Selasa, 09 Februari 2016

Apakah Semua Makanan Halal?

POJOK KATEKESE



Dalam ajaran agama Islam dan beberapa Gereja Kristen, ada makanan yang diharamkan. Tapi, mengapa dalam Gereja Katolik tidak ada makanan yang diharamkan? Apakah boleh makan persembahan dari meja sembahyangan Konghucu?

Pertama, memang dalam Perjanjian Lama ada ketentuan binatang mana yang haram dan mana yang tidak haram (Im 11:1-47; bdk Ul 14:3-21). Ketentuan ini kemudian diubah Yesus seperti dinyatakan Markus, “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya,
lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal (Mrk 7:18-19). Karena itulah, tidak ada lagi makanan yang haram.

Kedua, makan bahan persembahan dari meja sembahyang Konghucu sebaiknya tidak dilakukan, apalagi jika makan bahan persembahan ini dilakukan di dalam ibadat itu. Mengapa? Karena makan atau minum bahan
persembahan seringkali dimengerti sebagai ungkapan persekutuan dengan dia atau mereka yang menjadi tujuan persembahan itu. Memakan atau meminum bahan persembahan berarti ikut mengambil bagian dalam ungkapan iman dalam
ibadat itu.

Hal ini mirip dengan minum dari piala Kristus berarti persekutuan dengan darah Kristus. Demikian pula, makan roti persembahan berarti persekutuan dengan tubuh Kristus (bdk 1Kor 10:16-17; bdk ay 21-22). Menolak makan bahan
persembahan berarti kita tidak bersedia dipersekutukan. Dalam hal ini, bukan makanan itu yang bersifat haram, melainkan makna dari memakan bahan persembahan itu yang harus dihindari.

Ketiga, jika bahan persembahan ini dibagi-bagikan tetapi tetap jelas bahwa hal ini adalah sisa persembahan, maka sebaiknya bahan persembahan itu tidak diterima. Hal ini kita lakukan bukan karena bahan persembahan itu haram,
tetapi karena keberatan hati nurani dari dia yang mengatakan hal itu atau dari orang-orang lain yang tidak memiliki pengetahuan yang baik tetapi mengetahui bahwa kita menerima bahan persembahan itu (bdk. 1Kor 10:28-29a). Artinya, jika kita menerima bahan persembahan itu maka kita menimbulkan syak wasangka dalam hati orang lain tentang makna menerima dan memakan atau
meminum bahan persembahan itu (bdk. 1Kor 10:32-33).

Dalam hal ini kita bisa menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah pengetahuannya dan masih terikat kepada hal-hal di luar Allah, seolah kita mau dipersekutukan melalui persembahan itu. “Makanan tidak membawa kita lebih dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa kalau kita makan. Tetapi jagalah supaya kebebasanmu
ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah.” (bdk. 1Kor 8:7-12).

Dengan keras Rasul Paulus menegaskan sikapnya, “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya
tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” (1 Kor 8:13)

Keempat, seandainya bahan persembahan itu kemudian dijual di pasar sebagai kue, buah atau apa pun pada umumnya, maka kita boleh memakan atau meminumnya. Dengan dijual secara umum, bahan persembahan itu kehilangan kuasa persekutuannya dan kaitannya dengan tempat ibadat. Bahan itu kembali menjadi bahan umum yang layaknya dijual di pasar.

Dalam kasus yang mirip, Paulus mengatakan, “Kamu boleh makan segala sesuatu yang dijual di pasar daging, tanpa mengadakan pemeriksaan karena
keberatan-keberatan hati nurani. Karena ‘bumi serta segala isinya adalah milik Tuhan.’ Kalau kamu diundang makan oleh seorang yang tidak percaya, dan undangan itu kamu terima, makanlah apa saja yang dihidangkan kepadamu,
tanpa mengadakan pemeriksaan karena keberatan-keberatan hati nurani.” (1Kor 10:25-27)

Semua pertimbangan Paulus didasarkan bukan karena makanan itu sendiri sebagai haram, melainkan didasarkan pada pertimbangan keberatan hati nurani tentang makna menerima dan memakan atau meminum bahan persembahan dari agama lain.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM-HidupKatolik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar