Selasa, 04 Agustus 2015

4 Agustus

Santo Yohanes Maria Vianney

(Santo Pelindung Para Imam)


Santo  Yohanes Maria Vianney termasyhur karena mukjizat-mukjizatnya. Tak terhitung banyaknya yang memberi kesaksian bahwa Santo  Yohanes Maria Vianney dianugerahi karunia yang luar biasa dapat membaca jiwa-jiwa, membedakan roh, dan nubuat.

Petunjuk dan nasehat yang ia berikan biasanya singkat saja, tetapi mengandung daya kuasa dan pemahaman mendalam akan jiwa. Kesahajaannya menggerakkan hati banyak orang. Sekedar doa singkat, sepatah kata, atau sentuhan tangannya sudahlah cukup untuk mengadakan penyembuhan-penyembuhan ajaib. Walau demikian, yang terpenting baginya adalah penyembuhan jiwa. Dan ia tidak suka perhatian ataupun pujian yang diberikan orang kepadanya.

Mulanya ia dianggap remeh karena kelambanannya dan kebodohannya. Setelah ditabhiskan menjadi imam, ia tidak diperkenankan uskup melayani sakramen pengakuan dosa karena dianggap tidak mampu memberi bimbingan rohani. Setelah beberapa, ia ditempatkan di paroki Ars, sebuah paroki yang terpencil, dan tak terurus. Di paroki ini Yohanes Maria Vianney mengabdikan dirinya dan menjadikan desa Ars sebuah tempat ziarah bagi umat di segala penjuru.

JEAN Baptist Marie Vianney lahir di Dardilly, 8 km dari Lyon, di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei  1786. Ia lahir sebagai anak keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga pedesaan yang bersahaja.  Ketika Jean (dalam bahasa Indonesia disebut Yohanes) masih bayi, kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah “Yesus” dan “Maria”. Gerakan tangan pertamanya adalah gerakan membuat tanda salib, yang diajarkan sang ibu kepadanya.

Pada umur 20 tahun, ayahnya dengan berat hati mengizinkan dia masuk Seminari di desa tetangganya, Ecully.  Hal ini bukan karena ayahnya tidak mengijinkan dia menjadi imam tetapi semata-mata karena kelambanan dan kebodohannya tetapi juga karena  alasan ekonomi.

Pendidikannya sempat tertunda karena kewajiban masuk militer yang berlaku di Prancis pada masa itu. Baru pada tahun 1812, ia melanjutkan lagi studinya.  Ia mengalami kesulitan besar sepanjang masa studinya di Seminari. Hampir semua mata pelajaran, terutama bahasa Latin, sangat sulit dipahaminya. Namun ia tidak putus asa.

Ia rajin berziarah ke Louveser untuk berdoa dengan perantaraan Santo Fransiskus Regis agar bisa terbantu dalam mempelajari semua bidang studi. Berkat doa-doanya, ia berangsur-angsur mengalami kemajuan hingga menamatkan pendidikan Seminari Menengah Verriores dan masuk Seminari Tinggi. Di jenjang Seminari Tinggi, ia harus berjuang lebih keras lagi agar lolos dari kegagalan. Meskipun begitu ia terus menerus harus mengulangi setiap ujian. Pemimpin seminari sangat meragukan dia, namun mereka pun tidak bisa mengeluarkan dia karena kehidupan rohaninya sangat baik. Ia seorang calon imam yang saleh. Akhirnya Yohanes pun dianggap layak dan ditabhiskan menjadi imam pada tahun 1815.

Pastor Vianney dalam kerendahan hatinya, pernah menyatakan dua prinsip yang sebaiknya menjadi  panduan seorang imam: (1) jangan pernah beranggapan bahwa tidak ada hasil berarti yang telah dicapai di paroki, betapapun nampaknya segala upaya yang telah dijalankan bertahun-tahun belum menunjukkan hasil yang diharapkan, dan (2) para imam jangan pernah beranggapan bahwa mereka telah melakukan usaha yang cukup, betapapun berartinya hasil yang telah berhasil mereka capai.

Pastor Jean mempraktekkan hidup pastoralnya dengan penuh kesalehan dan mati raga. Sehari-hari, Pastor Jean hanya makan sedikit sekali, dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya untuk orang miskin.   Baju-baju yang diberikan khusus untuknya, juga diberikannya kepada orang miskin.  Praktis ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang menempel di badannya.  

Pastor yang baik

Vikaris jendral  mengirimkan Pastor Vianney ke paroki kecil itu sambil berpesan, “Sahabatku, engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di mana sangat sedikit kasih Tuhan bisa dirasakan di sana. Engkau akan membangkitkan lagi api kasih Allah di sana!”
Dengan berkata sedemikian, Sang Vikjen sama sekali tidak menyangka bahwa dalam beberapa dekade, desa kecil Ars akan berkembang begitu rupa bagaikan sebuah jantung yang berdenyut penuh cinta kasih Allah, menyebarkan kehangatannya ke seluruh negeri.

Tanggal 9 Februari 1818, seorang imam muda dengan penuh semangat berjalan sepanjang suatu jalanan sempit yang menghantarnya ke sebuah desa bernama Ars di Perancis Selatan. Ars akan menjadi parokinya, dan ia akan menjadi imamnya. Ketika hampir tiba, ia berlutut untuk berdoa, dan sementara ia berdoa, suatu pikiran yang aneh terlintas di benaknya, “Paroki ini tidak akan cukup menampung banyaknya orang yang akan berkunjung ke sini.”

Sungguh, suatu nubuat yang aneh. Tetapi, mengapakah orang hendak datang ke Ars? Pada waktu itu Ars adalah suatu daerah yang kumuh: 40 rumah dari tanah liat tersebar di suatu lembah, di mana suatu aliran sungai kecil mengalir perlahan. Gereja sangat payah keadaannya dengan sebuah pekuburan tak terawat di belakangnya. Penduduk di sana hanyalah para petani biasa yang acuh tak acuh terhadap iman Katolik, dan menghabiskan waktu luang mereka dengan minum-minum dan bergosip. Walau demikian, Ars akan segera menjadi terkenal, sebab Tuhan telah mengirimkan rahmat-Nya dengan mengutus imam muda ini. Ketika Pastor Jean Baptist Vianney memasuki paroki Ars , Misa harian hanya dihadiri dua atau tiga wanita tua. Kaum pria tidak hadir dalam Misa hari Minggu, apalagi doa harian (Vespers), walau pada saat yang sama, cafe-cafe di desa itu selalu penuh pengunjung.

Karena umat tidak datang kepadanya, dialah yang berinisiatif datang berkunjung ke rumah mereka. Ia tidak puas hanya dengan satu kali kunjungan formal, namun ia mengunjungi umatnya secara berkala, sesuai dengan berbagai kebutuhan spiritual yang ia lihat pada diri mereka. Ia biasa berkunjung saat sebuah keluarga tengah makan siang bersama. Ia akan masuk ke ruang keluarga sambil mengobrol dengan sikap ramah dan bersahabat.

Umat segera menyadari bahwa Pastor Jean adalah bagian dari diri mereka.  Kita tentu masih ingat kelemahan Pastor Vianney berhubungan dengan memorinya, yang telah sempat mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris membuahkan kegagalan. Kelemahan ini juga mempersulitnya saat ia sedang menyiapkan kotbah. Banyak malam ia tidak tidur dengan cukup, demi mempersiapkan homili yang baik bagi umatnya. Namun, berkat pertolongan Yang Ilahi, kelemahan itu tidak menjadi penghalang baginya. Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat alam untuk berpidato di depan banyak orang, ia bisa berbicara dengan lancar, serius dan meyakinkan. Bertahun-tahun sesudah Ars menjadi pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang mencapai 20.000 orang per tahunnya, Pastor Jean senantiasa mampu memberikan kotbah harian dari altar tanpa suatu persiapan khusus dan tanpa menimbulkan peristiwa yang memalukan sebagaimana yang ia alami di awal karirnya sebagai imam.

Dengan bantuan umat parokinya, Jean berhasil membangun dua kapel baru yang melengkapi bangunan gereja utama. Salah satu kapel itu didedikasikan kepada St. Filomena, seorang remaja putri yang menjadi martir, yang relikwinya disimpan di Roma di awal abad kesembilan belas. Kapel lainnya dipersembahkan kepada St. Yohanes Pembaptis, dan di dalamnya terletak ruang pengakuan dosa yang digawangi Pastor Jean,  yang dikenal dengan sebutan “Bangku Belas Kasihan”, dari Yang Kuasa, di mana ribuan jiwa mengalami rekonsiliasi kembali dengan Sang Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang penuh kuasa dan cinta ilahi dari Pastor Jean Vianney.

Ketika seorang rekan imam berkeluh kesah padanya sambil mengatakan bahwa ia tidak merasa berhasil dalam pelayanan di parokinya, walau ia merasa telah melakukan segala cara untuk membangkitkan umat di parokinya, Romo Vianney bertanya padanya, “Sungguhkah engkau sudah melakukan segala yang mungkin dengan seluruh kekuatanmu?  Apakah engkau berpuasa dan beramal? Apakah engkau berdoa?”

Kemurahan hati Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan, pakaian, dan pasokan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah hati oleh bangsawan Ars untuknya, segera berpindah tangan ke orang-orang miskin. Ia hanya menyimpan sangat sedikit untuk dirinya, sekedar cukup supaya ia tidak kelaparan. Bahkan yang sudah sedikit itu pun sering ia berikan juga, jika ada orang miskin yang datang untuk meminta makanan. Pastor Jean selalu berusaha agar hidup mati raga dan penyangkalan dirinya itu tidak diketahui oleh publik.
Suatu hari seorang pengemis dijumpainya di jalan, pengemis itu tak beralas kaki sehingga kakinya luka-luka. Pastor Jean segera menyerahkan sepatu dan kaus kakinya sendiri kepada pengemis itu, kemudian ia pulang ke rumah dengan kaki telanjang. Ia mempersembahkan mati raganya untuk kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu menjelang Paskah, dan kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang keras.

Perkembangan spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki di Ars lama kelamaan didengar oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain memohon bantuannya memberi kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Pastor Vianney tidak pernah menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua tahun, ia menjadi rasul Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral. Begitu suksesnya pekerjaan spiritualnya sehingga orang tidak lagi menunggu dia datang lagi mengunjungi paroki mereka, tetapi mereka sendiri yang datang langsung ke Ars. Segera jalan-jalan desa Ars dipenuhi para pejalan kaki dan kendaraan yang membawa sejumlah besar pengunjung, dan peziarahan itu terus meningkat seiring mulai tersiarnya berbagai kabar mengenai mukjizat-mukjizat yang terjadi di Ars.

“Rumah Penyelenggaraan Ilahi” dan berbagai cobaan

Di tahun 1825, tujuh tahun setelah Pastor Vianney ditunjuk menjadi pastor paroki Ars, ia berkesempatan mewujudkan cita-citanya sejak lama. Seorang donatur menyumbangkan sejumlah besar uang, yang segera dipakainya untuk membeli sebuah rumah yang kemudian dikenal dengan nama “House of Providence  (Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di  rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars.  Mereka dirawat dan dicukupi segala kebutuhan fisik dan spiritualnya dalam satu atap.  Dua wanita dari umat paroki ditunjuknya menjadi kepala pengelola rumah itu. Pastor Vianney juga terjun sendiri untuk memberikan katekisasi kepada mereka.  Umat paroki di Ars lambat laun terlibat pula dalam mendukung kegiatan pengajaran tersebut. Rumah ini dikelola Pastor Vianney selama dua puluh lima tahun.

 Kebutuhan finansial rumah dicukupi oleh dana yang disumbangkan para donatur kepadanya, dan sering terjadi bahwa sumbangan dana tiba secara tak terduga, tepat pada saat rumah itu sedang membutuhkan dana yang mendesak. Pada suatu hari tak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat roti dan tak ada lagi cukup uang untuk membeli roti. Semua orang yang didatangi Pastor Vianney menyatakan tak sanggup membantu. Belum pernah Pastor Jean merasa benar-benar ditinggalkan seperti saat itu.

Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan untuk mencari pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang penyimpanan makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang tersisa. Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak ada lagi tersisa makanan untuk dimakan. Pastor Vianney menangis dan mengatakan bahwa mereka mungkin harus membiarkan anak-anak yang miskin itu pergi. Bagaimanapun, ia memutuskan pergi ke ruang penyimpanan bersama seorang anak buahnya dan dengan kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu dilihatnya ruang penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh dengan gandum.

Dalam peristiwa semacam itu kekudusan Pastor Vianney menampakkan dirinya. Bukannya menyambut mukjizat publik dengan kegembiraan, ia justru merasa kebalikannya, merasa sangat malu, karena ia telah merasa nyaris putus asa pada awalnya. Ia segera mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak terkasih, saya telah sempat tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya telah hampir meminta kalian semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah menghukum saya.”
Berita mukjizat penambahan persediaan makanan itu segera tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi ruang penyimpanan itu dan setiap orang merasa yakin dengan apa yang mereka lihat. Uskup Devie dari Belley menyelidiki peristiwa itu secara pribadi dan menemukan kenyataan seperti yang didengarnya.

Pada bulan November 1847, Pastor Vianney mengalami cobaan lagi. “Rumah Penyelenggaraan Ilahi” yang didirikannya untuk para miskin dan anak-anak tak beribu bapa, diputuskan untuk diambil dari pengelolaannya, karena dianggap bukan merupakan institusi sekolah atau rumah sakit, dan dikelola oleh awam. Dengan sedih hati, Pastor Vianney menyerahkan pengelolaannya kepada Suster-suster St. Yusuf dari Bourg, dan rumah itu diubah menjadi institusi “Sekolah Gratis bagi Para Gadis”. Namun peristiwa ini menjadi titik balik rencana Tuhan yang agung baginya, karena sejak itu seluruh kekuatan fisik dan pikirannya semata didedikasikan kepada usaha pertobatan para pendosa, melalui sakramen pengakuan yang diberikannya kepada umat yang berkunjung ke Ars, yang kian hari kian banyak jumlahnya.

Dalam kurun waktu sesudahnya, Pastor Vianney telah beberapa kali berniat untuk mengundurkan diri dari tugas-tugas imamat yang diembannya di Ars, ia ingin menyepi di sebuah biara untuk menghabiskan sisa hidup miskinnya di hadapan Allah. Tetapi gelombang umat yang memprotes rencananya itu akhirnya membuat Pastor Jean membatalkan keinginannya

Peziarahan ke Ars

Sepanjang tahun di antara tahun  1825 dan 1830, gelombang peziarahan yang besar terjadi di Ars. Banyak sekali umat  yang datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta mengakukan dosa dosa mereka kepada Pastor Jean Vianney.  Begitu banyaknya jumlah orang yang datang sehingga akomodasi perjalanan yang meningkat pesat memerlukan pengaturan khusus di antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.

Para peziarah berdatangan dari setiap propinsi di Perancis, sebagian datang pula dari Belgia dan Inggris, sebagian lagi dari Amerika. Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mendapat pengalaman pribadi di bawah bimbingan Pastor Vianney.

Dengan perasaan kagum yang makin meningkat, peziarah yang baru datang menyaksikan bagaimana pastor yang rendah hati itu memenangkan jiwa-jiwa. Setiap hari di sepanjang lorong bangku gereja, dua lajur manusia, berjumlah tak kurang dari enam puluh hingga seratus orang, menanti dengan sabar giliran mereka untuk masuk ke dalam sakristi kecil untuk mengakukan dosa mereka kepada Pastor Vianney. Jika ditanya sejak jam berapa mereka sudah antri di sana, kadang jawabannya, “Sejak jam dua dini hari”, atau, “Sejak tengah malam, segera sesudah pastor Jean membuka gereja.” Tak jarang tampak di antara antrian, umat dari kalangan masyarakat terhormat juga menunggu dengan sabar sepanjang malam dan siang, bukan untuk menghadiri suatu pertemuan penting, namun untuk menyerahkan diri mereka dengan rendah hati kepada bimbingan spiritual sang pastor demi kesejahteraan jiwa mereka. Sudut-sudut lain dari gereja juga tampak sama penuhnya. 

Pemandangan pria dan wanita berdoa dengan khusuk juga berlangsung terus dari jam ke jam, dari hari ke hari, sementara dua-ratusan orang mengantri untuk mengakukan dosa-dosa mereka. Pastor Jean Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam belas hingga tujuh belas jam setiap harinya, dan kedisiplinan manusia ‘super’ ini berlangsung terus menerus dalam kurun waktu tiga puluh tahun.

Kadang-kadang orang datang ke Ars hanya sekedar ingin tahu, kadang ingin sekedar melihat wajah Pastor Jean, atau ingin melihat sambil sedikit mengolok-olok apa yang mereka anggap sebagai suatu kerumunan orang-orang yang konyol. Namun, setelah mengamati dari dekat bagaimana karya sang Pastor Jean selama sehari atau dua, mereka yang datang dengan motif-motif itu langsung kehilangan selera untuk meneruskan intensi awalnya, dan tidak lama kemudian mereka tampak telah berada di dalam antrian juga, ikut menunggu bersama yang lain untuk mengaku dosanya.

Mukjizat-mukjizat yang dikerjakan Sang Pastor dari Ars

Kemampuan untuk menyingkapkan dosa-dosa tersembunyi dari para pengaku dosa yang datang kepada Pastor Vianney, menjadi kekuatan pelayanannya dan melahirkan banyak pertobatan. Pastor Jean juga mampu melihat ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa depan dan membuatnya kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali. Kemampuan yang sama juga dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa seseorang di bawah suatu penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada orang itu. Juga ia dapat melihat suatu salib yang menunggu seorang peziarah sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata batin, bahwa suatu kesembuhan tengah terjadi di tempat yang jauh.

Berbagai mukjizat yang telah terjadi disambut Pastor Jean hanya dengan satu alasan, yaitu bahwa semua itu dapat mendukung terjadinya pertobatan banyak pendosa dan keselamatan banyak jiwa untuk bersatu kembali dengan Tuhan. Itulah pencapaian sesungguhnya dari pelayanannya yang penuh pengorbanan diiringi mati raga yang terus menerus demi pertobatan umatnya.
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana pastor yang telah memberikan banyak sekali waktu dan perhatian bagi keselamatan jiwa begitu banyak orang, masih bisa mempunyai waktu dan tenaga untuk memperhatikan kebutuhan jiwanya sendiri.

Dalam saat-saat luang di mana sebenarnya ia bisa melakukan aktivitas yang bersifat hiburan, Pastor Jean lebih memilih untuk mengerjakan hal-hal yang berguna bagi perkembangan spiritualnya. Hal ini membuat Pastor Jean semakin memperlihatkan kasih dan respek kepada orang lain, tahun demi tahun ia semakin tampak bersinar dalam kerendahan hati, amal kasih, dan pengorbanan. Bagi siapapun yang mendekat padanya, sinar matanya yang jernih memantulkan kesalehan yang tulus yang bersumber dari jiwanya. Ke manapun ia pergi, orang-orang akan mengerumuninya, menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal kepadanya, termasuk hal-hal yang sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor Jean dengan penuh respek. Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya dijuluki “Pastor yang baik” sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat menjaga dan menghormati rekan-rekan sesama imam, berusaha agar pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang tidak menyenangkan tidak sampai ke tangan mereka. Untuk menyatakan kasihnya, ia sering membagikan barang-barang pribadinya kepada mereka termasuk salib, medali, dan relikwi, di mana semua benda itu sebenarnya merupakan benda-benda kesayangannya.

Selama tahun-tahun terakhir menjelang akhir hidupnya, Pastor Jean praktis tidak memiliki apa-apa lagi.  Ia telah menjual segala perabotan, buku-buku, dan berbagai benda miliknya untuk diberikan kepada orang miskin. Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga, ditambah rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa selama enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama sekali tidak ringan. 

Waktu untuk beristirahat di malam hari seringkali hanya tersisa satu jam saja, dan waktu yang sangat sedikit itu pun sering tak bisa dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang hebat mengguncang tubuhnya tak henti. Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya matahari terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru. Waktu luangnya ia habiskan untuk berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit, pikirannya selalu tertuju kepada Tuhan. Namun doa-doanya selalu sangat sederhana. Memang ia memilih untuk senantiasa sederhana dalam segala tindakannya.

Wafat dan beatifikasi Sang Pastor Yang Terberkati

Di musim panas tahun 1859, sang pastor yang terberkati menampakkan tanda-tanda bahwa seluruh energinya sudah nyaris tidak bersisa lagi. Ia terdengar beberapa kali mengatakan, “Sayang sekali, para pendosa akan mengakhiri hidup pendosa”

Pada Jumat 29 Juli 1859, setelah menghabiskan enam belas hingga tujuh belas jam di ruang pengakuan seperti biasa, ia kembali ke pastoran dalam keadaan sangat lelah. Ia terduduk sambil berkata, “Aku tak dapat berbuat lebih jauh lagi”. Ia segera dibaringkan di tempat tidur. Keesokan paginya sakitnya menjadi begitu parah sehingga dikhawatirkan ia akan segera meninggal. 

Kesedihan yang mendalam terasa di seluruh pelosok Ars dan di hati seluruh pengunjung. Selama tiga hari, gereja penuh dengan umat, yang berdoa dengan sungguh memohon Tuhan untuk tidak mengambil imam kesayangan mereka. Pastor Jean tidak mengikuti doa bersama umatnya karena merasa bahwa ajalnya telah dekat. Jumat petang ia menerima Sakramen Perminyakan. Ia meneteskan airmata keharuan ketika Viaticum Kudus (Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan pulang ke rumah Bapa) dipersembahkan untuknya dan minyak suci diberikan kepadanya. Untuk terakhir kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta seluruh umat parokinya. Hari Rabu pagi ia tersenyum mengenali Bapa Uskup yang hadir di sisi tempat tidurnya.

Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini hari, saat rekan-rekannya dan wakilnya, Abbe Monnin, sedang mengucapkan doa bagi orang yang menghadapi ajal dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus Allah datang menjumpainya dan memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem Surgawi”, jiwa Pastor Jean meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya, yang telah ia layani dengan begitu setia sepanjang hidupnya. Jenazah St Yohanes Maria Vianney yang masih tetap utuh hingga kini disemayamkan di  Ars.


Jarang bahwa proses beatifikasi dimulai begitu cepat seperti yang terjadi pada Jean (Yohanes) Baptis Vianney. Tak sampai empat puluh lima tahun semenjak tubuhnya diistirahatkan di bawah altar paroki Ars, Tahta Suci memutuskan beatifikasinya.

Proses kanonisasi pastor Vianney dimulai pada tahun 1862. Pada tahun 1904 dilakukan rituale penggalian kuburnya dalam rangka beatifikasinya. Ternyata tubuh orang kudus ini dalam keadaan kering dan menggelap, namun masih utuh. 

Wajahnya masih dapat dikenali, akan tetapi kelihatannya seperti terkena efek kematian. Jantungnya masih dalam keadaan utuh. Jubah baru dikenakan pada jenazah orang kudus itu dan topeng dari lilin dibuat untuk relikui. Sekarang relikui itu masih terpelihara di tempatnya yang indah di atas altar basilika yang berhubungan dengan gereja paroki tua Ars. 

Jean-Marie Baptiste Vianney dikanonisasikan oleh Paus Pius XI pada hari Minggu Pentakosta, 31 Mei 1925 dan diangkat menjadi orang kudus ‘Pelindung para Pastor Paroki’ oleh Paus yang sama dalam tahun 1929. 

Paus Benedictus XVI menghendaki agar TAHUN IMAM diadakan antara tanggal 19 sampai tanggal 19 Juni 2010. Pesta Hati Yesus yang Mahakudus tahun 2009 (19 Juni) dipilih sebagai tanggal pembukaan TAHUN IMAM, karena hari itu ditetapkan menjadi Hari Doa sedunia untuk kesucian para imam. TAHUN IMAM dipilih tahun ini, karena bertepatan dengan 150 tahun wafat Santo Jean-Marie Baptiste Vianney. 

Sri Paus akan meresmikannya menjadi pelindung bagi semua imam seluruh dunia. Acara pembukaan di Roma dilaksanakan dengan Ibadat Sore Agung, dipimpin sendiri oleh Paus Benedictus XVI.  Dalam vespers tersebut relikui Santo Jean-Marie Baptiste Vianney dihadirkan di altar. TAHUN IMAM akan ditutup pada tanggal 19 Juni 2010 oleh Paus Bendictus XVI dengan menghadirkan para imam, wakil dari seluruh dunia. 

Catatan Penutup. Kehidupan Pastor dari Ars dapat dirangkum dengan menggunakan kata-katanya sendiri: “Untuk dikasihi oleh Allah, untuk dipersatukan dengan Allah, untuk hidup di hadirat Allah, untuk hidup bagi Allah. Oh! Betapa indah kehidupan dan betapa indahnya kematian!”  

Diambil dari www.katolisitas.org, www.indocell.net, catatanseorangofs.wordpress.com, www.imankatolik.or.id

Doa yang indah, yang saya ambil dari FB:Romo Jost Kokoh 

"Tuhan terkasih, Bapa Pengasih,
aku berdoa kepadaMu,lindungilah para imam GerejaMu,
sebab mereka itu milikMu.
Biarlah hidup mereka terbakar luluh di atas altarMu yang suci,
sebab mereka telah disucikan dan menyucikan diri bagiMu.
Lindungilah mereka sebab mereka ada di tengah dunia meski mereka bukan dari dunia ini.
 Masukkanlah mereka dalam lubuk hatiMu,
bila nikmat dunia menggoda dan memikat.
 Lindungilah dan hiburlah mereka dalam saat sepi,
susah derita dan bila pengorbanan hidupnya nampak sia-sia.
 Ingatlah ya Tuhan tak seorangpun kecuali Engkauyang menjadi pemiliknya.
Dan walaupun mereka Kau beri panggilan Ilahi
 tapi tetaplah mereka memiliki hati insani,  dengan segala kerapuhannya.
 Maka Bapa terkasih, lindungilah mereka bagaikan biji mataMu 
dan peliharalah mereka bagaikan hosti tanpa noda. 

Semoga setiap hari pikiran dan perbuatannya
 aman terjaga dan menjadi teladan indah bagi seluruh umatMu.
 Tuhan terkasih, sudilah memberkati mrk senantiasa.
Terpujilah Engkau yang telah memanggil dan mengutus mereka;
terpujilah Engkau yang tetap mendampingi dan memampukan mereka.
 Ya Hati Kudus Yesus, Imam Agung Yesus, kasihanilah mereka.
Ya Hati Tersuci Maria Ratu para imam, doakanlah mereka.

Ya Santo Yohanes Maria Vianney, doakanlah mereka. Amin."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar