendiri — juga dikerudungi, mengapa wanita tidak? Padahal, di dalam tubuh wanitalah terjadi misteri cinta yang melahirkan kehidupan! Kerudung Misa menegaskan realita ini dan mengangkatnya ke dalam makna teologis yang tinggi dan mendalam.

Tentunya, saya tidak menganggap bahwa wanita dengan kerudung Misa itu lebih suci dibanding wanita yang tidak berkerudung. Justru, karena saya belum sucilah, saya membutuhkan devosi ini untuk membantu mendisiplinkan kedagingan saya dan mengarahkan saya kepada Kehadiran Allah,kerudung Misa mendorong pertobatan saya secara fisik dan membuat saya lebih memahami konsep kesederhanaan (modesty), kemurnian (chastity), dan keindahan (beauty) menurut Iman Katolik. Kerudung Misa mungkin hanya terlihat sebagai sepotong kain yang cantik belaka, tetapi percayalah, sebagai sebuah bentuk devosi, kerudung Misa amat powerful dan dengan rahmat Allah, ia akan membantu anda lebih mudah tunduk kepada Sang Mempelai yang Tersalib.


KARENA PARA MALAIKAT


“Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.” (1 Korintus 11: 10). Tatanan hirarkhi yang tidak terlihat harus dihormati sebab para Malaikat hadir pada kumpulan liturgikal Kristen, mempersembahkan bersama kita Kurban Kudus dengan hormat bagi Tuhan. Santo Yohanes Rasul menulis:
“Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pendupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. (Wahyu 8: 3, lihat juga Matius 18: 10)
Mereka tersinggung karena kurang hormatnya orang-orang pada Misa, sama seperti mereka membenci Raja Herodes menerima penyembahan dari orang-orang Yerusalem:
“Dan seketika itu juga ia ditampar malaikat Tuhan karena ia tidak memberi hormat kepada Allah; ia mati dimakan cacing-cacing.” (Kis 12: 23)

TRADISI KUNO

Adat memakai kerudung dijaga di dalam Gereja primitif Tuhan (1 Kor.11: 16) Kita melihat ini dalam surat Paulus kepada umat di Korintus. Para wanita Korintus dilanda oleh kepekaan modern, mulai datang ke gereja tanpa kepala mereka ditutupi. Ketika St Paulus mendengar penolakan mereka, ia menulis dan mendesak mereka untuk menjaga kerudung. Menurut komentar akan Alkitab oleh Santo Jerome, ia akhirnya menetap masalah ini dengan mengatakan kerudung adalah kebiasaan masyarakat primitif Yudea, "Gereja-gereja Tuhan" (1 Tes 2-14, 2Thess.1-4), yang memiliki menerima Tradisi ini sudah sejak dari awal (2 Tes 2: 15. 3:6).

PERINTAH TUHAN


Santo Paulus mengingatkan mereka: "Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus" (Gal.1: 12), mengacu pada otoritas pelayanannya, dan kebenaran kata-katanya. Paus Linus yang menggantikan santo Petrus juga memberlakukan tradisi yang sama wanita menutupi kepala mereka di gereja (Gereja primitif, TAN.) Tuhan kita memperingatkan kita untuk mematuhi perintah-perintah-Nya: "Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga."(Matt.5: 19).

2 komentar:

  1. wah jadi sama kayak jilbab di islam nih? awal2 dianjurkan lama2 diwajibkan? rosario, patung, kayu salib itu kan simbol mbak. kalo begitu apakah orang katolik juga memandang alkitab sama seperti muslim memandag quran yang begitu sucinya sampai membuka lembarannya saja harus memakai alat khusus? rosario itu ya memang cuma sekedar manik2, kayu salib ya sekedar 2 buah kayu. makna dari benda2 itu berpaling kepada diri kita masing2 toh? kalau kedua palang kayu yang dijadikan lambang salib kristus itu bukan sekedar kayu bukannya malah ketika kita tunduk menyembah kita malah menyembah berhala? justru karena ikon2 itu sekedar simbol saja untuk membuat kita lebih khusuk beribadah maka ikon2 itu tidak menjadi berhala dan tidak bertentangan dengan sepuluh perintah allah.

    hal2 kecil macam ini sedikit demi sedikit tanpa disadari bisa membawa kita kepada eklusivisme agama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diatas sdh disebut bahwa:
      Kerudung Misa adalah alat devosi yang tepat dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Begitu juga kalung rosario dsb yang termasuk alat/benda devosi. Tidak ada kewajiban berkerudung maupun berdoa Rosario, semuanya kembali pada diri kita masing2.Menurut saya Rosario itu adalah doa, sedangkan kalung rosario adalah alat devosi, tanpa manik2pun kita tetap bisa berdoa Rosario menggunakan hitungan tangan. Dan menurut saya orang Katolik tetap percaya pada Yesus tapi mereka menggunakan alat2 devosi sebagai sarana untuk lebih dalam mencintai Tuhan. Maaf sy sendiri bukan katekis jadi pengetahuan sy ttng Katolik juga belum banyak semoga blog ini jg bisa menjadi tempat sharing bg semua. Terima Kasih

      Hapus