Semoga salah satu sharing cerita yang
diambil dari Hidupkatolik.com /
FB: Bunda Maria Santa Perawan Suci,
ini dapat menyentuh kita untuk lebih perduli dan terus mendoakan
para Hidup Bakti.
CERITA
NYATA TELADAN KELUARGA KATOLIK
"HIDUP LUAR BIASA KARENA ALLAH"
Ini adalah cerita nyata
yang bobotnya luar biasa, karena manusia normal pada umumnya akan menolak opsi
kehidupan ini. Dua putra keluarga bapak Aloysius Sanjaya dan Esther Widyawati yang
sudah dipersiapkan mewarisi usaha di bidang konstruksi baja, memutuskan masuk
biara dan menjadi pastor. Tuhan memanggil sewaktu mereka studi di Amerika.
Suatu malam di penghujung
2004, Edwin Bernard Timothy terjaga dari lelap. Lantas, tak sengaja ia menonton
film “The Song of Bernadette” di layar kaca. Keutamaan sikap Santa Bernadette
yang mengemuka dalam film hitam putih produksi tahun ‘50-an itu, menyentuh nurani
pemuda yang tengah studi S2 bidang geography information system di Universitas
Buffalo, New York State, Amerika Serikat ini. “Ada sesuatu yang indah, sesuatu
yang belum pernah saya rasakan sebelumnya,” ungkapnya saat ditemui di kediaman
orangtuanya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis, 6 Juni 2013. Kisah Santa
Bernadette itu membuat hidup rohani Edwin menggeliat. “Sejak itu, setiap hari
saya berdoa rosario dan ikut Misa,” kenangnya.
Selanjutnya, pria kelahiran
25 Januari 1982 ini mendulang pengetahuan rohani dari beragam buku agama, hal
yang sebelumnya tak terlintas di benaknya. Hingga suatu hari, ia membaca buku
mengenai hidup bakti dalam Gereja Katolik. Panggilan membiara pun mulai
menggelitik hatinya. “Saya merasa ‘klik’, saya tertarik menjadi biarawan,”
ujarnya.
Enam bulan berselang,
seusai studi S2, Edwin memilih ordo. “Saya masuk Ordo Pengkhotbah (Dominikan),”
katanya. Seiring bergulirnya waktu, panggilan yang ditelusuri Edwin bermuara
pada 24 Mei 2013, ketika Mgr Christopher Cardone OP menahbiskannya menjadi imam
Dominikan di Gereja St Dominic, Washington DC, Amerika Serikat.
Seperti di Surga
Ketika pertama kali Edwin menjejakkan kaki di Biara Suster-Suster Dominikan di Buffalo New York State, kekaguman menyergapnya. “Suster suster Dominikan sedang mendaraskan Mazmur dan lagu-lagu Gregorian dengan begitu indah. Saya seperti berada di surga,” ujar Edwin sembari melepas tawa.
Ketika pertama kali Edwin menjejakkan kaki di Biara Suster-Suster Dominikan di Buffalo New York State, kekaguman menyergapnya. “Suster suster Dominikan sedang mendaraskan Mazmur dan lagu-lagu Gregorian dengan begitu indah. Saya seperti berada di surga,” ujar Edwin sembari melepas tawa.
Namun, seulas kekhawatiran
tak sanggup berkhotbah mengganjalnya. “Lalu, saya memohon kepada Tuhan, jikalau
memang Dia memanggil saya, tolonglah saya.” Setelah itu, batin Edwin terasa
lapang. Juli 2006, Edwin masuk biara. Dengan keteguhan hati, Edwin meniti
titian imamat. “Bagi saya, panggilan ini merupakan life time commitment. Meski
sejak awal saya tak pernah ragu,” ucap pria tamatan SMA Kanisius Menteng
tahun 2000 ini. “Saya bersyukur,
orangtua menerima keputusan saya.”
Sanjaya dan Esther
membenarkan, bagi mereka panggilan itu sebuah misteri dan itu sudah
direncanakan Tuhan, sehingga mereka tidak memaksa atau melarang putranya masuk
seminari dan menjadi imam.
“Semuanya sesuai
rencana Tuhan. Siapa yang tahu akan panggilan, semua tidak ada yang tahu. Hanya
Tuhan yang tahu. Sebagai orangtua, kami menerima, semuanya berjalan seperti air
mengalir.”
Dalam ramah tamah seusai
Misa di Redemptor Mundi, 26 Juni 2013, Pastor Edwin bercerita kepada umat bahwa
ketika di bangku SD mau pun SMP, dia tak pernah bermimpi bakal menjadi imam.
“Tidak tahu, mengapa saya terpanggil menjadi pastor. Padahal, ketika masih
anak-anak sampai remaja, saya tidak pernah terlibat dalam tugas-tugas di
gereja, baik putra altar, misdinar atau pun rekat (Remaja Katolik),” kisah imam
baru itu. Orangtuanya juga tidak pernah mendorong dan tidak pernah melarang dia
masuk seminari. “Tuhanlah yang menggerakkan hati saya untuk menjadi pastor,”
kata Pastor Edwin.
Lalu, mengapa tertarik
masuk Ordo Pewarta atau Ordo Pengkotbah (OP)? Di depan sekitar 1.000 umat yang
hadir, Pastor Edwin bercerita, “Sewaktu kecil dan remaja, saya sering
mengunjungi biara suster OP. Mungkin terlalu keseringan bertemu para suster OP,
eh, malah tertarik. Itulah misteri panggilan. Tuhan sudah memanggil dan kita
merespons,” kata imam itu.
Ternyata, hidup membiara
juga mempesona sang kakak, Cornelius Leo Adrianus. Cornelius, yang sebelumnya
selalu tinggal satu rumah dengan Edwin di Negeri Paman Sam, kerap ikut membaca
buku-buku rohani milik adiknya. Ia juga mengikuti siaran-siaran rohani di
saluran televisi Katolik setempat.
Meski ia tengah studi S3
bidang geography information system di kampus yang sama dengan kampus adiknya,
niatnya masuk biara tak terbendung. “Saya mulai merasakan ada konflik antara
hidup profesional saya dengan hidup rohani,” tandas Cornelius yang sudah
menjadi dosen di kampusnya.
Setahun setelah Edwin masuk
Biara Dominikan, Cornelius masuk Ordo Community of St John (CSJ). Di biara,
Cornelius mendapati irama hidupnya sungguh berbeda dengan sebelumnya. “Tapi,
saya bahagia karena hidup lebih realistis. Dulu, semua yang saya butuhkan bisa
saya beli. Sekarang, semua yang saya butuhkan harus saya kerjakan sendiri,”
ucap pria yang saat ini menjadi frater CSJ di Perancis.
Pria kelahiran 30 Juli 1980
ini mengibaratkan panggilan hidupnya sebagai mutiara. “Tuhan memberikan mutiara
kepada kami, dan untuk itu, kami harus meninggalkan semua yang kami miliki.”
Luar Biasa
Semula, orangtua Cornelius dan Edwin, Aloysius Sanjaya dan Esther Widyawati, tak pernah menangkap semburat tanda bahwa kedua putranya bakal masuk biara. Semasa di Jakarta, mereka enggan berhimpun dalam Putra Altar atau Orang Muda Katolik (OMK). “Hidup rohani kami biasa-biasa saja, hanya masuk gereja setiap Minggu,” tutur Esther.
Semula, orangtua Cornelius dan Edwin, Aloysius Sanjaya dan Esther Widyawati, tak pernah menangkap semburat tanda bahwa kedua putranya bakal masuk biara. Semasa di Jakarta, mereka enggan berhimpun dalam Putra Altar atau Orang Muda Katolik (OMK). “Hidup rohani kami biasa-biasa saja, hanya masuk gereja setiap Minggu,” tutur Esther.
Namun, sejak kecil,
perilaku Cornelius dan Edwin cenderung tak merepotkan orangtua. Mereka tak
pernah bertengkar atau iri hati. Nyaris tak ada tangis anak-anak di rumah
keluarga Sanjaya. “Dulu, saya merasa semua itu wajar saja. Tetapi, belakangan
saya tersadar bahwa mereka memang spesial,” kenang Esther. Sejak awal
perkawinan, 1979, pasangan ini merintis usaha konstruksi baja. “Kami bekerja
keras mengembangkan usaha demi anak-anak,” kata Sanjaya. Selepas SMA, mereka
mengirim Cornelius dan Edwin ke Amerika Serikat guna menuntut ilmu agar kelak
bisa meneruskan usaha. Ternyata, jalan hidup bertutur lain…. “Rencana saya
dengan rencana Allah berbeda. Tapi, saya meyakini, rencana Allah pasti yang
terbaik,” tegasnya. Berbagai komentar pun menyinggahi telinga Sanjaya dan
Esther karena Cornelius dan Edwin tak mungkin meneruskan usaha. Tak sedikit
yang menganggap realita ini musibah, terlebih karena garis keturunan mereka tak
berlanjut. “Tetapi, kami menerimanya sebagai rahmat Tuhan yang luar biasa,”
tandas Sanjaya.
Sejak kedua putranya masuk
biara, kehidupan iman pasangan ini bertumbuh. Mereka aktif dalam pelayanan di
Gereja, khususnya di Paroki St Yakobus Kelapa Gading. Sementara, dalam
mengepakkan sayap usaha, pandangan mereka bergeser. “Ada hak orang-orang lain
pada rezeki yang kami terima,” tutur pasangan yang peduli pada pendidikan
anak-anak tak berpunya ini. Di usia menyongsong senja, pasangan ini tetap giat
berkarya.Meski tak bisa mewariskan bisnisnya kepada Cornelius dan Edwin, tak
ada sedikitpun sesal melekat di hati mereka. “Kami yakin, Tuhan yang telah
memulainya dengan baik, akan menyelesaikannya dengan baik pula,” tukas Sanjaya.
Awal Juni 2013 ini, kebahagiaan menyelimuti pasangan ini karena
kedua putra mereka datang ke Jakarta. Edwin yang baru ditahbiskan sebagai imam
berkesempatan mempersembahkan rangkaian Ekaristi di beberapa kota, Misa Perdana di Paroki Santo Yakobus Kelapa
Gading, Pondok si Boncel, Jakarta, Seminari Mertoyudan dan Gereja Ignatius,
Magelang tempat keluarga besarnya berasal , dan di satu-satunya paroki di
Indonesia yang dijalankan para imam Dominikan, Redemptor Mundi, Surabaya, juga termasuk
di kediaman orangtuanya pada Kamis siang, 6 Juni 2013. Kebersamaan ini tentu tak
berlangsung lama karena Edwin harus
menjalankan tugas sebagai pastor yang diperbantukan di sebuah paroki di
Youngstown, Ohio, dan Cornelius harus kembali ke Community
of Saint John di Perancis, Perancis.
Semoga kisah ini menjadi
berkat yang baik dan kesaksian yang menyentuh bagi umat Katolik di Indonesia..
Dan ada doa untuk para pastor yang saya ambil dari sesawi.net…. [Di berbagai milis katolik, beredar
untaian doa khusus untuk para imam (pastor). Kita berterimakasih atas penggagas
dan perumus doa yang indah ini ~ Mathias
Hariyadi . ]
Berkah Dalem.
Doa untuk Para Pastor
Allah, Bapa Maha
Pengasih dan Penyayang,
Pandanglah wajah Kristus,Putra-Mu,Imam Agung Abadi,
demi cinta kasih-Mu kepada-Nya,
Kami memohon,
limpahkanlah belas kasih-Mu kepada para imam.
Ingatlah, ya Bapa,
para imam kami adalah manusia biasa,
dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Kobarkanlah selalu dalam diri mereka,
Rahmat Panggilan yang telah Kaulimpahkan dan Kauresmikan,
dengan urapan Roh Kudus dan penumpangan tangan Uskup, sewaktu tahbisan.
Jagalah mereka agar selalu dekat dengan-Mu,
mampu menjadi tanda dan sarana persahabatan
maupun persaudaraan sejati dalam Gereja,
maupun dengan semua orang beriman
dari agama mana pun.
Jauhkanlah mereka dari segala sesuatu,
yang mengasingkan mereka dari-Mu
dan dari persekutuan umat-Mu.
Yesus, Allah Putra, Imam Agung Abadi,
jadilah Pengantara kami untuk berdoa,
bagi para imam-Mu, yang setia dan gigih dalam pelayanan di tengah
umat-Mu,
bagi para imam-Mu, yang mendapat kesulitan dalam kesetiaan dan kegigihan
berbakti,
bagi para imam-Mu, yang hidup tegar maupun yang bergulat dengan pelbagai
godaan,
bagi para imam-Mu, yang berkarya penuh hiburan maupun yang berkarya
dalam kesepian,
bagi para imam-Mu, yang melayani di tengah keramaian kota maupun yang di
pelosok-pelosok,
bagi para imam-Mu, yang masih muda, yang tengah umur, maupun yang sudah
lanjut usia,
bagi para imam-Mu, yang sehat maupun yang sedang sakit, bahkan yang
menghadapi ajalnya,
bagi para imam-Mu, dalam keadaan apa pun juga.
Roh Kudus, Roh Penghibur,
Roh Kebijaksanaan dan Roh Pengudus,
curahkanlah damai Paskah dan kasih Pentakosta dalam para imam kami,
terutama imam yang mengantar kami pada Sakramen Baptis, untuk bersatu
dalam Gereja-Mu,
para imam yang mengajak kami senantiasa berbalik kepada-Mu dan merayakan
Sakramen tobat,
juga imam yang mengumpulkan kami di sekeliling altar untuk merayakan
Ekaristi, Santapan kami,
imam yang dalam Krisma dan pendampingannya menolong kami menjadi dewasa
dalam iman,
imam yang menyiapkan dan memberkati Perkawinan keluarga-keluarga kami,
imam yang membantu merasakan kasih-Mu, juga waktu sakit dan menyiapkan
kami menghadapi hari-hari terakhir kami dengan Sakramen Pengurapan orang sakit,
semua imam yang bersama kami berusaha menjadi tanda dan sarana hadirnya
kerajaan surga di tengah masyarakat kami.
Bunda Maria, Ratu para imam,
dampingi dan doakan kami
bersama para imam kami.
Kini dan sepanjang segala masa. Amien
Puji Tuhan...raja semesta alam..... Tuhan Yesus Kristus...
BalasHapusAMIN <3 <3 <3