Minggu, 08 November 2015

PERSEMBAHAN JANDA MISKIN

“Memberi sampai sakit” 



“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya” (Mrk 12:43-44).

Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan apa yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan
Kita terkadang bingung jika ditanya tentang persembahan. Sepersepuluh dari penghasilankah? 10% dari pendapatan bersih atau pendapatan kotor, kalau anda seorang pedagang?  Atau, berapa nominal persembahan yang menyukakan-Nya? Sebuah pelajaran penting bisa kita dapat dari kisah janda miskin yang menghaturkan persembahan. 

Umumnya manusia cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki, semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus akan harta yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa rela memberi atau membagi apa yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam mengumpulkan lebih banyak dapat menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri, semacam rasa mengandalkan kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja pada akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah sebagai sumber hidup.

Nilai suatu persembahan  bukan dilihat dari berapa besar atau berapa banyaknya uang yang kita persembahkan kepada Allah, atau  berapa banyaknya kita berikan dalam kantong kolekte dalam misa. Tetapi berapa banyaknya yang tinggal tersimpan untuk kita sendiri! Orang yang memberikan sebagian dari miliknya, mungkin terlihat jumlah nominalnya sangat besar namun jika mau jujur persembahan itu hanya sebagian kecil dari apa yang disimpannya untuk diri sendiri!

Memberi sampai sakit” dilakukan oleh orang-orang miskin, bukan orang-orang kaya. Memang hal ini adalah kenyataan hidup yang menyedihkan yang ada pada segala zaman dalam sejarah manusia. Seandainya saja orang-orang yang kaya memiliki kemurahan-hati seperti orang-orang miskin, maka tidak akan ada seorang pun yang berkekurangan. Dengan demikian, tidak mengherankanlah apabila Yesus seringkali berbicara dengan kata-kata keras tentang bahayanya kekayaan (lihat misalnya Mrk 10:23-27).

Yesus memiliki preferensi terhadap orang-orang miskin dan Ia sendiri pun memilih menjadi orang miskin. Ini adalah sebuah tanda kemurahan-hati-Nya yang tanpa batas. Ingatlah, bahwa mayoritas dari para pengikut Kristus adalah orang-orang miskin, karena mereka lebih mau untuk mendengarkan Dia. Orang-orang kaya merasa takut bahwa mereka kehilangan kuasa dan pengaruh apabila mereka mengikuti contoh yang diberikan Yesus. Hal ini berarti bahwa mereka tidak mau menaruh kepercayaan kepada Allah. Mereka lebih suka menaruh kepercayaan pada kekuasaan dan kekayaan.

Dalam soal memberi kepada Allah, janda miskin tak perhitungan. Ia memberikan seluruh miliknya. Kemiskinan bukan alasan baginya untuk tak memberi persembahan kepada Allah! Ia percaya Allah memelihara hidupnya.Pemberian si janda miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan pemberian seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi sesuatu kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak menanti sampai ia berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia untuk memberi dimanfaatkannya dengan segera. 

Inilah persembahan yang menyukakan Tuhan!
Kemiskinan bukan alasan baginya untuk tak memberi persembahan kepada Allah! 
Kebiasaan menunda-nunda dalam memberi karena macam-macam pertimbangan dapat membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat mendesak. Setiap pemberian (termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang yang berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan pujian dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk anugerah berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.


Persembahan tersebut merupakan perwujudan rasa syukur dan terima kasih atas segala kasih karunia Allah yang telah diterima. Dengan persembahan persembahan tersebut kita berharap agar kita juga semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, bukan hanya sebagian saja.
Di dalam Perayaan Ekaristi juga ada persembahan atau kolekte yang dan kita berdoa dengan penuh harap "Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang kudus" (TPE).
Maka marilah kita mawas diri: sejauh mana harapan akan kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita dan seluruh umat Allah tersebut tidak hanya berhenti pada kata-kata melainkan kita iringi atau lengkapi dengan tindakan-tindakan nyata.

Dengan kata lain jika kita memberi 'pesembahan' dari kelebihan ini seperti membuang sampah, karena yang kita berikan hanya sisa atau yang berasal dari kelebihan yang kita miliki....bukan suatu pengorbanan diri.
Menurut hukum Taurat persembahan yang benar adalah 10 % (sepuluh persen) dari penghasilan, maka jika orang berpenghasian 10 juta rupiah per bulan ia diharapkan mempersembahkan 1 juta rupiah per bulan, jika ia berpenghasilan 800 ribu rupiah per bulan diharapkan mempersembahkan 80 ribu rupiah per bulan.
Sekilas atau secara nominal 1 juta lebih besar daripada 80 ribu, tetapi secara konkret (pengalaman spiritual dan sosial) 80 ribu lebih besar nilainya daripada 1 juta: penderitaan lebih besar dihayati oleh pemberi persembahan 80 ribu. 

Namun dalam Gereja Katolik tidak ada kewajiban perpuluhan.
Selama Gereja masih hidup di dunia ini, maka akan selalu dibutuhkan dana untuk mendukung kehidupan dan pelayanan Gereja. Demikian  juga dibutuhkan bantuan untuk orang-orang miskin. Gereja mengajarkan dengan tegas bahwa membantu Gereja dan membantu orang miskin bukan bersifat manasuka tetapi suatu "kewajiban" (KHK Kan 222 # 1 dan 2; bdk Kan 1260-1266).

Dalam Perjanjian Baru: Rasul Paulus mengatakan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9:7). Tidak ada gunanya memberi perpuluhan dengan hati bersungut-sungut. Yang diharapkan adalah kerelaan hati namun tetap pantas,yang mencerminkan ungkapan syukur kita atas kasih Tuhan yang tanpa batas.

 

Harapannya kita semua berani meneladan semangat dan cara bertindak janda tersebut: memberi dari kekurangan bukan kelebihan, entah harta/uang, waktu maupun tenaga, sehingga persembahan tersebut sungguh terasa dan berpengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari.

Persembahan yang benar antara lain berakibat pada kita ada 'sesuatu yang berkurang' (secara phisik), sebagaimana dihayati oleh janda tersebut yang mempersembahkan sesuatu dari kekurangan, bahkan seluruh nafkahnya.
Sebenarnya janda ini punya pilihan, dengan memasukan 1 saja dari dua peser yang dia punya. Tetapi dia memasukan semuanya.
Mungkin setelah itu dia mencari nafkah lagi. Dia yakin dia pasti nanti juga dapat rejeki lagi untuk makan. Bagi janda miskin ini Allah dulu yang utama. Urusan perutnya bisa dikesampingkan. Totalitasnya dalam memberi kepada Allah, itulah yang dipuji oleh Yesus.

Mari kita mengasihi Tuhan dengan mempersembahkan apa yang ada di dalam diri kita, baik uang, waktu dan talenta.


Teladan yang bisa kita ambil adalah BAGAIMANA JANDA INI DENGAN LUAR BIASA MENEMPATKAN ALLAH DI ATAS SEGALANYA, TERMASUK DIRINYA SENDIRI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar