DIUTUS MENJADI GARAM DAN TERANG BAGI MASYARAKAT
Masa Prapaskah
merupakan suatu tradisi dalam Gereja Katolik untuk mempersiapkan diri menyambut
Hari Raya Paskah. Apakah Masa Prapaskah ditetapkan oleh Tuhan Yesus sendiri?
Jawabannya adalah tentu tidak. Namun demikian, sebagai umat Katolik kita
mengimani bahwa Gereja Katolik yang dilembagakan oleh Kristus sendiri, berhak
untuk menetapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk membangun iman umatnya.
Gereja Katolik bagaikan ibu kita yang menyediakan segala fasilitas yang
diperlukan bagi anaknya untuk menjalani hidup yang utuh dan bahagia.
Masa Prapaskah berawal
dari (t)radisi mempersiapkan katekumen (calon baptis) yang hendak menerima
Sakramen Baptis pada Malam Paskah. Pada zaman dahulu, penerimaan Sakramen
Baptis hanya dilangsungkan pada Malam Paskah, mengingat hubungan yang erat
antara sakramen ini dengan Paskah Kristus. Orang yang menerima Sakramen
Baptis, dikuburkan bersama Kristus dan bangkit kembali untuk menerima hidup
baru. Seiring berjalannya waktu, periode persiapan bagi katekumen ini
berkembang menjadi suatu periode mati raga/mortifikasi (penyangkalan diri)
selama 40 hari yang di dalamnya termasuk Tri Hari Suci. Perlu dijernihkan di
sini bahwa "Tri Hari Suci berlangsung mulai Misa Perjamuan Tuhan sampai
Ibadat Sore Minggu Paskah" (DIREKTORIUM TENTANG KESALEHAN UMAT DAN LITURGI
No.140). Ibadat Sore yang dimaksud di sini adalah Ibadat Harian dari buku
Brevir. Jadi, Tri Hari Suci terdiri dari Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu
Suci. Adapun Misa Malam Paskah sudah tidak termasuk ke dalam Masa Prapaskah,
melainkan peralihan ke Hari Raya Paskah. Namun demikian, umat yang
menghadiri Misa Malam Paskah sudah memenuhi kewajiban menghadiri Misa Hari Raya
(Minggu) Paskah, walaupun tetap dianjurkan untuk menghadiri Misa Hari Raya
(Minggu) Paskah.
Pantang dan puasa di
luar hari Rabu Abu dan Jumat Agung dapat kita lakukan setiap hari selama Masa
Prapaskah, KECUALI pada hari Minggu (karena kita SELALU merayakan hari Minggu
sebagai HARI RAYA dan pangkal segala pesta, walaupun hari-hari Minggu Prapaskah
tetap bernuansa pertobatan). Mengapa Masa Prapaskah terdiri dari periode
40 hari? Angka “40” dalam Kitab Suci muncul dalam berbagai peristiwa. Musa
berada di Gunung Sinai selama 40 hari 40 malam, Elia melakukan menempuh
perjalanan ke Gunung Horeb selama 40 hari 40 malam, dan Yesus sendiri berpuasa
40 hari 40 malam. Inti dari semua peristiwa itu sama. Ada suatu “perjalanan
rohani” dalam periode tersebut. Hal ini tepat sejalan dengan dokumen gerejawi
LITTERÆ CIRCULARES DE FESTIS PASCHALIBUS PRÆPARANDIS ET CELEBRANDIS atau
PERAYAAN PASKAH DAN PERSIAPANNYA (PPP) No. 6 dikatakan bahwa “Masa Prapaskah
tahunan adalah masa rahmat, karena kita mendaki Gunung Suci Hari Raya Paskah”.
Maka dari itu, Masa Prapaskah tepat sekali kita manfaatkan untuk “menjadi
manusia yang lebih baik”.
Dalam sejarah Gereja,
banyak umat, baik secara individu maupun kelompok, melakukan upaya-upaya mati
raga secara lahiriah. Seperti mencambuki diri sendiri dengan cambuk kecil,
melakukan puasa yang ekstrim, memakai pakaian dari karung goni, dan sebagainya.
Semua upaya mati raga ini dilakukan sebagai bentuk pertobatan. Saat ini,
praktik-praktik mati raga semacam itu sudah tidak lazim dilakukan dalam Gereja
(walaupun Gereja tidak melarang secara eksplisit, karena bagaimanapun
bentuk-bentuk mati raga itu merupakan suatu devosional, sesuatu yang bersifat
pribadi). Kini, mati raga kita bukan lagi “mencari penderitaan”,
karena penderitaan selalu ada dalam kehidupan kita. Lalu bagaimana kita
menjalani mati raga dalam Masa Prapaskah ini? Berikut tips-tips yang mungkin
bisa diterapkan.
1.
Pertama sekali, kita harus menyadari kehidupan rohani
kita. Apakah kehidupan kita lebih baik dari tahun lalu atau malah lebih buruk?
Apapun itu, kita bertekad untuk menjadi lebih baik melalui sarana Masa
Prapaskah yang ditetapkan oleh Gereja.
2.
Apakah dosa yang kita sering akui dalam Sakramen Tobat? (atau bahkan malah
jangan-jangan kita sudah lama sekali tidak menerima Sakramen Tobat?) Dosa yang
sering kita akui menunjukkan bagian mana dalam diri kita yang masih harus
diperbaiki.
3.
Tidak membuat komitmen mati raga yang “wah”. Buatlah komitmen yang sederhana
tapi “berdaya guna”. Gereja Katolik mewajibkan PANTANG BERIKUT PUASA HANYA PADA
hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Namun demikian, adalah baik bila kita tetap
melakukannya pada hari-hari lain juga selama Masa Prapaskah. PUASA berarti makan
kenyang sekali sehari pada satu jam makan. Pada jam makan lain kita mengurangi
porsi makan kita sambil mengingat orang-orang yang berkekurangan. PANTANG
berarti tidak melakukan yang kita sukai DENGAN DILANDASI MOTIVASI ROHANI,
dengan kata lain sebagai KORBAN ROHANI. Seseorang yang karena satu dan lain hal
harus mengurangi konsumsi gula karena diabetes, misalnya, tidak bisa berkata
“Saya pantang gula” (karena memang pada dasarnya orang itu harus mengurangi
gula demi kesehatan). Orang seperti ini sebaiknya mencari bentuk pantang lain.
Lain halnya apabila seseorang “kecanduan” mengonsumsi gula, maka pantang gula
bisa dilakukan, demi mengurangi “kelekatan” terhadap konsumsi gula. Demikian
juga mereka yang sudah terbiasa menjadi vegetarian, tidak bisa berkata "saya
pantang daging" pada Masa Prapaskah, namun ia bisa melakukan pantang yang
lain.
4.
Bentuk pantang tidak terikat, melainkan kita mencari sendiri bentuk-bentuk yang
memupuk pertobatan batin. Berikut usulan pantang/komitmen sederhana yang dapat
dilakukan sebagai bentuk mati raga :
a.
mengurangi segala bentuk “kelekatan” (atau “kecanduan”,
misalnya dalam hal merokok, konsumsi makanan tertentu, main games, media sosial
internet ) dan menggantinya dengan kegiatan postif seperti menghadiri Misa harian,
membaca dan merenungkan Kitab Suci, berdoa rosario, dan sebagainya
b.
pantang mengawali dan mengakhiri hari tanpa doa (dengan kata lain,
berkomitmen untuk berdoa setiap hari).
c.
pantang datang terlambat menghadiri Misa (dengan kata lain, berkomitmen untuk
datang lebih awal untuk berdoa Rosario sebelum Misa misalnya).
d.
pantang mengeluh (ketika kesulitan datang tidak mengeluh melainkan
mempersembahkan kesulitan itu “demi Yesus dan bagi keselamatan jiwa-jiwa”)
e.
pantang menghamburkan uang dengan berkomitmen menyisihkan uang jajan atau biaya
transport yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan (misalnya jika ke
tempat kerja sebenarnya bisa menggunakan kendaraan umum, maka tidak perlu naik
taksi), untuk diserahkan ke Gereja sebagai Aksi Puasa.
f.
pantang cemberut (berkomitmen untuk tersenyum SEKALIPUN kita
disakiti).
g.
pantang menggunakan tas plastik ketika belanja (berkomitmen "think
globally, act locally")
Apabila mati raga yang
kita lakukan selama Masa Prapaskah kemudian terus berlanjut menjadi kebiasaan
baik setelah Masa Prapaskah selesai, maka diharapkan kita menjadi manusia yang
sedikit lebih baik daripada sebelumnya.
Akhir kata, segala perbuatan baik kita sebenarnya tidak membenarkan diri kita
di hadapan Allah. Bapa hanya menerima perbuatan baik kita hanya kerena Kristus.
Maka, jangan lupa untuk mempersembahkan segala mati raga (baca: korban rohani)
kita kepada Bapa dengan menyatukannya dalam Korban Kristus dalam Ekaristi,
misalnya dengan berdoa singkat atau berkata dalam hati, “Bapa, terimalah korban
rohaniku yang kupersatukan dengan Kurban Kristus di altar.”
Sumber: https://www.facebook.com/gerejakatolik