SANTO MAXIMILIANUS
MARIA KOLBE, OFMConv.
[1894-1941], MARTIR
"Inilah
perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.
Tiada kasih yang lebih besar, selain daripada kasih seorang yang menyerahkan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya...Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah
seorang akan yang lain" [Yohanes 15:12,13,17]
Pada
tanggal 14 Agustus, para anggota keluarga besar Fransiskan memperingati Santo
Maximilianus Maria Kolbe, seorang imam Fransiskan Conventual yang menjadi
martir Kristus si bawah kekejaman Jerman Nazi.
Raymond
(Raymundus; namanya sebelum menjadi Pater Maximilianus Maria) Kolbe dilahirkan
pada tanggal 7 Januari 1894 di desa Zdunska-Vola, dekat Lwow, Polandia. Pada
umur sepuluh tahun, dia menceritakan kepada ibunya suatu pengalaman mistis
dimana Santa Perawan Maria menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari
dua mahkota. Yang berwarna putih melambangkan kemurnian. Yang berwarna merah
melambangkan kemartiran. "Saya ambil dua-duanya," sang anak lelaki
berkata.
Dari
empat orang saudaranya, dua meninggal dunia ketika masih kecil. Abangnya,
Fransiskus, menemaninya pada waktu dia meninggalkan rumah untuk masuk
biara para Fransiskan Conventual di Lwow. Karena kota itu terletak pada bagian
Polandia yang pada waktu itu di bawah kekuasaan Austria, maka dua kakak-adik
itu melewati perbatasan dengan bersembunyi dalam gerobak yang berisikan rumput
kering/jerami.
Pada
waktu kakak-beradik itu belajar di seminari kecil, ayah dan ibu mereka memasuki
kehidupan religius. Hal ini mendorong Raymond – yang pada waktu itu tidak tahu
mau jadi apa dia kelak – memasuki novisiat, yaitu pada tahun 1910, ketika
berumur 16 tahun. Frater Maximilianus Maria dikirim ke Roma pada musim gugur
tahun 1912 untuk melanjutkan studinya di Universitas Gregoriana. Tujuh tahun
lamanya dia berada di Roma.
Dia
mengidap penyakit TBC pada masa mudanya, dan sejak itu tidak pernah terbebas
dari penyakit. Tetapi "dia adalah seorang yang paling berbakat,"
demikian kata salah satu professor yang mengajarnya di Universitas Gregorian di
Roma. Pada usia 21 tahun dia telah mendapat gelar doktor dalam bidang filosofi.
Setahun setelah pentahbisannya sebagai imam, dia mendapatkan satu lagi gelar,
yaitu dalam bidang teologi. Dia mungkin bisa memiliki karir yang cemerlang
dalam hirarki Gereja.
Pada tahun 1917, di Roma, dia mendirikan
sebuah gerakan, yaitu MILITIA IMMACULATAE. Setelah
ditahbiskan imam pada tahun 1918, Pater Maximilianus Maria Kolbe pulang ke
negerinya dan untuk beberapa waktu lamanya dia berdiam dalam sanatorium di
Zakopane, karena penyakit TBC kronis yang dideritanya. Pada tahun 1920,
paru-parunya tinggal satu saja. Walaupun kesehatannya sangat rentan, Pater
Maximilianus Maria Kolbe aktif dalam kegiatan-kegiatan kerasulan yang
dimahkotai dengan keberhasilan. Imam muda ini melihat bahwa ketidakpedulian
terhadap agama sebagai racun paling mematikan pada masa itu. Misinya adalah
melawan racun sangat berbahaya ini lewat kesaksian hidup yang baik, doa, kerja
dan penderitaan.
Kemudian,
untuk mempromosikan MILITIA IMMACULATAE, Pater Kolbe ini
meluncurkan sebuah bulletin, “Ksatria dari (Maria)
Yang Tak Bernoda” pada waktu dia ditugaskan di Cracow.
Setelah
dia menerima tanah di dekat Warsawa, Pater Kolbe mulai mendirikan “Kota (Maria)
Tak Bernoda” atau Niepolalanow, yang kemudian berkembang menjadi
komunitas religius terbesar yang pernah ada dalam sejarah Gereja. Pada
tahun 1927, dia menempatkan suatu patung Bunda Maria di tengah-tengah lapangan
sekitar 40 kilometer dari Warsawa - suatu awal dari apa yang nantinya akan
menjadi biara yang terbesar di dunia, Niepokalanow, yang dibangun oleh Kolbe
dan para biarawan-biarawan yang membantunya dan masih ramai dihuni hingga hari
ini. Pada tahun 1939, ada lebih dari 750 imam dan biarawan di Niepokalanow, dan
mereka mempublikasikan lebih dari sejuta eksemplar majalah Ksatria Immakulata
setiap bulannya. Tetapi tahun 1939 juga merupakan tahun dimana Hitler memulai
Perang Dunia II dengan serangan yang menghancurkan ke Polandia.
Pada
tahun 1938 komunitas itu beranggotakan 762 saudara, kebanyakan para bruder.
Pada puncak kegiatan kerasulan mereka, tiga buah mesin cetak rotari
mereka bekerja siang dan malam, dan sirkulasi bulletin “Ksatria” yang
disebutkan di atas hampir mencapai angka 1 juta eksemplar. Ada juga
publikasi-publikasi lainnya, salah satunya adalah harian “JURNAL KECIL” dengan
sirkulasi 230 ribu.
Pada
tahun 1930, setelah “Kota (Maria) Tak Bernoda” telah berjalan dengan lancar,
bersama empat orang saudaranya Pater Maximilianus pergi ke Nagasaki, Jepang. Di
lereng gunung Hikosan mereka mendirikan sebuah “Kota (Maria) Tak Bernoda” yang
kedua. “Kota” itu tidak mengalami kerusakan ketika kota Nagasaki dijatuhi bom
atom oleh pihak sekutu pada tahun 1945. “Kota” itu menjadi pusat Provinsi Jepang
dari para Fransiskan Conventual.
Pada
tahun 1939 Pater Maximilianus Maria Kolbe kembali ke Polandia untuk menghadiri
sebuah kapital provinsi, dan dia diangkat kembali menjadi superior dari “Kota
(Maria) Tak Bernoda”. Pada tahun yang sama Polandia diserbu oleh Jerman Nazi,
dan Pater Kolbe di tahan untuk masa kurang dari tiga bulan. Dia dan para
saudara yang lain dibebaskan pada “Pesta Maria dikandung tanpa noda”, dia
menyadari bahwa penangguhan itu hanya sebentar. Dia bergegas kembali ke
Niepokalanow yang telah di bom dan dirampok untuk membangun suatu tempat
penampungan bagi kaum pengungsi, dan pada akhirnya 2000 tempat tinggal dibangun
disana. Dia bahkan sempat menerbitkan satu edisi terakhir dari majalah yang
digemarinya. "Tidak seorangpun di dunia ini bisa mengubah kebenaran,"
demikian tulisnya pada waktu itu. "Apa yang bisa kita lakukan hanyalah
mencarinya, dan menjalaninya."
Pada
tanggal 17 Februari 1941, Nazi datang kembali untuk mencarinya. Kali ini,
dituduh sebagai musuh dari gerakan Nazi, pastor Kolbe dikirim pertama ke
penjara di Warsawa dan lalu ke Auschwitz. Dia tiba dengan menumpang suatu
gerbong untuk ternak, berjejal-jejal bersama 320 orang lainnya, disambut oleh
kerja paksa yang sangat melelahkan, jatah secuil makanan yang terdiri dari
sepotong roti dan kuah sayur kol, dan perlakuan di luar batas kemanusiaan hari
demi hari. Suatu hari, selagi memanggul beban kayu yang berat dengan susah
payah, pastor Kolbe terantuk dan jatuh, dan dipukuli sampai nyaris mati oleh
para pengawal. Dia dirawat di rumah sakit perkampungan tahanan oleh seorang
dokter Polandia yang bernama Rudolf Diem. Ketika dia tidak dapat bekerja, dia
hanya mendapat setengah jatah makanan, tetapi seringkali masih membagi sebagian
jatahnya kepada para pasien lainnya. "Engkau masih muda," demikian
katanya. "Engkau harus tetap hidup."
Meskipun
sakit, beratnya kurang dari 45 kilogram, pastor Kolbe bisa tidur diatas ranjang
di rumah sakit. "Tetapi dia bersikeras untuk tidur diatas dipan kayu yang
dilapisi jerami, " Dr. Diem berkata. "Dia ingin memberikan ranjang
yang lebih enak kepada mereka yang jauh lebih buruk keadaannya daripada dirinya
sendiri." Menjelang akhir bulan Juli, merasa lebih baik, sang pastor ditugaskan
di Blok 14. Hanya beberapa hari kemudian ada tahanan yang melarikan diri dan
pastor Kolbe mengulurkan tangannya untuk menyambut mahkota kemartiran. Hanya
tiga bulan kemudian, lewat serangkaian penyiksaan, Pater Maximilianus Maria
Kolbe menjadi martir Kristus di tangan kaum Nazi Jerman.
Kematian
bukan sesuatu hal yang langka di Auschwitz. Tetapi bagi para pesakitan, yang
tinggal berdesak-desakan di ruang-ruang yang kumuh dan jorok di Blok 14, rasa
was-was menghadapi kemungkinan dipilih untuk dihukum mati, sungguh merupakan
suatu siksaan psikologis. Sepanjang malam yang terus bergulir, tidak bisa
disalahkan kalau seseorang berharap dalam hati supaya tahanan yang melarikan
diri tersebut tertangkap kembali.
Tetapi
dia tidak ditemukan. Dia tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya,
menghilang dari sejarah, setelah mencetuskan apa yang tiga puluh tahun
kemudian, disebutkan oleh Bapa Suci Sri Paus Paulus VI sebagai "mungkin
seorang tokoh yang paling cerdas dan paling cemerlang" yang muncul dari "perlakuan
yang sangat tidak manusiawi dan kekejaman yang tak terperikan dari jaman
kekuasaan Nazi."
Tidak
seorangpun yang bisa tidur di Blok 14 pada malam itu. Setiap orang sangat
tertekan jiwanya. Harga diri, rumah, kebebasan, keluarga - semua telah hilang;
sekarang jiwapun juga terancam. Salah seorang mantan tahanan, mantan serdadu
Polandia Francis Gajowniczek berkata, "Setidaknya jika engkau masih hidup
engkau masih bisa berharap." Bagi Gajowniczek, pengharapan itu
sungguh-sungguh nyata. Dia percaya bahwa istrinya dan kedua puteranya masih
hidup. Jika saja dia bisa keluar dengan selamat dari tempat yang penuh sengsara
ini, dia akan dapat menemukan mereka kembali, dan bersama-sama mereka akan
kembali membangun hidup mereka yang berantakan karena perang.
Di
ranjang yang berdekatan berbaring seorang seniman profesional, Mieczyslaw
Kowcielniak, yang sama sekali sudah kehilangan harapan. "Mereka yang
beruntung sudah mati, " dia teringat berpikir demikian. "Dan tentara
Nazi telah merubah kami semua menjadi binatang-binatang yang akan mencuri demi
secomot roti. Kecuali sang imam."
Bahkan
pada waktu itu, Koscielniak menyadari bahwa sang imam sungguh berbeda dengan
orang lain. Meskipun seringkali jatuh sakit, lebih lemah fisiknya dibanding
dengan banyak orang lain, sang imam tampaknya selalu membagikan makanan
miliknya dengan orang-orang. Jika dia masih bisa berdiri, dia akan bekerja;
jika ada yang jatuh kelelahan, dia akan mengambil beban orang tersebut. Dia
menerimakan sakramen pengakuan dosa secara seumbunyi-sembunyi, dan bahkan
selama malam yang panjang tersebut Koscielniak teringat melihat sang pastor
berlutut di samping ranjang seorang anak muda yang menangis ketakutan, sambil
mengatakan bahwa "kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan."
Sewaktu para penjaga bersiap-siap untuk
menggiring pergi orang-orang terhukum mati tersebut, tiba-tiba ada keributan di
tengah-tengah barisan. Tahanan yang kesebelas melangkah ke depan, yaitu sang
imam. "Apa maunya si babi Polandia itu?" kolonel Fritsch berteriak. Tetapi
sang imam tetap melangkah ke depan, langkahnya tidak tegap, wajahnya pucat
seperti mayat, tidak menghiraukan todongan laras-laras senjata yang diarahkan
oleh para pengawal kepadanya. Pater Maximilianus Maria Kolbe dengan nomor
pengenal 16670 maju ke depan dan menawarkan diri untuk menggantikan salah
seorang yang telah ditunjuk untuk dihukum mati. Akhirnya, dia berkata: "Semoga
menyenangkan Lagerfuhrer, saya ingin menggantikan tempat salah satu dari para
tahanan ini." Dia menunjuk kepada Gajowniczek. "Yang itu".
Kolonel
Fritsch terbelalak menyaksikan peristiwa yang terjadi di depan matanya.
"Apa engkau sudah gila?" sang komandan Nazi berteriak.
"Tidak,"
jawab sang pastor.
"Tetapi saya sendirian di dunia ini.
Lelaki itu punya keluarga. Harap ambil saya."
"Siapakah
engkau? Apa pekerjaanmu?"
"Saya
seorang imam Katolik."
Tanpa
nama, tanpa ketenaran atau kemasyhuran. Suasana hening-sepi sebentar. Setelah
tertegun sejenak, Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut melihat dengan
gelisah. Koscielniak teringat berpikir: "Fritsch akan mengambil keduanya,
sang pastor maupun Gajowniczek."
Dan
apa yang dipikirkan oleh Fritsch, menatap pandang mata yang teduh dari wajah
yang pucat dihadapannya? Apakah dia menyadari bahwa pada saat yang luar biasa
tersebut dia menghadapi suatu kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya
sendiri?
"Baiklah,"
dia bergumam, dan lantas membalikkan badannya.
Para
laki-taki tahanan dari Blok 14 tersebut tercengang-cengang.
"Kami
sungguh tidak dapat mengerti," demikian Koscielniak berkata sekarang.
"Mengapa seseorang mau melakukan hal
seperti itu? Memangnya siapa sebetulnya dia, sang imam?"
Sang
komandan pun menendang keluar sersan Gojowniczek ke luar dari barisan para
terhukum, kemudian memerintahkan Pater Kolbe untuk bergabung dengan sembilan
orang terhukum lainnya. Di “blok kematian” mereka diharuskan melepaskan pakaian
mereka dan dengan bertelanjang bulat mereka menghadapi kematian yang datang
perlahan-lahan dalam kegelapan. Akan tetapi tidak terdengar teriakan-teriakan,
yang terdengar adalah nyanyian para tawanan di kamp konsentrasi.
Setelah
dua minggu berlalu, hanya empat orang yang masih hidup di sel bawah tanah di
Blok 13, dan dari kempat orang itu, pastor Kolbe adalah yang paling terakhir
meninggal. Seolah-olah dia harus menolong setiap kawan satu selnya untuk
melalui derita terakhir sebelum dirinya sendiri bisa terbebaskan dari derita
yang sama. Para penjaga terpaksa harus menghabisinya. Mereka datang untuk
membunuhnya lewat injeksi asam karbolat pada hari ke limabelas dari
kesengsaraannya, yaitu tanggal 14 Agustus, sehari menjelang hari raya Maria
Diangkat Ke Surga (dirayakan setiap 15 Agustus). Dengan tersenyum dan berbisik,
"Ave Maria, " sang pastor mengulurkan tangannya untuk disuntik mati.
Di
blok 14, serdadu Gajowniczek pada awalnya tidak dapat mengerti atas pengorbanan
pastor Kolbe. Dia terus menangis dan menolak untuk makan. Lantas Koscielniak
membuatnya tersadar: "Sadarlah! Apakah sang imam akan mati dengan
sia-sia?" Pada saat itu, Gajowniczek mengambil keputusan bahwa dia harus
tetap hidup. Dia tidak akan menyia-nyiakan karunia yang diberikan lewat pastor
Kolbe. Juga bagi Koscielniak, pengorbanan sang imam mengakhiri rasa
putus-asanya. "Satu saja orang seperti itu sudah menjadi alasan yang cukup
untuk jalan terus." Dan setelah beberapa waktu, Koscielniak dan yang
lain-lain yang selamat - mengerti bahwa mereka telah menjadi saksi dari suatu
peristiwa yang menjadikan seorang Santo.
Kematian
Pater Kolbe bukanlah tindakan heroisme menit terakhir. Keseluruhan hidupnya
telah merupakan suatu persiapan. Kekudusannya tanpa batas. Dia memiliki hasrat
penuh gairah untuk mempertobatkan seluruh dunia bagi Allah. Dan “Maria yang
dikandung tanpa noda” yang sangat dicintainya adalah sumber inspirasi bagi dia
dan gerakannya.
Empat
tahun sesudahnya, kisah horor tersebut berakhir, Francis Gajowniczek berhasil
kembali ke tempat dimana dulu tempat tinggalnya di Warsawa dan menemukan bahwa
rumahnya sudah terkena bom dan tinggal puing-puing. Kedua puteranya terbunuh
akan tetapi istrinya selamat. Mereka pindah ke suatu desa kecil dan dengan
perlahan membangun kembali hidup mereka yang baru.
Kemudian
Gajowniczek mendengar berita yang mencengangkan: kabar tentang pastor Kolbe
yang menjadi martir telah mencapai Vatikan, dan telah diusulkan agar ia
dibeatifikasi, suatu langkah awal bagi kanonisasi dirinya sebagai seorang Santo
Gereja Katolik. Gajowniczek dipanggil oleh Gereja untuk memberikan
kesaksiannya, demikian juga mereka yang lainnya yang telah menjadi saksi atas
tindakan-tindakan Kolbe yang tidak mementingkan diri sendiri maupun kisah
kematiannya yang heroik. Akhirnya, 24 tahun setelah penyelidikan yang sangat
teliti, keputusan yang diambil telah dikuatkan.
Demikianlah
pada tanggal 17 Oktober 1971, di atas altar agung Basilika Santo Petrus di
Roma, 8000 pria dan wanita yang telah menempuh perjalanan dari Polandia
mengikuti perayaan beatifikasi yang khidmat. Diantara mereka adalah Francis
Gajowniczek dan istrinya, dua-duanya sudah pensiun dan tua-renta, demikian juga
Koscielniak. Sebuah potret dari Beato Pastor Kolbe disingkapkan, dan untuk
pertama kalinya dalam memori, Sri Paus sendiri yang memimpin ritus yang agung
dan kudus tersebut.
Pater Maximilianus Maria Kolbe OFMConv.
menjadi martir Kristus pada usia 47 tahun 7 bulan.
"Berjuta-juta
orang telah dikorbankan oleh kesombongan dari kekuasaan dan kegilaan dari
rasialisme," demikian kata-kata Bapa Suci. "Tetapi di tengah-tengah
kegelapan tersebut bersinarlah tokoh Maximilian Kolbe. Di atas ruang kematian
yang besar tersebut melayang-layanglah firman kehidupan-Nya yang Ilahi dan
kekal: kasih yang penuh penebusan."
Demikian
Pastor Kolbe tetap hidup, sebagai suatu simbol pengorbanan dan kepahlawanan
yang tidak dikenal oleh dunia ini. Dia memberikan karunia kehidupan kepada
seorang lain, dan bagi yang lain-lainnya, suatu hati yang mengalahkan tirani
yang menindas mereka. Dan bagi segenap manusia, dari segala aliran kepercayaan,
dia meninggalkan warisan atas rohnya yang tidak terpatahkan.
Rahasia
heroisme Santo Maximilian Kolbe dalam kata-katanya sendiri: Jaman modern
didominasi oleh Setan dan akan lebih buruk lagi di masa mendatang. Pertentangan
dengan neraka tidak bisa dimenangkan oleh manusia, bahkan yang paling pintar
sekalipun. Hanya Immakulata saja yang telah mendapat janji dari Allah,
kemenangan atas Setan.
Jangan
takut untuk terlalu mengasihi Immakulata karena kita tidak akan pernah dapat
menyamai kasih yang diberikan oleh Yesus kepada Maria, dan mengikuti jejak
langkah-Nya adalah proses penyucian diri kita. Cobalah untuk melakukan segala
hal sebagaimana Maria akan lakukan kalau dia adalah engkau, terutama dengan
mengasihi Tuhan sebagaimana dia mengasihi-Nya.... Tetapi hal ini cuma bisa
engkau pelajari "dengan berlutut" (=rendah hati).
Kasih,
yang adalah "persatuan yang sempurna" tumbuh dan mencukupi dirinya
sendiri hanya lewat penderitaan, pengorbanan, dan kayu salib. Tidak ada
heroisme yang tidak dapat dicapai oleh seseorang dengan bantuan Immakulata.
Sumber: Gereja Katolik Online,
F.X. Indrapradja, OFS
Doakanlah Kami
BalasHapus