Santo Yohanes Maria Vianney
(Santo Pelindung Para Imam)
Santo Yohanes Maria Vianney termasyhur karena
mukjizat-mukjizatnya. Tak terhitung banyaknya yang memberi kesaksian bahwa Santo
Yohanes Maria Vianney dianugerahi
karunia yang luar biasa dapat membaca jiwa-jiwa, membedakan roh, dan nubuat.
Petunjuk dan nasehat
yang ia berikan biasanya singkat saja, tetapi mengandung daya kuasa dan
pemahaman mendalam akan jiwa. Kesahajaannya menggerakkan hati banyak orang.
Sekedar doa singkat, sepatah kata, atau sentuhan tangannya sudahlah cukup untuk
mengadakan penyembuhan-penyembuhan ajaib. Walau demikian, yang terpenting
baginya adalah penyembuhan jiwa. Dan ia tidak suka perhatian ataupun pujian
yang diberikan orang kepadanya.
Mulanya ia dianggap remeh karena
kelambanannya dan kebodohannya. Setelah ditabhiskan menjadi imam, ia tidak
diperkenankan uskup melayani sakramen pengakuan dosa karena dianggap tidak
mampu memberi bimbingan rohani. Setelah beberapa, ia ditempatkan di paroki Ars,
sebuah paroki yang terpencil, dan tak terurus. Di paroki ini Yohanes Maria
Vianney mengabdikan dirinya dan menjadikan desa Ars sebuah tempat ziarah bagi
umat di segala penjuru.
JEAN Baptist Marie Vianney lahir di Dardilly, 8 km dari
Lyon, di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei 1786. Ia lahir sebagai anak
keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga
pedesaan yang bersahaja. Ketika Jean (dalam
bahasa Indonesia disebut Yohanes) masih bayi, kata pertama yang keluar dari
bibirnya adalah “Yesus” dan “Maria”. Gerakan tangan pertamanya adalah gerakan
membuat tanda salib, yang diajarkan sang ibu kepadanya.
Pada umur 20 tahun, ayahnya dengan berat hati mengizinkan
dia masuk Seminari di desa tetangganya, Ecully. Hal ini bukan karena ayahnya tidak mengijinkan
dia menjadi imam tetapi semata-mata karena kelambanan dan kebodohannya tetapi
juga karena alasan ekonomi.
Pendidikannya sempat tertunda karena kewajiban masuk militer yang berlaku di Prancis pada masa itu. Baru pada tahun 1812, ia melanjutkan lagi studinya. Ia mengalami kesulitan besar sepanjang masa studinya di Seminari. Hampir semua mata pelajaran, terutama bahasa Latin, sangat sulit dipahaminya. Namun ia tidak putus asa.
Ia rajin berziarah ke Louveser untuk berdoa dengan perantaraan Santo Fransiskus Regis agar bisa terbantu dalam mempelajari semua bidang studi. Berkat doa-doanya, ia berangsur-angsur mengalami kemajuan hingga menamatkan pendidikan Seminari Menengah Verriores dan masuk Seminari Tinggi. Di jenjang Seminari Tinggi, ia harus berjuang lebih keras lagi agar lolos dari kegagalan. Meskipun begitu ia terus menerus harus mengulangi setiap ujian. Pemimpin seminari sangat meragukan dia, namun mereka pun tidak bisa mengeluarkan dia karena kehidupan rohaninya sangat baik. Ia seorang calon imam yang saleh. Akhirnya Yohanes pun dianggap layak dan ditabhiskan menjadi imam pada tahun 1815.
Pendidikannya sempat tertunda karena kewajiban masuk militer yang berlaku di Prancis pada masa itu. Baru pada tahun 1812, ia melanjutkan lagi studinya. Ia mengalami kesulitan besar sepanjang masa studinya di Seminari. Hampir semua mata pelajaran, terutama bahasa Latin, sangat sulit dipahaminya. Namun ia tidak putus asa.
Ia rajin berziarah ke Louveser untuk berdoa dengan perantaraan Santo Fransiskus Regis agar bisa terbantu dalam mempelajari semua bidang studi. Berkat doa-doanya, ia berangsur-angsur mengalami kemajuan hingga menamatkan pendidikan Seminari Menengah Verriores dan masuk Seminari Tinggi. Di jenjang Seminari Tinggi, ia harus berjuang lebih keras lagi agar lolos dari kegagalan. Meskipun begitu ia terus menerus harus mengulangi setiap ujian. Pemimpin seminari sangat meragukan dia, namun mereka pun tidak bisa mengeluarkan dia karena kehidupan rohaninya sangat baik. Ia seorang calon imam yang saleh. Akhirnya Yohanes pun dianggap layak dan ditabhiskan menjadi imam pada tahun 1815.
Pastor Vianney dalam kerendahan hatinya, pernah menyatakan
dua prinsip yang sebaiknya menjadi panduan seorang imam: (1) jangan
pernah beranggapan bahwa tidak ada hasil berarti yang telah dicapai di paroki,
betapapun nampaknya segala upaya yang telah dijalankan bertahun-tahun belum
menunjukkan hasil yang diharapkan,
dan (2) para
imam jangan pernah beranggapan bahwa mereka telah melakukan usaha yang cukup,
betapapun berartinya hasil yang telah berhasil mereka capai.
Pastor Jean mempraktekkan hidup pastoralnya dengan penuh
kesalehan dan mati raga. Sehari-hari, Pastor Jean hanya makan sedikit sekali,
dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya untuk orang
miskin. Baju-baju yang diberikan khusus untuknya, juga
diberikannya kepada orang miskin. Praktis
ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang menempel di badannya.
Pastor yang baik
Vikaris jendral mengirimkan Pastor Vianney ke paroki kecil itu
sambil berpesan, “Sahabatku, engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di
mana sangat sedikit kasih Tuhan bisa dirasakan di sana. Engkau akan
membangkitkan lagi api kasih Allah di sana!”
Dengan berkata sedemikian, Sang Vikjen sama sekali tidak
menyangka bahwa dalam beberapa dekade, desa kecil Ars akan berkembang begitu
rupa bagaikan sebuah jantung yang berdenyut penuh cinta kasih Allah,
menyebarkan kehangatannya ke seluruh negeri.
Tanggal 9 Februari 1818, seorang
imam muda dengan penuh semangat berjalan sepanjang suatu jalanan sempit yang
menghantarnya ke sebuah desa bernama Ars di Perancis Selatan. Ars akan menjadi
parokinya, dan ia akan menjadi imamnya. Ketika hampir tiba, ia berlutut untuk
berdoa, dan sementara ia berdoa, suatu pikiran yang aneh terlintas di benaknya,
“Paroki ini tidak akan cukup menampung banyaknya orang yang akan berkunjung ke
sini.”
Sungguh, suatu nubuat yang aneh.
Tetapi, mengapakah orang hendak datang ke Ars? Pada waktu itu Ars adalah suatu
daerah yang kumuh: 40 rumah dari tanah liat tersebar di suatu lembah, di mana
suatu aliran sungai kecil mengalir perlahan. Gereja sangat payah keadaannya
dengan sebuah pekuburan tak terawat di belakangnya. Penduduk di sana hanyalah
para petani biasa yang acuh tak acuh terhadap iman Katolik, dan menghabiskan
waktu luang mereka dengan minum-minum dan bergosip. Walau demikian, Ars akan
segera menjadi terkenal, sebab Tuhan telah mengirimkan rahmat-Nya dengan
mengutus imam muda ini. Ketika Pastor Jean Baptist Vianney memasuki paroki Ars ,
Misa harian hanya dihadiri dua atau tiga wanita tua. Kaum pria tidak hadir
dalam Misa hari Minggu, apalagi doa harian (Vespers), walau pada saat yang
sama, cafe-cafe di desa itu selalu penuh pengunjung.
Karena umat tidak datang kepadanya, dialah yang berinisiatif
datang berkunjung ke rumah mereka. Ia tidak puas hanya dengan satu kali
kunjungan formal, namun ia mengunjungi umatnya secara berkala, sesuai dengan
berbagai kebutuhan spiritual yang ia lihat pada diri mereka. Ia biasa
berkunjung saat sebuah keluarga tengah makan siang bersama. Ia akan masuk ke
ruang keluarga sambil mengobrol dengan sikap ramah dan bersahabat.
Umat segera menyadari bahwa Pastor Jean adalah bagian dari
diri mereka. Kita tentu masih ingat
kelemahan Pastor Vianney berhubungan dengan memorinya, yang telah sempat
mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris membuahkan kegagalan. Kelemahan
ini juga mempersulitnya saat ia sedang menyiapkan kotbah. Banyak malam ia tidak
tidur dengan cukup, demi mempersiapkan homili yang baik bagi umatnya. Namun,
berkat pertolongan Yang Ilahi, kelemahan itu tidak menjadi penghalang baginya.
Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat alam untuk berpidato di depan banyak
orang, ia bisa berbicara dengan lancar, serius dan meyakinkan. Bertahun-tahun
sesudah Ars menjadi pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang
mencapai 20.000 orang per tahunnya, Pastor Jean senantiasa mampu memberikan
kotbah harian dari altar tanpa suatu persiapan khusus dan tanpa menimbulkan
peristiwa yang memalukan sebagaimana yang ia alami di awal karirnya sebagai
imam.
Dengan bantuan umat parokinya, Jean berhasil membangun dua
kapel baru yang melengkapi bangunan gereja utama. Salah satu kapel itu
didedikasikan kepada St. Filomena, seorang remaja putri yang menjadi martir,
yang relikwinya disimpan di Roma di awal abad kesembilan belas. Kapel lainnya
dipersembahkan kepada St. Yohanes Pembaptis, dan di dalamnya terletak ruang
pengakuan dosa yang digawangi Pastor Jean, yang dikenal dengan sebutan
“Bangku Belas Kasihan”, dari Yang Kuasa, di mana ribuan jiwa mengalami
rekonsiliasi kembali dengan Sang Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang
penuh kuasa dan cinta ilahi dari Pastor Jean Vianney.
Ketika seorang rekan imam berkeluh kesah padanya sambil
mengatakan bahwa ia tidak merasa berhasil dalam pelayanan di parokinya, walau
ia merasa telah melakukan segala cara untuk membangkitkan umat di parokinya,
Romo Vianney bertanya padanya, “Sungguhkah engkau sudah melakukan segala yang
mungkin dengan seluruh kekuatanmu? Apakah engkau berpuasa dan beramal?
Apakah engkau berdoa?”
Kemurahan hati Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan,
pakaian, dan pasokan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah
hati oleh bangsawan Ars untuknya, segera berpindah tangan ke orang-orang
miskin. Ia hanya menyimpan sangat sedikit untuk dirinya, sekedar cukup supaya
ia tidak kelaparan. Bahkan yang sudah sedikit itu pun sering ia berikan juga,
jika ada orang miskin yang datang untuk meminta makanan. Pastor Jean selalu
berusaha agar hidup mati raga dan penyangkalan dirinya itu tidak diketahui oleh
publik.
Suatu hari seorang pengemis dijumpainya di jalan, pengemis
itu tak beralas kaki sehingga kakinya luka-luka. Pastor Jean segera menyerahkan
sepatu dan kaus kakinya sendiri kepada pengemis itu, kemudian ia pulang ke
rumah dengan kaki telanjang. Ia mempersembahkan mati raganya untuk
kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu menjelang Paskah, dan
kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang keras.
Perkembangan spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki
di Ars lama kelamaan didengar oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain
memohon bantuannya memberi kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa.
Pastor Vianney tidak pernah menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua
tahun, ia menjadi rasul Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral.
Begitu suksesnya pekerjaan spiritualnya sehingga orang tidak lagi menunggu dia
datang lagi mengunjungi paroki mereka, tetapi mereka sendiri yang datang
langsung ke Ars. Segera jalan-jalan desa Ars dipenuhi para pejalan kaki dan
kendaraan yang membawa sejumlah besar pengunjung, dan peziarahan itu terus
meningkat seiring mulai tersiarnya berbagai kabar mengenai mukjizat-mukjizat
yang terjadi di Ars.
“Rumah Penyelenggaraan Ilahi” dan
berbagai cobaan
Di tahun 1825, tujuh tahun setelah Pastor Vianney ditunjuk
menjadi pastor paroki Ars, ia berkesempatan mewujudkan cita-citanya sejak lama.
Seorang donatur menyumbangkan sejumlah besar uang, yang segera dipakainya untuk
membeli sebuah rumah yang kemudian dikenal dengan nama “House of Providence” (Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin
yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars. Mereka dirawat dan dicukupi segala kebutuhan
fisik dan spiritualnya dalam satu atap. Dua wanita dari umat paroki
ditunjuknya menjadi kepala pengelola rumah itu. Pastor Vianney juga terjun
sendiri untuk memberikan katekisasi kepada mereka. Umat paroki di Ars lambat laun terlibat pula
dalam mendukung kegiatan pengajaran tersebut. Rumah ini dikelola Pastor Vianney
selama dua puluh lima tahun.
Kebutuhan finansial
rumah dicukupi oleh dana yang disumbangkan para donatur kepadanya, dan sering
terjadi bahwa sumbangan dana tiba secara tak terduga, tepat pada saat rumah itu
sedang membutuhkan dana yang mendesak. Pada suatu hari tak ada lagi tepung yang
tersisa untuk membuat roti dan tak ada lagi cukup uang untuk membeli roti.
Semua orang yang didatangi Pastor Vianney menyatakan tak sanggup membantu.
Belum pernah Pastor Jean merasa benar-benar ditinggalkan seperti saat itu.
Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan
untuk mencari pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang
penyimpanan makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang
tersisa. Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak
ada lagi tersisa makanan untuk dimakan. Pastor Vianney menangis dan mengatakan
bahwa mereka mungkin harus membiarkan anak-anak yang miskin itu pergi.
Bagaimanapun, ia memutuskan pergi ke ruang penyimpanan bersama seorang anak
buahnya dan dengan kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu
dilihatnya ruang penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh
dengan gandum.
Dalam peristiwa semacam itu kekudusan Pastor Vianney
menampakkan dirinya. Bukannya menyambut mukjizat publik dengan kegembiraan, ia
justru merasa kebalikannya, merasa sangat malu, karena ia telah merasa nyaris
putus asa pada awalnya. Ia segera mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak
terkasih, saya telah sempat tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya
telah hampir meminta kalian semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah
menghukum saya.”
Berita mukjizat penambahan persediaan makanan itu segera
tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi ruang penyimpanan itu dan setiap
orang merasa yakin dengan apa yang mereka lihat. Uskup Devie dari Belley
menyelidiki peristiwa itu secara pribadi dan menemukan kenyataan seperti yang
didengarnya.
Pada bulan November 1847, Pastor Vianney mengalami cobaan
lagi. “Rumah Penyelenggaraan Ilahi” yang didirikannya untuk para miskin dan
anak-anak tak beribu bapa, diputuskan untuk diambil dari pengelolaannya, karena
dianggap bukan merupakan institusi sekolah atau rumah sakit, dan dikelola oleh
awam. Dengan sedih hati, Pastor Vianney menyerahkan pengelolaannya kepada
Suster-suster St. Yusuf dari Bourg, dan rumah itu diubah menjadi institusi
“Sekolah Gratis bagi Para Gadis”. Namun peristiwa ini menjadi titik balik
rencana Tuhan yang agung baginya, karena sejak itu seluruh kekuatan fisik dan
pikirannya semata didedikasikan kepada usaha pertobatan para pendosa, melalui
sakramen pengakuan yang diberikannya kepada umat yang berkunjung ke Ars, yang
kian hari kian banyak jumlahnya.
Dalam kurun waktu sesudahnya, Pastor Vianney telah beberapa
kali berniat untuk mengundurkan diri dari tugas-tugas imamat yang diembannya di
Ars, ia ingin menyepi di sebuah biara untuk menghabiskan sisa hidup miskinnya
di hadapan Allah. Tetapi gelombang umat yang memprotes rencananya itu akhirnya
membuat Pastor Jean membatalkan keinginannya
Peziarahan ke Ars
Sepanjang tahun di antara tahun 1825 dan 1830,
gelombang peziarahan yang besar terjadi di Ars. Banyak sekali umat yang
datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta mengakukan dosa dosa mereka kepada
Pastor Jean Vianney. Begitu banyaknya jumlah orang yang datang sehingga
akomodasi perjalanan yang meningkat pesat memerlukan pengaturan khusus di
antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.
Para peziarah berdatangan dari setiap propinsi di Perancis,
sebagian datang pula dari Belgia dan Inggris, sebagian lagi dari Amerika.
Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari mulut ke mulut, terutama dari mereka
yang telah mendapat pengalaman pribadi di bawah bimbingan Pastor Vianney.
Dengan perasaan kagum yang makin meningkat, peziarah yang
baru datang menyaksikan bagaimana pastor yang rendah hati itu memenangkan
jiwa-jiwa. Setiap hari di sepanjang lorong bangku gereja, dua lajur manusia,
berjumlah tak kurang dari enam puluh hingga seratus orang, menanti dengan sabar
giliran mereka untuk masuk ke dalam sakristi kecil untuk mengakukan dosa mereka
kepada Pastor Vianney. Jika ditanya sejak jam berapa mereka sudah antri di
sana, kadang jawabannya, “Sejak jam dua dini hari”, atau, “Sejak tengah malam,
segera sesudah pastor Jean membuka gereja.” Tak jarang tampak di antara
antrian, umat dari kalangan masyarakat terhormat juga menunggu dengan sabar
sepanjang malam dan siang, bukan untuk menghadiri suatu pertemuan penting,
namun untuk menyerahkan diri mereka dengan rendah hati kepada bimbingan
spiritual sang pastor demi kesejahteraan jiwa mereka. Sudut-sudut lain dari
gereja juga tampak sama penuhnya.
Pemandangan pria dan wanita berdoa dengan
khusuk juga berlangsung terus dari jam ke jam, dari hari ke hari, sementara
dua-ratusan orang mengantri untuk mengakukan dosa-dosa mereka. Pastor Jean
Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam belas hingga tujuh belas jam
setiap harinya, dan kedisiplinan manusia ‘super’ ini berlangsung terus menerus
dalam kurun waktu tiga puluh tahun.
Kadang-kadang orang datang ke Ars hanya sekedar ingin tahu,
kadang ingin sekedar melihat wajah Pastor Jean, atau ingin melihat sambil sedikit
mengolok-olok apa yang mereka anggap sebagai suatu kerumunan orang-orang yang
konyol. Namun, setelah mengamati dari dekat bagaimana karya sang Pastor Jean
selama sehari atau dua, mereka yang datang dengan motif-motif itu langsung
kehilangan selera untuk meneruskan intensi awalnya, dan tidak lama kemudian
mereka tampak telah berada di dalam antrian juga, ikut menunggu bersama yang
lain untuk mengaku dosanya.
Mukjizat-mukjizat yang dikerjakan
Sang Pastor dari Ars
Kemampuan untuk menyingkapkan dosa-dosa tersembunyi dari
para pengaku dosa yang datang kepada Pastor Vianney, menjadi kekuatan
pelayanannya dan melahirkan banyak pertobatan. Pastor Jean juga mampu melihat
ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa depan dan membuatnya
kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali. Kemampuan yang sama juga
dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa seseorang di bawah suatu
penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada
orang itu. Juga ia dapat melihat suatu salib yang menunggu seorang peziarah
sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata batin, bahwa suatu kesembuhan
tengah terjadi di tempat yang jauh.
Berbagai mukjizat yang telah terjadi disambut Pastor Jean
hanya dengan satu alasan, yaitu bahwa semua itu dapat mendukung terjadinya
pertobatan banyak pendosa dan keselamatan banyak jiwa untuk bersatu kembali
dengan Tuhan. Itulah pencapaian sesungguhnya dari pelayanannya yang penuh
pengorbanan diiringi mati raga yang terus menerus demi pertobatan umatnya.
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana pastor yang telah
memberikan banyak sekali waktu dan perhatian bagi keselamatan jiwa begitu
banyak orang, masih bisa mempunyai waktu dan tenaga untuk memperhatikan
kebutuhan jiwanya sendiri.
Dalam saat-saat luang di mana sebenarnya ia bisa melakukan
aktivitas yang bersifat hiburan, Pastor Jean lebih memilih untuk mengerjakan
hal-hal yang berguna bagi perkembangan spiritualnya. Hal ini membuat Pastor
Jean semakin memperlihatkan kasih dan respek kepada orang lain, tahun demi
tahun ia semakin tampak bersinar dalam kerendahan hati, amal kasih, dan
pengorbanan. Bagi siapapun yang mendekat padanya, sinar matanya yang jernih memantulkan
kesalehan yang tulus yang bersumber dari jiwanya. Ke manapun ia pergi,
orang-orang akan mengerumuninya, menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal
kepadanya, termasuk hal-hal yang sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor
Jean dengan penuh respek. Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya
dijuluki “Pastor yang baik” sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat
menjaga dan menghormati rekan-rekan sesama imam, berusaha agar
pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang tidak menyenangkan tidak sampai ke
tangan mereka. Untuk menyatakan kasihnya, ia sering membagikan barang-barang
pribadinya kepada mereka termasuk salib, medali, dan relikwi, di mana semua
benda itu sebenarnya merupakan benda-benda kesayangannya.
Selama tahun-tahun terakhir menjelang akhir hidupnya, Pastor
Jean praktis tidak memiliki apa-apa lagi. Ia telah menjual segala
perabotan, buku-buku, dan berbagai benda miliknya untuk diberikan kepada orang
miskin. Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga, ditambah
rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa selama
enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama sekali
tidak ringan.
Waktu untuk beristirahat di malam hari seringkali hanya tersisa
satu jam saja, dan waktu yang sangat sedikit itu pun sering tak bisa
dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang hebat mengguncang tubuhnya tak
henti. Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa
meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi
sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya matahari
terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru. Waktu
luangnya ia habiskan untuk berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit, pikirannya
selalu tertuju kepada Tuhan. Namun doa-doanya selalu sangat sederhana. Memang
ia memilih untuk senantiasa sederhana dalam segala tindakannya.
Wafat dan beatifikasi Sang Pastor
Yang Terberkati
Di musim panas tahun 1859, sang pastor yang terberkati
menampakkan tanda-tanda bahwa seluruh energinya sudah nyaris tidak bersisa
lagi. Ia terdengar beberapa kali mengatakan, “Sayang sekali, para pendosa akan
mengakhiri hidup pendosa”
Pada Jumat 29 Juli 1859, setelah menghabiskan enam belas
hingga tujuh belas jam di ruang pengakuan seperti biasa, ia kembali ke pastoran
dalam keadaan sangat lelah. Ia terduduk sambil berkata, “Aku tak dapat berbuat
lebih jauh lagi”. Ia segera dibaringkan di tempat tidur. Keesokan paginya
sakitnya menjadi begitu parah sehingga dikhawatirkan ia akan segera meninggal.
Kesedihan yang mendalam terasa di seluruh pelosok Ars dan di hati seluruh
pengunjung. Selama tiga hari, gereja penuh dengan umat, yang berdoa dengan
sungguh memohon Tuhan untuk tidak mengambil imam kesayangan mereka. Pastor Jean
tidak mengikuti doa bersama umatnya karena merasa bahwa ajalnya telah dekat.
Jumat petang ia menerima Sakramen Perminyakan. Ia meneteskan airmata keharuan
ketika Viaticum Kudus (Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan
pulang ke rumah Bapa) dipersembahkan untuknya dan minyak suci diberikan
kepadanya. Untuk terakhir kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta
seluruh umat parokinya. Hari Rabu pagi ia tersenyum mengenali Bapa Uskup yang
hadir di sisi tempat tidurnya.
Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini
hari, saat rekan-rekannya dan wakilnya, Abbe Monnin, sedang mengucapkan doa
bagi orang yang menghadapi ajal dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus
Allah datang menjumpainya dan memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem
Surgawi”, jiwa Pastor Jean meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya,
yang telah ia layani dengan begitu setia sepanjang hidupnya. Jenazah St Yohanes Maria Vianney yang masih
tetap utuh hingga kini disemayamkan di Ars.
Jarang bahwa proses beatifikasi dimulai begitu cepat seperti
yang terjadi pada Jean (Yohanes) Baptis Vianney. Tak sampai empat puluh lima
tahun semenjak tubuhnya diistirahatkan di bawah altar paroki Ars, Tahta Suci
memutuskan beatifikasinya.
Proses kanonisasi pastor Vianney dimulai pada tahun 1862. Pada
tahun 1904 dilakukan rituale penggalian kuburnya dalam rangka beatifikasinya.
Ternyata tubuh orang kudus ini dalam keadaan kering dan menggelap, namun masih
utuh.
Wajahnya masih dapat dikenali, akan tetapi kelihatannya seperti terkena
efek kematian. Jantungnya masih dalam keadaan utuh. Jubah baru dikenakan pada
jenazah orang kudus itu dan topeng dari lilin dibuat untuk relikui. Sekarang
relikui itu masih terpelihara di tempatnya yang indah di atas altar basilika
yang berhubungan dengan gereja paroki tua Ars.
Jean-Marie Baptiste Vianney dikanonisasikan oleh Paus Pius
XI pada hari Minggu Pentakosta, 31 Mei 1925 dan diangkat menjadi orang kudus
‘Pelindung para Pastor Paroki’ oleh Paus yang sama dalam tahun 1929.
Paus Benedictus XVI menghendaki agar TAHUN IMAM diadakan
antara tanggal 19 sampai tanggal 19 Juni 2010. Pesta Hati Yesus yang Mahakudus
tahun 2009 (19 Juni) dipilih sebagai tanggal pembukaan TAHUN IMAM, karena hari
itu ditetapkan menjadi Hari Doa sedunia untuk kesucian para imam. TAHUN IMAM
dipilih tahun ini, karena bertepatan dengan 150 tahun wafat Santo Jean-Marie
Baptiste Vianney.
Sri
Paus akan meresmikannya menjadi pelindung bagi semua imam seluruh dunia.
Acara pembukaan di Roma dilaksanakan dengan Ibadat Sore Agung, dipimpin sendiri
oleh Paus Benedictus XVI. Dalam vespers tersebut
relikui Santo Jean-Marie Baptiste Vianney dihadirkan di altar. TAHUN IMAM akan
ditutup pada tanggal 19 Juni 2010 oleh Paus Bendictus XVI dengan menghadirkan
para imam, wakil dari seluruh dunia.
Catatan Penutup. Kehidupan Pastor dari Ars dapat
dirangkum dengan menggunakan kata-katanya sendiri: “Untuk dikasihi oleh Allah,
untuk dipersatukan dengan Allah, untuk hidup di hadirat Allah, untuk hidup bagi
Allah. Oh! Betapa indah kehidupan dan betapa indahnya kematian!”
Diambil dari www.katolisitas.org, www.indocell.net, catatanseorangofs.wordpress.com,
www.imankatolik.or.id
"Tuhan terkasih, Bapa Pengasih,
aku berdoa kepadaMu,lindungilah para imam
GerejaMu,
sebab mereka itu milikMu.
Biarlah hidup mereka terbakar luluh di atas
altarMu yang suci,
sebab mereka telah disucikan dan menyucikan
diri bagiMu.
Lindungilah mereka sebab
mereka ada di tengah dunia meski mereka bukan dari dunia ini.
Masukkanlah mereka dalam lubuk hatiMu,
bila nikmat dunia menggoda dan memikat.
Lindungilah dan hiburlah mereka dalam saat
sepi,
susah derita dan bila pengorbanan hidupnya
nampak sia-sia.
Ingatlah
ya Tuhan tak seorangpun kecuali Engkauyang menjadi pemiliknya.
Dan walaupun mereka Kau beri panggilan Ilahi
tapi tetaplah mereka memiliki hati insani, dengan
segala kerapuhannya.
Maka
Bapa terkasih, lindungilah mereka bagaikan biji mataMu
dan peliharalah mereka
bagaikan hosti tanpa noda.
Semoga setiap hari pikiran dan perbuatannya
Semoga setiap hari pikiran dan perbuatannya
aman
terjaga dan menjadi teladan indah bagi seluruh umatMu.
Tuhan
terkasih, sudilah memberkati mrk senantiasa.
Terpujilah Engkau yang telah memanggil dan
mengutus mereka;
terpujilah Engkau yang tetap mendampingi dan
memampukan mereka.
Ya
Hati Kudus Yesus, Imam Agung Yesus, kasihanilah mereka.
Ya Hati Tersuci Maria Ratu para imam,
doakanlah mereka.
Ya Santo Yohanes Maria Vianney, doakanlah
mereka. Amin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar